Sumber : https://majalahdia.net/ |
Menyederhanakan Kesederhanaan, Sebuah Kisah
Sepetak tanah di sisi bumi menjadi
saksi seorang manusia, hidup dalam kesederhanaan dengan cara sederhana. Setiap jengkal
lembayung senja menyaksikan tatapan teguh menghadapi hiruk pikuk dunia. Senyumnya
menyejukkan, sebagaimana hakikat senyum itu sendiri. Tidak mengharap balasan,
tidak mengharap imbalan kata manis, sebuah sedekah indah hadirkan ketentraman
bagi sekitarnya. Tetapi semua mahluk tahu, hatinya teguh mengenggam kebenaran,
mulutnya lantang menyuarakan hak-hak orang banyak, kakinya menapak bumi sedalam-dalamnya,
bahkan saat jasadnya membumbung di angkasa.
Di belahan bumi lain, ditengah
hiruk pikuk kekuasaan dan gelimang harta benda, beberapa orang berlomba menjadi
sosok “sederhana”. Terlihat seolah membaur dengan masyarakat, padahal (mungkin)
mampir sepintas untuk bahan media sosial. Terlihat seolah bekerja, padahal apa
istimewanya orang yang mengerjakan pekerjaannya? Jika permainan dunia semacam
itu para pasukan oranye seharusnya mendapat perlakuan bak raja diraja. Terlihat
peluh menetes, tetapi entah peluh itu ditujukan untuk siapa, apakah konglomerat
A, atau jutawan B, atau investor C, kenapa tidak ada rakyat disana? Entah,
tuhan lebih tahu. Sederhana, tidak ubahnya menjadi kata manis, diucapkan untuk
langgengnya “sesuatu” semata.
Padahal cerita agung membahana
disepanjang sejarah kemanusiaan. Tinta emas ditorehkan seorang jenderal besar
dengan separuh paru-paru, dimana betul dia berkeringat bersama pasukan dan
rakyatnya. Betul dia menerjang hujan peluru dibawah tandu, menembus kepulan
asap dan deru pesawat tempur. Dan dalam keheningan malam, hanya dia dan
Tuhan-nya, berdua menumpahkan asa dan rasa akan suara kemerdekaan. “Yang sakit
itu Soedirman”, kata-kata teguh menegaskan tekad kuat berjuang demi
kemerdekaan, demi tegaknya hak dan martabat. Terang Allah bergegas ingin
menemuinya, dalam kerinduan mendalam akan kembalinya hamba mulia.
Kesederhanaan dan nilai-nilai
perjuangan akan berjalan beriringan, jika dan hanya jika kesederhanaan adalah
refleksi cermin datar dari visi memuliakan rakyat. Ketika refleksi ini berubah
dan diubah dengan refleksi cermin cekung ataupun cembung, maka bisa kita lihat
disana hanya ada penipuan, dan disana ada pemalsuan. Maka, kesederhanaan adalah
pandangan subjektif dengan tolak ukur objektif. Mau dilogika bagaimanapun juga
sangat “sulit” menggelari seseorang sederhana jika kemana-mana dia memakai
kendaraan yang biaya servisnya cukup untuk memberi makan ratusan kaum papa.
Tidak ada pengalaman lebih
menggugah daripada sore itu, saat masih tertatih saya berusaha memulihkan cedera
di tulang belakang yang berdampak pada gangguan fungsi gerak tungkai kiri. Kedatangan
di tempat praktik dokter menjadi cerita tersendiri karena untuk pertama kalinya
saya menyambangi sang dokter dengan tidak ditemani pengantar. Saat itu saya
sudah bisa berdiri dan berjalan pelan, sebuah syukur tersendiri karena beberapa
bulan sebelumnya berdiri pun saya tidak sanggup.
Dengan santai saya memasuki tempat
praktik dokter, dimana merupakan rumah seorang yang saya tahu. Begitu masuk
lintasan peradaban berkelebat dengan cepat meyaksikan koleksi beragam kitab
dari berbagai kebudayaan. Referensi logis-materialistis dari peradaban barat
dan logis-spiritualis dari peradaban timur terpampang beriringan. Produk
berbagai cendekiawan agung seperti Ibnu Taimiyah, Bukhori dan Muslim, dan
berbagai cendekiawan barat tersaji, rapi dengan segala penyusunan yang
disesuaikan dengan konteks bahasan.
Cukup puas jika anda merasa dahaga
dengan ilmu, bermain sejenak di ruang depan ini. Beragam rak tersaji untuk anda
nikmati, anda cerna. Tidak terlihat ada satupun ornament mewah disana. Tidak ada
chandelier, bahkan kursi untuk duduk
pun tidak ada. Hanya setumpuk bantal duduk, dialasi dengan tikar anyaman rotan.
