Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Thursday, August 10, 2017

Menyederhanakan Kesederhanaan, Sebuah Kisah


Sumber : https://majalahdia.net/

Menyederhanakan Kesederhanaan, Sebuah Kisah

Sepetak tanah di sisi bumi menjadi saksi seorang manusia, hidup dalam kesederhanaan dengan cara sederhana. Setiap jengkal lembayung senja menyaksikan tatapan teguh menghadapi hiruk pikuk dunia. Senyumnya menyejukkan, sebagaimana hakikat senyum itu sendiri. Tidak mengharap balasan, tidak mengharap imbalan kata manis, sebuah sedekah indah hadirkan ketentraman bagi sekitarnya. Tetapi semua mahluk tahu, hatinya teguh mengenggam kebenaran, mulutnya lantang menyuarakan hak-hak orang banyak, kakinya menapak bumi sedalam-dalamnya, bahkan saat jasadnya membumbung di angkasa.

Di belahan bumi lain, ditengah hiruk pikuk kekuasaan dan gelimang harta benda, beberapa orang berlomba menjadi sosok “sederhana”. Terlihat seolah membaur dengan masyarakat, padahal (mungkin) mampir sepintas untuk bahan media sosial. Terlihat seolah bekerja, padahal apa istimewanya orang yang mengerjakan pekerjaannya? Jika permainan dunia semacam itu para pasukan oranye seharusnya mendapat perlakuan bak raja diraja. Terlihat peluh menetes, tetapi entah peluh itu ditujukan untuk siapa, apakah konglomerat A, atau jutawan B, atau investor C, kenapa tidak ada rakyat disana? Entah, tuhan lebih tahu. Sederhana, tidak ubahnya menjadi kata manis, diucapkan untuk langgengnya “sesuatu” semata.

Padahal cerita agung membahana disepanjang sejarah kemanusiaan. Tinta emas ditorehkan seorang jenderal besar dengan separuh paru-paru, dimana betul dia berkeringat bersama pasukan dan rakyatnya. Betul dia menerjang hujan peluru dibawah tandu, menembus kepulan asap dan deru pesawat tempur. Dan dalam keheningan malam, hanya dia dan Tuhan-nya, berdua menumpahkan asa dan rasa akan suara kemerdekaan. “Yang sakit itu Soedirman”, kata-kata teguh menegaskan tekad kuat berjuang demi kemerdekaan, demi tegaknya hak dan martabat. Terang Allah bergegas ingin menemuinya, dalam kerinduan mendalam akan kembalinya hamba mulia.

Kesederhanaan dan nilai-nilai perjuangan akan berjalan beriringan, jika dan hanya jika kesederhanaan adalah refleksi cermin datar dari visi memuliakan rakyat. Ketika refleksi ini berubah dan diubah dengan refleksi cermin cekung ataupun cembung, maka bisa kita lihat disana hanya ada penipuan, dan disana ada pemalsuan. Maka, kesederhanaan adalah pandangan subjektif dengan tolak ukur objektif. Mau dilogika bagaimanapun juga sangat “sulit” menggelari seseorang sederhana jika kemana-mana dia memakai kendaraan yang biaya servisnya cukup untuk memberi makan ratusan kaum papa.

Tidak ada pengalaman lebih menggugah daripada sore itu, saat masih tertatih saya berusaha memulihkan cedera di tulang belakang yang berdampak pada gangguan fungsi gerak tungkai kiri. Kedatangan di tempat praktik dokter menjadi cerita tersendiri karena untuk pertama kalinya saya menyambangi sang dokter dengan tidak ditemani pengantar. Saat itu saya sudah bisa berdiri dan berjalan pelan, sebuah syukur tersendiri karena beberapa bulan sebelumnya berdiri pun saya tidak sanggup.

Dengan santai saya memasuki tempat praktik dokter, dimana merupakan rumah seorang yang saya tahu. Begitu masuk lintasan peradaban berkelebat dengan cepat meyaksikan koleksi beragam kitab dari berbagai kebudayaan. Referensi logis-materialistis dari peradaban barat dan logis-spiritualis dari peradaban timur terpampang beriringan. Produk berbagai cendekiawan agung seperti Ibnu Taimiyah, Bukhori dan Muslim, dan berbagai cendekiawan barat tersaji, rapi dengan segala penyusunan yang disesuaikan dengan konteks bahasan.