Jika anda tidak mampu duduk lesehan,
ada setumpuk meja yang dialihfungsikan sebagai kursi jika tidak digunakan. Memang
sedikit aneh, tapi untuk memenuhi kebutuhan “duduk” sepertinya cukup.
Sore itu tidak banyak pasien datang
mengantri. Kabar baik untuk saya, mungkin terapi ini tidak akan memakan waktu
cukup lama. Sekilas saya lihat sebuah mobil keluarga terparkir di sisi rumah,
mungkin pemilik rumah sedang berada di rumah. Mobilnya apa? Ya itu lah, yang
jelas kalau dikategorikan mobil impian sepertinya ya bukan, bahkan dengan “mobil
evolusi kerjasama Indonesia dan jepang” masih jauh nilainya diatas mobil tadi. Singkat
cerita, saya memasuki ruang praktik, dan bertahan menghadapi terapi yang memang
sakit. Seperti kata orang bijak, tidak ada obat yang manis.
Untuk sang dokter aka nada cerita
tersendiri, tapi ini adalah cerita sang pemilik rumah. Selepas terapi, dengan
tubuh lebih ringan saya berjalan keluar. Bersiap menanti jemputan ibu, saya
berpikir untuk nongkrong di sebuah
kursi publik dimulut gang, tidak jauh dari rumah. Sepatu saya kenakan, kruk
saya letakan, saya bersiap untuk beranjak dari rumah.
Ketika akan berdiri, saya melihat
sosok sang pemilik rumah. Memakai kaos santai berwarna hitam polos, dan kain
sarung, beliau terlihat berjalan keluar, menikmati udara sore. Belum lepas
keterkejutan saya, ketika tengah memakai sepatu kiri, beliau mendatangai saya
dan mengulurkan tangan, berjabat tangan disini konteksnya. Beliau lebih tua
dari saya sekian tahun, jelas saya menunduk takzim untuk mencium punggung
tangan beliau. Dengan rendah hati beliau menarik tangannya perlahan, gesture yang
menyatakan “tidak perlu cium tangan, saya juga manusia biasa penuh salah dan
lupa”.
Sekilas beliau mengamati postur
tubuh saya (yang memang cukup besar) dan beliau menyatakan singkat dan jelas “turunkan
mas (berat badan-pen)!”. Tanpa basi-basi, karena kenyataanya semua riset
kesehatan menunjukan, overweight tidak baik bagi kesehatan. Dengan tersipu saya
berkata (sekaligus membela diri) “njih masih berusaha niki, Alhamdulillah sudah
turun 15kg (asli) dan ini masih melanjutkan diet (pembelaan diri)”, dengan
senyum beliau melanjutkan perjalanan keluar, menuju jalan kampung yang saat itu
tengah lenggang dan syahdu diterpa cahaya senja.
Selepas memasang sepatu dan memakai
kruk, saya sempat ragu, spot nongkrong
yang saya incar, mungkinkah jadi tempat beliau duduk? Begitu, dengan cepat saya
menepis, mungkin beliau cuman mau jalan-jalan sore. Saya lewati gerbang rumah,
menuju ke jalan kampung, dan saya lihat sosok beliau duduk di tempat saya
berencana nongkrong. “Aduh” yang jadi masalah beliau sudah lihat saya berdiri
di pinggir jalan, akan lucu jika kemudian saya hanya diam berdiri dan aneh-aneh
disana, lebih aneh lagi jika saya berbalik lagi kedalam rumah.
Akhirnya, saya memilih untuk
berjalan, melanjutkan rencana saya nongkrong yang artinya harus bersisi dengan
beliau. Sempat saya tangkap gurat wajah dan rambut yang beranjak memutih, saya
tahu bukan saya saja yang berjuang mencari kesembuhan. Beliau adalah seorang
petarung, penyakit ginjal sejak lama menggerogoti tubuh yang pernah perkasa
ini. Tidak bisa dibandingkan dengan saya yang baru 7 bulan di “tahan” nikmat
berjalannya, beliau sudah bertahun-tahun berjuan melawan penyakit ginjal, yang
saya tahu sekilas, memiliki konsekuensi tidak mudah.
Sekilas saya melihat bagian lengan
beliau yang tertutup perban, serta beberapa bintik di tangan yang cukup besar
jika dianggap sebagai gigitan nyamuk. Saya pandang dan gambarkan lagi wajah
petarung itu, seiring bertambahnya usia, tentu pertempuran menjadi lebih berat.
Silahkan berkonsultasi dengan ahli medis tentang konsekuensi diet (pantangan
makan-minum) bagi seorang survivor ginjal. Omnivore semacam kita (manusia)
belum tentu bisa bertahan menghadapinya. Sekejap kita tutup mata kita, doakan
sebaik-baiknya untuk para petarung diluar sana, yang tengah berjuang meraih
nikmat mahal bernama kesehatan.