Cukup puas jika anda merasa dahaga dengan ilmu, bermain sejenak di ruang depan ini. Beragam rak tersaji untuk anda nikmati, anda cerna. Tidak terlihat ada satupun ornament mewah disana. Tidak ada chandelier, bahkan kursi untuk duduk pun tidak ada. Hanya setumpuk bantal duduk, dialasi dengan tikar anyaman rotan. Jika anda tidak mampu duduk lesehan, ada setumpuk meja yang dialihfungsikan sebagai kursi jika tidak digunakan. Memang sedikit aneh, tapi untuk memenuhi kebutuhan “duduk” sepertinya cukup.

Sore itu tidak banyak pasien datang mengantri. Kabar baik untuk saya, mungkin terapi ini tidak akan memakan waktu cukup lama. Sekilas saya lihat sebuah mobil keluarga terparkir di sisi rumah, mungkin pemilik rumah sedang berada di rumah. Mobilnya apa? Ya itu lah, yang jelas kalau dikategorikan mobil impian sepertinya ya bukan, bahkan dengan “mobil evolusi kerjasama Indonesia dan jepang” masih jauh nilainya diatas mobil tadi. Singkat cerita, saya memasuki ruang praktik, dan bertahan menghadapi terapi yang memang sakit. Seperti kata orang bijak, tidak ada obat yang manis.

Untuk sang dokter aka nada cerita tersendiri, tapi ini adalah cerita sang pemilik rumah. Selepas terapi, dengan tubuh lebih ringan saya berjalan keluar. Bersiap menanti jemputan ibu, saya berpikir untuk nongkrong di sebuah kursi publik dimulut gang, tidak jauh dari rumah. Sepatu saya kenakan, kruk saya letakan, saya bersiap untuk beranjak dari rumah.

Ketika akan berdiri, saya melihat sosok sang pemilik rumah. Memakai kaos santai berwarna hitam polos, dan kain sarung, beliau terlihat berjalan keluar, menikmati udara sore. Belum lepas keterkejutan saya, ketika tengah memakai sepatu kiri, beliau mendatangai saya dan mengulurkan tangan, berjabat tangan disini konteksnya. Beliau lebih tua dari saya sekian tahun, jelas saya menunduk takzim untuk mencium punggung tangan beliau. Dengan rendah hati beliau menarik tangannya perlahan, gesture yang menyatakan “tidak perlu cium tangan, saya juga manusia biasa penuh salah dan lupa”.

Sekilas beliau mengamati postur tubuh saya (yang memang cukup besar) dan beliau menyatakan singkat dan jelas “turunkan mas (berat badan-pen)!”. Tanpa basi-basi, karena kenyataanya semua riset kesehatan menunjukan, overweight tidak baik bagi kesehatan. Dengan tersipu saya berkata (sekaligus membela diri) “njih masih berusaha niki, Alhamdulillah sudah turun 15kg (asli) dan ini masih melanjutkan diet (pembelaan diri)”, dengan senyum beliau melanjutkan perjalanan keluar, menuju jalan kampung yang saat itu tengah lenggang dan syahdu diterpa cahaya senja.

Selepas memasang sepatu dan memakai kruk, saya sempat ragu, spot nongkrong yang saya incar, mungkinkah jadi tempat beliau duduk? Begitu, dengan cepat saya menepis, mungkin beliau cuman mau jalan-jalan sore. Saya lewati gerbang rumah, menuju ke jalan kampung, dan saya lihat sosok beliau duduk di tempat saya berencana nongkrong. “Aduh” yang jadi masalah beliau sudah lihat saya berdiri di pinggir jalan, akan lucu jika kemudian saya hanya diam berdiri dan aneh-aneh disana, lebih aneh lagi jika saya berbalik lagi kedalam rumah.

Akhirnya, saya memilih untuk berjalan, melanjutkan rencana saya nongkrong yang artinya harus bersisi dengan beliau. Sempat saya tangkap gurat wajah dan rambut yang beranjak memutih, saya tahu bukan saya saja yang berjuang mencari kesembuhan. Beliau adalah seorang petarung, penyakit ginjal sejak lama menggerogoti tubuh yang pernah perkasa ini. Tidak bisa dibandingkan dengan saya yang baru 7 bulan di “tahan” nikmat berjalannya, beliau sudah bertahun-tahun berjuan melawan penyakit ginjal, yang saya tahu sekilas, memiliki konsekuensi tidak mudah.

Sekilas saya melihat bagian lengan beliau yang tertutup perban, serta beberapa bintik di tangan yang cukup besar jika dianggap sebagai gigitan nyamuk. Saya pandang dan gambarkan lagi wajah petarung itu, seiring bertambahnya usia, tentu pertempuran menjadi lebih berat. Silahkan berkonsultasi dengan ahli medis tentang konsekuensi diet (pantangan makan-minum) bagi seorang survivor ginjal. Omnivore semacam kita (manusia) belum tentu bisa bertahan menghadapinya. Sekejap kita tutup mata kita, doakan sebaik-baiknya untuk para petarung diluar sana, yang tengah berjuang meraih nikmat mahal bernama kesehatan.

Senyum mengembang di wajah beliau ketika saya berjalan mendekat, untuk kemudian duduk di sebelahnya. Bukan main, tidak menunggu yang muda menyapa terlebih dahulu, beliau malah mempersilahkan saya untuk duduk di sisi beliau “silahkan duduk disini akh (panggilan saudara laki-laki dalam bahasa arab)”. Masya Allah, beliau adalah orang yang membentuk bapak saya, sudah sewajarnya saya terlalu tinggi jika dipanggil dengan panggilan “akh”, mungkin nak atau dek lebih pantas.

Dengan canggung saya duduk di sisi beliau, jelas, bingung ingin berucap apa. Sedangkan sinar matahari yang syahdu seolah menertawakan saya “hayolo, di kampus ngomong melulu, begitu ketemu beginian kicep (terdiam seribu bahasa) dan lu!”. Masih bingung mencari tema pembicaraan dan tiba tiba beliau bertanya, “akh, kaki antum bagaimana sekarang?”. Melihat bekas-bekas operasi di tangan beliau (operasi vena), perjuangan bertahun-tahun menghadapi penyakit ginjal, rambut yang semakin beruban, Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, beliau seharusnya memiliki lebih banyak hal untuk dikeluhkan.

Tapi berkali-kali saya memastikan, tidak ada satupun raut muka menyesal, meratapi nasib. Tidak ada satupun gerut putus asa ditampakkan di hadapan saya, hanya ekspresi tegas yang seolah berkata “harapan itu masih ada” dan senyum tulus berkata “Allah tidak akan mendzalimi hamba-Nya”. Menatap hati saya jauh kedalam, entah berapa keluhan dan rutukan terucap dari bibir berdosa ini. Baru sekian bulan kamu berjuang, ditambah umur kamu masih muda? Apa kamu tidak malu? Pertanyaan pertama yang terang membuat saya seperti dihantam rasa malu luar biasa, dari sebuah pertanyaan sederhana tanpa basa-basi.

Percakapan berlanjut ketika kemudian saya balik bertanya, “kalau kondisi ustadz bagaimana?” tahu? Ini yang namanya pertanyaan basa basi. Saya akan jelaskan mengapa dengan bahasa inggris : Dude! Don’t you see those scars? Those painful experience that you’ve been heard for years? What the heck you still asking about his condition? You really a real “smart” man. Dengan senyum beliau menjawab, sekali lagi dengan sederhana. “Insya Allah besok hari kamis akan operasi vena lagi (serius, operasi lagi), ini sudah dibuat semacam penanda untuk lokasi operasi besok”.

Jujur penulis hampir tidak mampu menyelesaikan tulisan ini, tetapi diluar sana banyak orang mengerang bahkan menjerit hanya membaca sebuah tweet tentang “sesuatu mengenai dirinya”. Bahkan beramai-ramai mendesain beragam perangkat untuk membungkam segala hal yang berpotensi menyakiti hati mereka. Bayangkan jika orang-orang semacam ini harus gagal operasi berkali-kali, haha, mungkin sore syahdu itu sudah berubah menjadi cerita 4lay dan berisihi “lomba sakit-sakitan” loh, serius, yang kita lihat saat ini lomba semacam itu.

Maka pertanyaan basa basi saya betul-betul berubah menjadi pertanyaan penghantam mental versi 2. Kenapa? Jelas sebelumnya saya sudah menjelaskan kondisi saya, namun tentu tidak sesimpel “besok hari ini saya operasi”, bahkan sesimpel apapun masih keluar itu, ekspresi hiperbolis yang tidak penting. Ah, kelas dan nilai seseorang betul-betul berbeda.

Sembari masih meratapi pertanyaan konyol saya barusan, sepertinya hembusan angin sore tiba-tiba hadir, seolah menjadi penanda terhadap sesuatu. “Semoga antum lekas sembuh akh, antum masih muda, masih banyak hal yang bisa antum lakukan. Jalan didepan masih panjang akh, harapan dan impian bangsa dan umat ini ada di depan antum. Untuk itu, lekaslah sembuh, kurangi berat badan, dan segera kembali ke ummat”.

Hanya ekspresi terdiam dan menunduk dalam saja yang bisa saya keluarkan. Terbiasa membuat beragam ekspresi di kampus, sore itu mahasiswa sepuh ini hanya bisa menemui fakta betapa kerdilnya diri ini. Ditengah perjuangan meraih kesembuhan, selama berpuluh tahun. Berhadapan dengan operasi yang tinggal hitungan jam, dengan kondisi tubuh semakin menua. Namun pikirannya masih menjangkau batas-batas horizon dan menembusnya. Seolah melihat sebuah keyakinan mutlak “janji Allah itu nyata”, dan Allah sudah berjanji akan memenangkan hamba-Nya yang bersama dan beristiqomah di jalannya. Sakit? Ah itu hanya bumbu, bumbu untuk membuat diri manusia semakin lezat, semakin matang, dan akhirnya bisa lebih memberi manfaat kepada orang lain.

Visi kebangsaan yang jauh membentang dari percakapan sederhana ini, dalam suasana sederhana, dengan pakaian sederhana, ungkapan-ungkapan sederhana dari seorang politisi caliber nasional ini seolah menyentak kedalam hati kerdil dan lemah ini. Lihatlah dunia dari perspektif kemanfaatkan bagi orang banyak, bekerjalah di dunia sebagaimana kamu bekerja untuk Allah, dan yakinlah Allah pasti memenuhi janjinya, dan Allah sebaik-baik pemberi balasan.

Memilih buku daripada perabot mewah, mobil dan kendaraan-kendaraan biasa, usaha sederhana menjalani perawatan medis (beliau memakai BPJS sama seperti saya), memberikan ruang untuk praktik dokter dan membiarkan puluha orang asing keluar masuk rumahnya? Dimanakah kita bisa temukan hal semacam ini selain dengan membangun mesin waktu dan kembali ke tengah alun-alun kota damaskus, dimana seorang khalifah, raja diraja hanya tinggal di sebuah tenda! 

Sebuah potret nyata dari kesederhanaan, dimana momen sederhana tadi sama sekali tidak diliput kamera kecuali oleh kamera Allah. Bahkan inisisasi penulis menceritakan kisah ini senantiasa dipenuhi harapan agar terhindar dari sifat riya’, karena bisa jadi aktor-aktor dalam cerita ini tiada berkenan jika kisah ini diketahui orang banyak. Semoga Allah melindungi penulis dan aktor dalam kisah ini dari sifat tinggi hati dan riya’, semata kisah ini penulis pandang layak untuk diceritakan, itu saja.

Bagaimana dengan kita? Sampai detik ini pun penulis masih suka melihat “pertambahan” followers di akun instagram. Mau nyari apa sih? Mungkin begitu, ya beragam alasan lah, tetapi hakikatnya Allah akan melihat jauh didalam hatimu, dalam hati kita semua, apakah hal-hal yang kamu tampilkan betul-betul tulus dari sanubari terdalam untuk kebaikan? Untuk mengabdi kepada-Nya? Maka, kesederhanaan akan menjadi mahal, jika potret sederhana itu akhirnya menjadi pendapatan dan bahkan elemen untuk melanggengkan kekuasaan.

Mungkin banyak pihak akhirnya mengkiritisi tulisan ini, dan mungkin beralibi “Rasulullah punya ini, ita, ina, itu untuk berdakwah” dan perlu diingat, prinsip rasulullah harta ada ditangan bukan di hati. Bahkan beliau merasa malu jika di rumahnya masih terdapat harta saat beliau wafat. Sedangkan kita? Harta itu di akun rekening, yang akan ditumbuhkan lwat bagi hasil (hah!) dan ketika wafat apa yang membuat perkara kalau bukan warisan? Kesederhanaan adalah sifat dasar manusia yang akan dibawa saat manusia lahir dan meninggal. Maka sedikit omong kosong jika berkata sederhana jika masih risau urusan rezeki. Klarifikasi, penulis masing sangat lemah untuk urusan ini, maka sekaligus ini adalah pengingat bagi penulis, Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah.

Sumber : http://static.panoramio.com/photos/large/52459820.jpg


Pada akhirnya deru motor ibu mengakhiri percakapan sore itu. Beliau masih tetap terdiam ditempatnya duduk, mungkin ingin lebih lama bercengkrama dengan matahari. Namun ketegeran itu, kesederhanaan itu telah menunjukkan potret lain tentang kehidupan. Sebuah potret, dimana kesederhanaan itu senantiasa sederhana, tidak berlebihan. Dampaknya selalu membawa seorang hamba, sedikit demi sedikit lebih dekat dengan Rabb-nya, dan tentu, keteguhan dan keyakinan mutlak akan janji Allah menjadi indikator yang senantiasa terlihat ditiap laku, tatap, senyum dan pandang.

Wallahu ‘Alam


Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6

Untuk versi tulisan yang dimuat di selasar.com silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/07/mashum-nya-rasulullah-saw.html

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya  

No comments:

Post a Comment