Senyum mengembang di wajah beliau
ketika saya berjalan mendekat, untuk kemudian duduk di sebelahnya. Bukan main,
tidak menunggu yang muda menyapa terlebih dahulu, beliau malah mempersilahkan
saya untuk duduk di sisi beliau “silahkan duduk disini akh (panggilan saudara laki-laki dalam bahasa arab)”. Masya Allah,
beliau adalah orang yang membentuk bapak saya, sudah sewajarnya saya terlalu
tinggi jika dipanggil dengan panggilan “akh”, mungkin nak atau dek lebih
pantas.
Dengan canggung saya duduk di sisi
beliau, jelas, bingung ingin berucap apa. Sedangkan sinar matahari yang syahdu
seolah menertawakan saya “hayolo, di kampus ngomong melulu, begitu ketemu
beginian kicep (terdiam seribu
bahasa) dan lu!”. Masih bingung mencari tema pembicaraan dan tiba tiba beliau bertanya,
“akh, kaki antum bagaimana sekarang?”. Melihat bekas-bekas operasi di tangan
beliau (operasi vena), perjuangan bertahun-tahun menghadapi penyakit ginjal,
rambut yang semakin beruban, Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah, beliau
seharusnya memiliki lebih banyak hal untuk dikeluhkan.
Tapi berkali-kali saya memastikan,
tidak ada satupun raut muka menyesal, meratapi nasib. Tidak ada satupun gerut
putus asa ditampakkan di hadapan saya, hanya ekspresi tegas yang seolah berkata
“harapan itu masih ada” dan senyum tulus berkata “Allah tidak akan mendzalimi
hamba-Nya”. Menatap hati saya jauh kedalam, entah berapa keluhan dan rutukan
terucap dari bibir berdosa ini. Baru sekian bulan kamu berjuang, ditambah umur
kamu masih muda? Apa kamu tidak malu? Pertanyaan pertama yang terang membuat
saya seperti dihantam rasa malu luar biasa, dari sebuah pertanyaan sederhana
tanpa basa-basi.
Percakapan berlanjut ketika
kemudian saya balik bertanya, “kalau kondisi ustadz bagaimana?” tahu? Ini yang
namanya pertanyaan basa basi. Saya akan jelaskan mengapa dengan bahasa inggris :
Dude! Don’t you see those scars? Those painful experience that you’ve been
heard for years? What the heck you still asking about his condition? You really
a real “smart” man. Dengan senyum beliau menjawab, sekali lagi dengan
sederhana. “Insya Allah besok hari kamis akan operasi vena lagi (serius,
operasi lagi), ini sudah dibuat semacam penanda untuk lokasi operasi besok”.
Jujur penulis hampir tidak mampu
menyelesaikan tulisan ini, tetapi diluar sana banyak orang mengerang bahkan
menjerit hanya membaca sebuah tweet tentang “sesuatu mengenai dirinya”. Bahkan beramai-ramai
mendesain beragam perangkat untuk membungkam segala hal yang berpotensi
menyakiti hati mereka. Bayangkan jika orang-orang semacam ini harus gagal
operasi berkali-kali, haha, mungkin sore syahdu itu sudah berubah menjadi
cerita 4lay dan berisihi “lomba sakit-sakitan” loh, serius, yang kita lihat
saat ini lomba semacam itu.
Maka pertanyaan basa basi saya
betul-betul berubah menjadi pertanyaan penghantam mental versi 2. Kenapa? Jelas
sebelumnya saya sudah menjelaskan kondisi saya, namun tentu tidak sesimpel “besok
hari ini saya operasi”, bahkan sesimpel apapun masih keluar itu, ekspresi
hiperbolis yang tidak penting. Ah, kelas dan nilai seseorang betul-betul
berbeda.
Sembari masih meratapi pertanyaan konyol
saya barusan, sepertinya hembusan angin sore tiba-tiba hadir, seolah menjadi
penanda terhadap sesuatu. “Semoga antum lekas sembuh akh, antum masih muda, masih
banyak hal yang bisa antum lakukan. Jalan didepan masih panjang akh, harapan
dan impian bangsa dan umat ini ada di depan antum. Untuk itu, lekaslah sembuh,
kurangi berat badan, dan segera kembali ke ummat”.
Hanya ekspresi terdiam dan menunduk
dalam saja yang bisa saya keluarkan. Terbiasa membuat beragam ekspresi di
kampus, sore itu mahasiswa sepuh ini hanya bisa menemui fakta betapa kerdilnya
diri ini. Ditengah perjuangan meraih kesembuhan, selama berpuluh tahun. Berhadapan
dengan operasi yang tinggal hitungan jam, dengan kondisi tubuh semakin menua. Namun
pikirannya masih menjangkau batas-batas horizon dan menembusnya. Seolah melihat
sebuah keyakinan mutlak “janji Allah itu nyata”, dan Allah sudah berjanji akan
memenangkan hamba-Nya yang bersama dan beristiqomah di jalannya. Sakit? Ah itu
hanya bumbu, bumbu untuk membuat diri manusia semakin lezat, semakin matang,
dan akhirnya bisa lebih memberi manfaat kepada orang lain.
Visi kebangsaan yang jauh
membentang dari percakapan sederhana ini, dalam suasana sederhana, dengan
pakaian sederhana, ungkapan-ungkapan sederhana dari seorang politisi caliber nasional
ini seolah menyentak kedalam hati kerdil dan lemah ini. Lihatlah dunia dari
perspektif kemanfaatkan bagi orang banyak, bekerjalah di dunia sebagaimana kamu
bekerja untuk Allah, dan yakinlah Allah pasti memenuhi janjinya, dan Allah sebaik-baik
pemberi balasan.
Memilih buku daripada perabot
mewah, mobil dan kendaraan-kendaraan biasa, usaha sederhana menjalani perawatan
medis (beliau memakai BPJS sama seperti saya), memberikan ruang untuk praktik
dokter dan membiarkan puluha orang asing keluar masuk rumahnya? Dimanakah kita
bisa temukan hal semacam ini selain dengan membangun mesin waktu dan kembali ke
tengah alun-alun kota damaskus, dimana seorang khalifah, raja diraja hanya
tinggal di sebuah tenda!
Sebuah potret nyata dari
kesederhanaan, dimana momen sederhana tadi sama sekali tidak diliput kamera
kecuali oleh kamera Allah. Bahkan inisisasi penulis menceritakan kisah ini
senantiasa dipenuhi harapan agar terhindar dari sifat riya’, karena bisa jadi
aktor-aktor dalam cerita ini tiada berkenan jika kisah ini diketahui orang
banyak. Semoga Allah melindungi penulis dan aktor dalam kisah ini dari sifat
tinggi hati dan riya’, semata kisah ini penulis pandang layak untuk
diceritakan, itu saja.
Bagaimana dengan kita? Sampai detik
ini pun penulis masih suka melihat “pertambahan” followers di akun instagram. Mau
nyari apa sih? Mungkin begitu, ya beragam alasan lah, tetapi hakikatnya Allah akan
melihat jauh didalam hatimu, dalam hati kita semua, apakah hal-hal yang kamu
tampilkan betul-betul tulus dari sanubari terdalam untuk kebaikan? Untuk mengabdi
kepada-Nya? Maka, kesederhanaan akan menjadi mahal, jika potret sederhana itu
akhirnya menjadi pendapatan dan bahkan elemen untuk melanggengkan kekuasaan.
Mungkin banyak pihak akhirnya
mengkiritisi tulisan ini, dan mungkin beralibi “Rasulullah punya ini, ita, ina,
itu untuk berdakwah” dan perlu diingat, prinsip rasulullah harta ada ditangan
bukan di hati. Bahkan beliau merasa malu jika di rumahnya masih terdapat harta
saat beliau wafat. Sedangkan kita? Harta itu di akun rekening, yang akan
ditumbuhkan lwat bagi hasil (hah!) dan ketika wafat apa yang membuat perkara
kalau bukan warisan? Kesederhanaan adalah sifat dasar manusia yang akan dibawa
saat manusia lahir dan meninggal. Maka sedikit omong kosong jika berkata
sederhana jika masih risau urusan rezeki. Klarifikasi, penulis masing sangat
lemah untuk urusan ini, maka sekaligus ini adalah pengingat bagi penulis, Laa
Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah.
Sumber : http://static.panoramio.com/photos/large/52459820.jpg |
Pada akhirnya deru motor ibu
mengakhiri percakapan sore itu. Beliau masih tetap terdiam ditempatnya duduk,
mungkin ingin lebih lama bercengkrama dengan matahari. Namun ketegeran itu,
kesederhanaan itu telah menunjukkan potret lain tentang kehidupan. Sebuah potret,
dimana kesederhanaan itu senantiasa sederhana, tidak berlebihan. Dampaknya selalu
membawa seorang hamba, sedikit demi sedikit lebih dekat dengan Rabb-nya, dan
tentu, keteguhan dan keyakinan mutlak akan janji Allah menjadi indikator yang
senantiasa terlihat ditiap laku, tatap, senyum dan pandang.
Wallahu ‘Alam
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk versi tulisan yang dimuat di selasar.com silahkan kunjungi pranala dibawah ini
https://www.selasar.com/jurnal/37371/Menyederhanakan-Kesederhanaan-Sebuah-Kisah
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/07/mengelola-kesedihan.html
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/07/mengelola-kesedihan.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/07/mashum-nya-rasulullah-saw.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment