Selamat Datang
Aku tidak mengerti kenapa orang
selalu menatapku aneh, bahkan beberapa meneriaki aku gila. Aku tidak mengerti,
apakah mungkin mereka melihat dunia dengan cara yang berbeda? Aku, aku yang
pemenang kompetisi sains internasional ini mereka anggap gila? Aku jadi
membayangkan, mungkin mereka semua layak masuk penangkaran. Iya kan Fa? Hanya
kamu satu-satu nya yang bisa mengerti aku, dan senantiasa menemaniku disini,
aku harap kita bisa terus bersama.
Jakarta, 28 Juli 2004
Keluarga muda itu pindah di sebelah
rumah kami, konon katanya dia adalah kolega ayah dari perusahaan finansial
ternama. Ayahku sendiri ada manajer di perusahan produksi makanan, jadi dalam
berbagai kesempatan memang mereka sering bertemu. Ayah menyambut kehadiran
keluarga muda itu dengan senyum, ah yang dimaksud muda bukan karena apa, tetapi
keluarga mereka baru memiliki satu orang anak perempuan, seusia denganku.
Sedangkan ayahku sudah memiliki 2 orang anak, aku dan Inas, adik perempuanku.
Sore itu terasa sangat indah, ayah
terlihat bercakap hangat dengan Tuan Agus, kepala dari keluarga itu. Bunda
bercakap akrab dengan Ibu Ratih, masih terlihat Ibu Ratih jauh lebih muda dari
Bunda ku, aku hanya tersenyum membayangkan apa yang mereka bicarakan. Pada saat
itulah aku bertemu Fa, dengan jilbab biru muda nya dia terlihat anggun saat
sedang bermain dengan Inas. Tidak mungkin kan anak kelas 5 SD merasakan cinta?
Perasaan itu terlalu berat buatku. Maka dari jauh aku hanya memandanginya,
mengagumi nya sebagai seorang kawan.
Waktu berlau dan keluarga Fa mohon
izin pamit, kami mengantarkan mereka semua ke gerbang depan. Mendadak terjadi
semacam kegaduhan, terlihat Tuan Agus tergopoh ke mobil, mengeluarkan sesuatu.
Kemudian Ibu Ratih memberikan sesuatu itu kepada Fa. Dengan malu-malu Fa menyerahkan
bungkusan itu kepadaku, namun malu itu mendadak hilang saat dia menyerahkan
bungkusan lain untuk Inas. Itu cinta? Jelas tidak mungkin, aku bilang kan, kami
terlalu muda untuk perasaan itu.
Bergegas aku kembali masuk rumah,
naik ke kamarku di lantai dua, tentu karena tidak sabar ingin membuka bingkisan
pemberian Fa. Kuambil gunting dan mulai membuka bungkusan itu, aku semakin
tersenyum. Bingkisan itu adalah bingkai foto berwarna biru muda, terlihat
terlalu manis untu laki-laki seperti ku. “Hai! Salam kenal. Simpan memori
terindahmu disini ya! –Fa” begitu tulisan di depannya. Dengan tenang aku
menyimpan nya diatas meja belajar, lumayan kan? Untuk memberikan suasana baru
bagi kamarku.
29 Juli 2004, Jakarta, Sekolahku
Pagi ini hatiku sudah berkedut
tidak karuan, sosok berjilbab biru yang sudah aku kenal itu berdiri di depan
kelas ku.
“Teman-teman, perkenalkan, kita
kedatangan murid baru, silahkan memperkenalkan diri!” Ibu Asih, wali kelas kami
membersamainya didepan kelas.
Dengan malu dan menunduk, Fa
membuka mulutnya..
“Emm.. nama saya Farhanah, ee..
panggil saja saya Fa, saya.. pindahan
dari Bogor.. anu.. salam kenal semuanya..” pipinya bersemu merah, sepertinya
menahan malu yang sangat. Duh!
“Fa!! Rumah kamu dimana?!” Budi,
teman kelas paling usil dan berisik langsung bertanya tanpa memberi waktu.
Dengan tergeragap, Fa terlihat
berusaha berkata sesuatu, tetapi matanya juga mencari sesuatu, apa ya kira
kira? Gumamku.
Tiba-tiba, telunjuknya diarahkan
kepadaku, yang tengah termangu-mangu. “Anu, rumah saya.. di sebelah dia..”
begitu katanya. Sontak kelas bergemuruh, dibawah komando Budi, mereka mulai
“Men-Cie” kan kami. Dasar maniak ganteng-ganteng serigala. Terlihat muka Fa
semakin memerah, sedangkan aku yang berusaha cuek mulai bobol rasa cuek nya.
Segera Bu Asih menenangkan kelas
kami, menyurh Fa duduk di sebalah Ayu, dan memulai pelajaran. Aduh, kenapa ini
harus terjadi sih?
30 Juli 2004, Rumahku
Cukup melelahkan sehabis berlari
pagi, ditambah kejadian kemarin di kelas sedikit mengangguku. Beruntung hari
ini sudah sabtu dan sekolah ku memang libur, jadi aku bisa berjogging dan
berkeliling untuk menenangakan pikiranku. Si Budi, lihat saja nanti aku balas
dia. Sambil beringsut-ingsut, aku melepas sepatu di teras, mengetuk pintu
rumah, sudah kubayangkan porsi nasi goreng bikinan Bunda sudah siap memenuhi
rasa laparku.
Sedikit aneh karena pintu belum
juga dibuka, aku sempat mendengar suara suara aneh di dalam. Kugenggam pintu,
berusaha kubuka, mendadak, pintu itu terbuka sendiri. Jilbab biru muda itu!
Sambil menunduk dia membuka pintu dan berkata “Haii, Okaeri Nasai (Baik,
selamat datang)”, sepertinya tidak tahu siapa yang dia bukakan pintu.
Saat dia mengangkat wajahnya dan
melihatku berselimut peluh, wajah lucunya mendadak pucat, berganti warna
menjadi merah, dan berteriak histeris “Kyaaaa!!!!!!” dan segera berlari masuk
ke rumah. Aku sendiri? Hanya bisa melongo melihat pemandangan barusan. Lalu
kulihat diriku, ah, baju jogging ku yang berkeringat tadi sudah aku lepas,
kebiasaan.
Tergopoh inas datang ke muka pintu,
menyambutku sembari ngomel
“kakak ih! Udah dibilang jangan
buka baju sebelum masuk rumah! Malah buka baju lagi. Kasian kak Fa tuh!
Kayaknya dia malu banget! Sini masuk!”
Hanya mengangguk, aku memasuki
rumah masih dalam kondisi tidak percaya. Segera ku menuju kamar mandi, dan
kulihat Fa masih menutupi wajahnya dengan tangan. Insting usilku muncul, namun
geraman Inas membuatku mundur dan melanjutkan langkah ku ke kamar mandi.
30 Juli 2004, Ruang Tengah
Terlihat masih malu, meskipun kami
di ruangan yang sama Fa belum pernah mau menatapku langsung. Meskipun bunda
sudah menyampaikan maaf, dan Fa menerimanya, sepertinya dia memang belum
berkenan memaafkanku. Inas? Dia hanya sibuk menggeram kepadaku, kadang adik
perempuan jenis ini memang menyebalkan. Tetapi, jujur, aku paling suka saat Fa
memerah wajahnya seperti ini, sayang, sebelum aku melihat lebih lama, bunda
sudah memberi senyum aneh kepadaku. Gawat, segera aku menundukkan pandangan,
kembali fokus pada konsol game ku.
Aku masih tidak mengerti kenapa Fa
dititipkan di rumah kami, sampai ibu bercerita kalau Tuan Agus tengah ada
penugasan di Luar Negeri. Sedangkan istrinya, Bu Ratih harus merawat nenek
mereka yang sakit-sakitan. Jadilah, untuk keamanan Fa dititipkan disini,
lagipula disini ada Inas, timpal ibu, yang bisa menemani dan mengajak main Fa.
Sembari mempersiapkan makan malam,bunda memekik.
Ternyata sore ini adalah jadwal
kontrol Inas ke dokter, kontrol ini biasanya tidak lama, hanya sebentar saja.
Segera ibu memberi pesan singkat pada Fa bahwa dia harus bersamaku untuk
sekejap karena alasan itu. Terlihat wajah Fa kembali memerah, dan dengan
malu-malu dia menghadap kepada ku, memberi isyarat memohon kerjasama. Aku tidak
tahu, tapi ibu pernah cerita kalau Tuan Agus dan Nona Ratih serta Fa pernah
tinggal cukup lama di Jepang sampai Fa kelas 4. Jadi, wajar mungkin kalau dia
sampai bilang bahasa asing dan berlaku aneh seperti tadi ya?
Sore itu menjadi sore yang hening,
aku hanya khusyuk bermain konsol game sedangkan Fa membaca majalah. Tentu kami
berdua sudah sholat ashar, sendiri-sendiri pastinya. Tiba-tiba, perutku terasa
mulas, dan tanpa bisa kutahan sedikit gas keluar. Terlihat Fa mati-matian
menahan senyum, dengan malu, aku segera berlari menuju kamar mandi, menuntaskan
hasrat dan panggilan alam ini.
Menit-menit berlalu, memang
perjuangan keras, akhirnya aku berhasil memenangkannya dengan mutlak. Hell
yeah! Dikarenakan perutku selesai di kuras, rasa lapar menghampiri. Sejenak aku
mampir ke kulkas, mengambil snack dan soda, tentu untuk Fa juga, siapa tahu dia
mau. Dengan bahagian aku berjalan menuju ruang tengah.
Langkahku mendadak terhenti, aku
mendengar suara dan gumaman aneh dari ruang tengah..
“Jangan.. jangan mendekat,
berhenti..”
Penuh tanya aku mengintip sekilas
di ruang tengah. Perumahan ini adalah perumahan maha elit, selama 30 tahun
belum pernah ada maling atau apapun masuk kesini! Jadi tidak mungkin Fa bertemu
salah satu dari mereka. Dengan perasaan bingung, aku memasuki ruang tengah, ku
lihat Fa tengah meringkuk di pojokan, kelihatannya dia menggigil.
Kuletakkan snack dan soda tadi,
lalu menghampirinya perlahan-lahan. Kusentuh pundaknya, berusaha
menyadarkannya.
Betapa terkejutnya aku, mata nya
berubah memerah dan penuh air mata. Tetapi bukan air mata kesedihan, pandangan
mata Fa terlihat buas dan nyalang, terdengar geraman berat keluar dari hidung
dan mulutnya, sama sekali tidak menyenangkan. Tubuh dan jiwaku berkata diriku
dalam bahaya, tetapi kaki ku membeku.
Tepat saat itu, Fa mencengkeram
leherku, hei, dia kan perempuan, mana mungkin dia mampu menjatuhkan..
“GRKKHHHHHHHAAAAAAAA AKU BILANG
JANGAN MENDEKAAATTTT!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Lolongan itu terdengar sangat
keras, memecahkan kesadaranku. Seketika itu aku merasa tubuhku didorong dengan
kuat menuju lantai, kemudian sempat kurasakan sebuah benturan. Kemudian gelap.
Entah Kapan, Sepertinya Masih di Tahun 2004
Rumahku mendadak ramai, bunda
terlihat panik sambil memeluk inas yang menangis. Sebelahnya terlihat ayah
masih berbicara dengan polisi dan paramedis. Di sebelahku ada kasur, da nada
yang tergeletak disana, hanya jilbab biru itulah yang membuatku tahu siapa dia.
Terlihat beberaoa sabut mengikat tangan dan kakinya.
Jilbab biru itu dipenuhi bercak
berwarna kemerahan, aku mengalihkan pandangan ku kepada ayah. Biasaya dalam
kondisi begini ayah akan mengamuk, tetapi entah kenapa dia seperti berbicara
sedih dengan seseorang di telepon. Rasa tidak nyaman mulai menjalari kepalaku,
rasa tidak nyaman ini kemudian berubah menjadi penggalan memori, memori, memori
kapan ya?
Pintu itu berwarna hitam legam,
penuh dengan noda darah. Aku memberanikan diriku untuk mengetuknya. Terdengar
suara aneh dari dalam, kemudian, gagang pintu berputar, pintu terbuka. Sosok
itu menggunakan jilbab biru, tetapi, jilbab itu sudah koyak dan penuh noda
darah. Dia termangu sambil menunduk di belakang pintu yang terbuka, aku tidak
tahu kenapa.
Sosok itu mengangkat wajahnya,
perlahan, aku pucat saat wajah itu sempurna mengangkat wajahnya. Salah satu
matanya sudah menghilang, dan darah senantiasa keluar dari tempat seharusnya
bola mata tersimpan. Sedangkan satu matanya masih ada, namun mata itu berwarna
merah darah, terus menerus mengeluarkan air mata. Dengan berat .. suara itu
keluar, suara mengerikan, seperti bukan dari sosok yang aku kenal..
“Oo..ka..e..r..i Na..S..A..I..
Se..La..M..At.. D..At..Ang” senyum iblis mencuat selepas dia selesai mengatakan
itu. Sebelum kesadaranku hilang, aku sempat melihatnya, dia berada di belakang
sosok berjilbab biru yang aku kenal itu, bedanya, dia betul mencengkeram leher
sosok yang aku kenal itu erat-erat. Sedangkan sosok yang aku kenal itu, tepat
dengan sisi wajahnya yang masih berbentuk manusia.. mulai menitikkan air mata.
Suara itu bergema dalam kepalaku,
dalam sisa kesadaranku, tepat sebelum gelap menyelimuti pandangan ku
“to..long.. a..ku..”
Di Rumah Sakit, Entah Kapan, Tetapi Masih di Jakarta
Aku kembali harus menjalani
kontrol. Aku bersumpah tidak akan bermain roller skate di dalam rumah lagi,
mungkin aku bisa mati konyol karenanya. Dokter Hendra dengan tersenyum berkata,
fungsi-fungsi di dalam kepalaku sudah lebih baik, dan dengan senyum dia kembali
mengingatkanku untuk berhati hati. Dengan senyum aku beranjak dari kursi ku.
Terlihat di luar Inas sudah
menungguku, terlihat seragam SMP nya mulai kusut karena pengaruh full day
school. Ditambah dia harus mengantarkan kakaknya ke rumah sakit. Dengan
merengut sebenarnya, dia menyambutku. Namun saat melihat aku tidak memakai
perban lagi, Inas tersenyum lebar, bahkan air matanya terlihat mengumpul di
kelopak matanya.
“Kakak udah ngga pakai perban lagi!!!!”
Inas berlari, melompat kedalam pelukanku. Air matanya mengalir deras,
sepertinya ada sesuatu yang sangat melegakannya. Aku hanya tersenyum, masak
hanya karena kekonyolanku bermain roller skate di dalam rumah dia sampai
sebahagia ini? Aku pun tidak peduli, dan hanya mengusap kepalanya saja.
Inas mengambil telepon genggam,
kelihatannya dia menghubungi bunda dan mengatakan hal yang sama. Kemudian, dia
kembali menatapku dengan senyumnya..
“kakak, kakak udah bener-bener ngga
papa kan? Kepalanya udah ngga terasa sakit lagi kan?”
Aku hanya mampu tersenyum sambil
mengangguk. Kecelakaan sial itu bener-benar berdampak buruk padaku. Selama 5
tahun terakhir aku mengalami kehilangan ingatan secara temporer dan rasa sakit
berlebihan jika terlalu lelah. Kata dokter memang ada retakan yang cukup parah
di kepalaku, namun dengan operasi dan terapi, perlahan lahan semua itu membaik.
Bahkan aku mendapat bonus berupa kecepatan luar biasa dalam menangkan
informasi.
Kekuatan inilah yang aku gunakan
untuk berusaha menjadi jenius. Memberanikan diri mengikuti olimpiade sains
level daerah dengan taktik belajar 3 jam sebelum lomba, aku berhasil mewakili
daerah menuju level nasional. Dan dengan terapi, daya ingatku perlahan mulai
kembali selayaknya manusia normal, namun, kecepatan ku dalam memperoleh
informasi tidak menghilang, keren kan? Maka, wajar jika akhirnya di akhir kelas
3 SMP aku mampu mempersembahkan medali emas untuk Indonesia dari ajang
olimpiade sains internasional.
Bukan berarti sombong, di usiaku
yang masih 15 tahun ini, Universitas Indonesia telah menerimaku sebagai salah
satu mahasiswanya di jurusan Fisika. Jadi ya masa depanku kurang lebih terjamin
lah. Mungkin berkah juga ya kecelakaan roller skate itu?
Tapi, tentu aku tidak ingin itu
terjadi lagi, karena hal ini.
Perlahan aku bangkit dan bangun,
tiba-tiba sensasi pusing ini datang lagi. Inilah tidak enaknya, masih ada
sensasi pusing yang harus aku lawan yang entah karena apa. Inas memegangi
tangan ku erat, berusaha mengurangi dan menjagaku, biasanya pusing ini hanya
sebentar saja, jadi aku pasti bisa bertahan.
Namun ada keanehan, perlahan ada
sebentuk memori yang menyeruak masuk di otak ku. Memori ini sangat mengerikan,
sebuah pintu ruang kontrol yang terbuka mendadak berubah menjadi berwarna
hitam. Sosok itu muncul lagi, jilbab birunya berkibar, namun bercak darah di
jilbabnya betul menghilangkan keindahan itu. Dia menoleh kepadaku, memberikan
senyum terbaik yang bisa dia berikan.
Terlihat sebuah tangan masih erat
mencengkeram lehernya, dan dengan tersedak, kalimat itu muncul lagi, mengaung
keras di kepalaku..
“to..long.. a..ku..”
Sebuah hembusan angin
menyadarkanku. Terlihat Inas masih pucat mengenggam tanganku..
“kakak.. ngga papa? Mau minum
obat?” dengan panik Inas merogoh tas nya mencari obat penghilang nyeri yang
memang dimiliki semua keluargaku. Dengan senyum aku menggeleng, namun kejadian
barusan betul-betul mengangguku.
Hari yang Sama, Di Loteng Rumah
Entah kenapa hari ini aku sangat
ingin segera pulang dan menuju kesini. Ya, loteng rumah keluargaku, entah ada
apa disini, aku tidak tahu. Tetapi, instingku membawaku untuk membongkar sebuah
kopor tua yang sangat berat. Aku membuka isinya, yang entah aku tidak tahu apa.
Namun, aku menemukan itu. Sebuah
bingkai foto, bedanya sudah ada foto disitu. Foto itu adalah gadis manis
berjilbab biru. Wajahnya lucu dengan pipi yang putih kemerahan. Terlihat
senyuman manisnya mengembang lebar, mungkin foto ini diambil tahun lalu? Karena
sekilas dari rona wajahnya dia benar-benar mirip dengan Inas. Kuambil bingkai
foto itu, kulihat di belakangnya ada tulisan
“Farhanah”
Betul betul tidak memberikan
satupun kunci untuk memecahkan masalah! tapi tetap aku simpan, karena jujur
gadis ini sangat cantik. Hei, aku sudah remaja, boleh kan aku merasakan cinta?
Sebelum bunda dan Inas kembali, aku
segera turun dari loteng untuk masuk ke kamarku. Kuletakkan bingkai dan foto
itu di meja belajarku. Ah, dia sangat cantik, Farhanah ya? Eh mungkinkah dia
punya akun media sosial? Tahulah, apa yang aku lakukan berikutnya.
Universitas Indonesia, Saya Kuliah
Sebagai orang jenius banyak orang
berpikir waktuku habis untuk melakukan penelitian dan bertapa di perpustakaan.
Anggapan itu jelas benar, namun bedanya waktu ku juga diminta oleh masjid dan
jalanan. Sebagai anggota dari LDK Salam UI dan BEM UI, dengan penuh kebanggaan
prestasi demi prestasi kuberikan. Kurang keren apa coba? Kata orang sekali kamu
pernah berkarir di jalan orang jenius, selamanya kamu akan terjebak disana.
Maka, hari-hariku senantiasa
dipenuhi hal-hal bermanfaat. Ya seperti rapat dan rapat misalnya, sesekali
dibarengi demonstrasi dan melakukan penelitian. Sungguh hidup ideal! Karena aku
tidak perlu risau soal IPK. Hah! Apasih IPK? Enteng! Karena yang di kelas
seringkali sudah aku temui di lapangan atau saat aku mendengarkan ceramah di
konferensi internasional. Dan Alhamdulillah, dengan dukungan Ayah, Bunda dan
Inas, aku belum pernah jauh dari Allah.
Semua akan baik-baik saja, jika aku
tidak mengalami hal ini. Dalam beberapa malam mimpi ini berulangkali
menghampiriku. Senantiasa soal pintu berwarna hitam dengan gurat-gurat merah di
depannya. Dalam mimpi itu aku selalu risau dan bimbang, apakah aku harus
menyentuh gagang pintu dan membukanya atau tidak. Suara aneh dan bising selalu
keluar dan terdengar samar dari pintu itu.
Aku selalu memilih untuk tidak
membukanya, dan anehnya selepas itu aku pasti terbangun. Dengan tidak nyaman
tentunya, karena kepalaku langsung berdenyut begitu kuat, bahkan pada beberapa
kasus aku masih berteriak keras hingga membuat Inas, Ayah atau Bunda harus
datang ke kamar untuk menenangkanku. Syukurlah itu tidak terjadi setiap malam,
jadi aku anggap saja sebagai bunga tidur.
Oya, foto gadis itu? Tentu saja
masih aku simpan di kamar tanpa sepengetahuan bunda. Memang ada keanehan karena
tidak ada satupun akun media sosial bernama farhanah yang memiliki wajah
seperti gadis itu. Tetapi biarlah, toh cukup banyak perempuan yang memilih
tidak pamer wajah di media sosial. Jadi, senyuman manis itu senantiasa menjadi
penyemangatku disaat aku dikejar deadline. Whops, ada deadline, sepertinya
segini dulu ya?
Aku Tidak Tahu ini Dimana
Hutan itu terasa begitu lebat, tapi
syukurlah aku mampu menembusnya. Pedomanku satu-satu nya hanyalah cahaya
temaran dikejauhan, dan jujur aku tidak tahu apa itu. Rimbunan pohon yang
semakin berkurang memberikan kesan yang lebih jelas tentang sumber cahaya itu,
dan yang membuatku heran, itu adalah rumahku! Hei, bagaimana mungkin rumahku
menjadi tempat seseram dan berada di lokasi seseram ini?
Setengah berlari aku menghampiri
pintu depan, sedikit bergidik karena pintu dan keseluruhan rumahku berwarna hitam
dengan gurat-guratan merah berbau anyir. Tanpa diberitahupun aku tahu, itu
adalah darah, dengan penasaran aku berusaha mencari tahu apa yang ada di
dalamnya. Sip, tidak terdengar suara-suara aneh didalamnya. Dengan penuh
kemantapan hati, aku memegang gagang pintu, dan ternyata tidak dikunci.
Segera aku buka pintu itu dan
menerobos masuk. Asam lambungku entah bagaimana langsung naik melihat fragmen
mengerikan didalamnya. Bercak darah tersebar dimana-mana, bahkan ada beberapa
wajah orang yang tidak aku kenal dipenuhi bercak-bercak darah. Ruangan ini
diterangi lampu luar biasa terang, nyaris membuat mataku sakit. Rasa penasaran
menuntunku untuk mencari apa-apa yang ada di rumah ini, entah apa yang bisa aku
temukan.
Di sudut ruang, aku melihat sebuah
foto. Foto itu bersanding rapi dengan sebuah foto lain, salah satu foto itu,
adalah diriku. Diriku saat memasuki kelas 3 SMP, tepat sebelum aku memasuki
SMA, wajah itu masih benar-benar culun. Sedangkan yang bersanding dengannya
membuatku tercekat, foto itu juga berada di kamarku, menyemangatiku setiap pagi
terutama saat aku dikejar deadline. Farhanah.
Kakiku gemetar ketakutan, apa-apaan
ini? Aku belum pernah mengalami hal semacam ini! Kesemuanya terlalu mengerikan!
Belum selesai keterkejutanku, pintu depan itu gagangnya berputar. Mendadak
cahaya terang di dalam ruangan ini perlahan menjadi temaram. Instingku berkata,
aku harus lari, tetapi semua sudah terlambat, pintu itu sudah terbuka.
“A..ku pu..la..ng” sosok itu
mengenakan jilbab biru, masih penuh dengan bercak darah. Sedangkan sisi manusia
yang mengeluarkan air mata itu masih seperti sedia kala. Namun sosok gelap yang
mencengkeram lehernya sedikit demi sedikit terlihat wujudnya. Sosok mengerikan
dengan darah senantiasa menetes dari luka-luka menganga. Matanya hanya tersisa
satu, itupun berwarna merah pekat. Cakar-cakar panjangnya sesekali menggora
kulit sosok berjilbab biru itu, menjawab teka-teki kenapa darah senantiasa
menghiasi jilbabnya.
Sosok itu menyadari kehadiranku,
terlihat dia melepas cengkramannya dari leher si jilbab biru, tapi entah
kenapa, si jilbab biru justru menahannya. Terlihat mengamuk, sosok hitam
mengerikan itu mengaum keras, membuat cahaya di ruangan ini berkedip tidak
karuan.
“La..ri! Ti..ngg..al..kan a..ku!”
teriak si jilbab biru histeris..
Kemudian kegelapan pekat mulai
menghampiri, rasa sakit kembali menyerang kepalaku begitu hebatnya. Kesadaranku
nyaris hilang, saat si jilbab biru berkata..
“Maafkan Fa.. “
Kamarku
Aku berteriak histeris begitu
kencangnya, saat aku melihatnya berada di sisiku, menggenggam tangan ku erat.
Wajah lucu dengan senyum manis itu, aku sangat mengenalnya. Cuman, yang aku
kenal dia hanya memiliki sebagian wujud manusia, sedang sisanya seperti mayat
hidup dengan sosok mengerikan yang senantiasa mencengkeram lehernya.
Dia tersenyum manis kepadaku, tidak
terkira, bahkan akupun meneteskan air mata bahagia.
“Fa..” kataku.
Bersamaan dengan itu, Ayah, Bunda
dan Inas membuka pintu kamarku. Wajah mereka terlihat pias dan pucat, mungkin
karena kaget mendengar lolongan ku. Ah iya, ada sesuatu yang harus segera aku
sampaikan kepada mereka, sesuatu yang sangat penting!
“Ayah, Bunda, Inas, Fa ada disini,
dia sudah pulang..” kataku dengan bulir air mata meleleh di pipi. Tidak terkira
betapa bahagianya, gadis yang senantiasa menjadi motivasiku, yang aku sempat
melupakan dia bertahun-tahun telah kembali di sisiku. Fa hanya terdiam, tanda
tanya mulai menggelayuti pikiranku.
Kualihkan pandangan ku kepada Ayah.
Lelaki tegar itu terlihat terguncang, aku belum pernah melihat ayah membuat
ayah membuat wajah seperti itu, seolah ada sesuatu yang menghantam jiwanya
keras-keras. Bunda? Wanita tegar itu terlihat sia sia menahan tangis, air mata
sudah membanjir. Sedangkan Inas? Adik perempuan ku ini meman cengeng, tapi ini
pertama kalinya dia memeluk bunda erat-erat, aku tahu dia menangis sangat
keras.
“Kakak… kakak.. kakak..” begitu
kata Inas, kenapa? Gumamku
Mendadak rasa sakit itu kembali
menghampiri. Fa hanya terdiam, tatapannya lurus kedepan. Baru aku sadari,
tatapan nya kosong, seperti mayat. Rasa sakit itu semakin menjadi, aku
menggenggam kepalaku erat. Melihat itu ayah bersegera berlari memelukku, erat.
ARGGGGHHHHHHHHHHHHHH
Teriakan kerasku kembali
mengguncang malam, sebelum semuanya gelap.
Rumah Baru ku
Aku tidak mengerti kenapa orang
selalu menatapku aneh, bahkan beberapa meneriaki aku gila. Aku tidak mengerti,
apakah mungkin mereka melihat dunia dengan cara yang berbeda? Aku, aku yang
pemenang kompetisi sains internasional ini mereka anggap gila? Aku jadi
membayangkan, mungkin mereka semua layak masuk penangkaran. Iya kan Fa? Hanya
kamu satu-satu nya yang bisa mengerti aku, dan senantiasa menemaniku disini,
aku harap kita bisa terus bersama.
Fa masih sama, dia hanya bisa
tersenyum dengan tatapan kosongnya. Tapi semua itu sudah cukup buatku, karena
aku mencintai dia apa adanya. Beberapa kali orang-orang berpakaian putih, tentu
aku tahu mereka dokter! Menatap ku dan Fa aneh. Aku tidak mengerti, namun entah
kenapa aku masih bisa sholat, bahkan beberapa dokter berkata saat sholat lah
aku “normal”. Disini pertanyaanku, apa yang mereka maksud dengan normal? Aku
sangat sehat! Bahkan soal-soal kuliahku lancar kukerjakan! Apalagi ada Fa
disisiku. Sungguh dunia semakin aneh.
Malam Itu
Aku kembali berada di ruangan itu,
dengan kondisi Fa masih dicengkeram kuat oleh mahluk itu. Bedanya, kondisi Fa
sudah betul betul lemah, tatapan matanya kosong, suara lirih itu sudah tidak
terdengar lagi. Sedangkan mahluk itu terlihat semakin menyeramkan, tidak ubahnya
iblis, dia adalah iblis yang buas.
Melihatku disana, Fa dicampakkan
begitu saja, dilemparkan hingga terjatuh dibelakangku. Sosok berjilbab biru itu
kembali menjadi manusia biasa, terlihat terengah-engah, seolah sudah sampai
pada masanya. Saat aku berbalik melihat Fa, mahluk itu mendadak melompat dan
menerkamku, aku terdorong ke tanah. Leherku terasa sesak dan sakit.
Aku menoleh sebentar melihat Fa,
dia juga menatapku, tersenyum. Senyumnya sangat manis.
“Terima.. kasih..” entah apa yang
terjadi, tubuhnya bercahaya sangat terang, kemudian menghilang.
Kembali terjebak dalam kengerian,
aku harus berhadapan lagi dengan mahluk itu. Mata satu dan tubuh hitamnya
benar-benar mengerikan, aku sampai mual menghadapinya. Kulihat dia mengangkat
tangan kirinya (sepertinya ini yang membuat Fa kehilangan separuh tubuhnya).
Tepat sebelum tangan itu mencabik tubuhku, satu sosok bersayap datang dan
menginjak si mengerikan itu hingga tidak bersisa.
“Entah kenapa aku sangat kesal
ketika harus bertemu mahluk ini” gumamnya.
Kemudian dia menatapku, kemudian
menghela nafas
“Sesungguhnya aku tidak mengerti,
tapi kemarilah, ikut aku”
Aku Betul-betul Bingung
Aku dibawa pergi dari ruangan itu,
hanya untuk kembali di ruangan berwarna putih. Bedanya, Fa ada disana dan dia
terlihat benar-benar hidup. Mahluk bersayap itu menurunkanku, dan tentu saja
aku segera berlari menyongsong Fa. Tentu, sebaliknya Fa juga berlari
menyongsongku.
“Fa..” kataku sambil berlari.
Saat kami hampir berpelukan, mahluk
bersayap itu berdehem dengan sangat keras, menganggu kami.
“EHEM!” dia menundukkan wajahnya,
sembari menggelengkan kepala
“Pertama aku ucapkan keselamatan
kepada kalian berdua, meskipun kalian mengalami sakit mental, tapi entah kenapa
aku merasa seperti bertemu dengan orang-orang beriman. Allah juga menyampaikan
salam kepada kalian berdua, dan mengundang kalian untuk kembali sebagai
jiwa-jiwa yang tenang”
Sedikit pertanyaan didalam
kepalaku, namun mahluk bersayap itu mengisyaratkan ku untuk diam.
“Kalian adalah manusia cerdas,
pasti tahu kalau kalian sudah mati. Dan ya, kalian sudah mati. Kedua, kehendak
Allah untuk jodoh adalah misteri, jadi mungkin inilah salah satu misterinya.
Intinya, silahkan menunggu disini sampai aku kembali” sekejap dia terbang dan
menghilang dari pandangan ku. Fa? Dia hanya membulatkan mulutnya, lucu sekali.
“jadi kita sudah mati?” Fa membuka
suara sembari menatapku. Wajahnya masih tidak percaya dan itu lucu.
Sedikit bingung, aku membuka dan
menutup mata, namun tidak ada reaksi apa-apa
Dengan bingung, aku hanya
mengangguk. Kulihat wajah Fa, terlihat dia sangat lega, dia menghela nafas kuat
kuat.
“akhirnya semua ini berakhir, ya,
berakhir..” air mata itu kembali mengalir, aku, aku benar-benar ingin
melindunginya!!!
Aku melompat untuk memeluknya,
tepat sebelum tangan ku menyentuh tubuhnya,
“EHEM!!!”
Mahluk bersayap mengesalkan itu
datang lagi.
“sudah waktunya, sebaiknya kalian
tunda dulu hal itu” dia berkata dengan muka datar yang membuatku sebal. Entah
kenapa, aku betul-betul kesal dengan mahluk bersayap ini, tapi tidak bisa membencinya.
Rumahku, Entah Kenapa ada Tratak di Depannya
Ayah dan Bunda terlihat sedang
bercakap dengan dua orang lain, sebaya mereka sepertinya. Sedangkan dibelakang
mereka ada sesuatu seperti ini :
Innalillahi
wa Inna Ilaihi Raa’jiun
Telah
Berpulang ke Rahmatullah
Alm. Yuda
Aditya Wijaya
Pada hari
Jumat, 10 Desember 2014 pukul 08.40
Ya tulisan itu mengesahkan aku
sudah meninggal dunia, waw. Bersama Fa kami menghadiri pemakaman ku. Ya, dan
entah kenapa aku dan Fa masih tersenyum, mungkinkah kami berdua berakhir dengan
baik?
“Fa bagaimana ibu?” itu suara
bunda! Ternyata yang bunda ajak bicara adalah ibunya Fa.
“Alhamdulillah, Fa juga berpulang
dengan bahagia. Jujur kami sekeluarga masih merasa tidak enak hati dengan ibu
dan keluarga, karena Fa, Nak Yuda jadi harus mengalami hal seperti ini”
Terlihat mata Ibu Ratih basah oleh
air mata.
“Tetapi sebelum Fa pergi, dia
sempat berkata “Ibu, Yuda sudah maafin aku, Yuda juga yang nyelametin aku, Ibu
aku seneng banget” semacam itu. Schizofernia Fa memang sudah sangat akut,
ditambah Fa juga menderita penyakit kronis di otaknya. Sepertinya, kejadian
yang dia lihat di mimpinya memberi beban yang terlalu berat untuk otaknya,
sehingga, ya begitulah..”
Terlihat Tuan Agus mendekap
istrinya erat. Aku melihat Fa hanya tersenyum sambil berusaha menahan tangis.
Rupanya seperti itu, Fa terkena berbagai penyakit selama hidupnya. Hem, dan
dengan itu dia senantiasa berusaha tersenyum.
“Kami sekeluarga juga sudah
memaafkan Fa kok ibu. Memang berat bagi kami..” bunda menimpali
“Kejadian ketika Fa menyerang Yuda
dan membenturkan kepalanya ke lantai, memang memicu trauma akut di kepala
bagian belakangnya” ibu menjelaskan dengan bergetar
Oh, jadi bukan karena roller skate,
aku memang diserang hingga mengalami cedera akut seperti ini. Dan yang
menyerangku adalah Fa, aku menengok kea rah Fa. Aku mulai melihat rona matanya
memancarkan kesedihan. Ditambah gesture yang seolah tidak mau melihatku,
membuat nya semakin imut.
“tapi entah kenapa malah banyak
berkah kami peroleh ibu. Medali dan piala di kamar Yudi menjadi saksi. Bahkan
dia mendapat kursi dan beasiswa full dari universitas Indonesia. Mampu memberi
banyak manfaat bagi lingkungannya” dengan air mata menetes, ibu tersenyum dan
tampak bangga. Begitu juga ayah, Tuan Agus dan Ibu Ratih.
“kami pun sudah diwanti-wanti oleh
dokter, disebabkan ada memori yang tercerabut paksa, Yuda mungkin akan
mengalami beberapa halusinasi. Terakhir demi menyelamatkan dia, kami memang
memindahkan ke tempat karantina”
“tepat di sebelah kamar Fa” bunda
dan Bu Ratih kompak menyebut ini bersama
Aku terkejut, menatap wajah Fa. Dia
hanya tersipu malu, sudah, seperti itu! Apa banget coba?!
“dan di malam itu, kami memang
dikabari tim dokter, mungkin di malam ini aka nada serangan di alam bawah sadar
yang paling besar, resikonya memang kematian. Maka dari itu”
“justru akhirnya kita malah bertemu
lagi ya ibu” bunda dan Bu Ratih kembali tersenyum.
Entah apa tapi aku merasa ada
sesuatu yang janggal malam hari itu. Inas! Inas tidak ada dibawah bersama bunda
dan ayah.
Segera aku mencarinya, sayup sayup
aku mendengar ibu berkata dimana Inas. Dan aku sudah menemukannya, dia duduk di
meja belajar, menatap fotoku yang oleh siapa sudah disejajarkan dengan foto
Farhanah. Sekelebat aku melihat bayangan mahluk hitam mengerikan di belakang
Inas, siap menerkamnya.
Tanpa buang waktu aku segera
berdiri dibelakang Inas. Kalian tentu ingat kan? Aku memang mengalami
halusinasi berlebihan, tetapi aku masih orang jenius yang waras. Dan aku tahu
betul bagaimana cara mengusir mahluk mengerikan ini.
Seperti dugaanku, Inas membuka laci
ku, karena Inas selalu penasaran dengan isi kamar kakak kesayangannya. Aku sudah
meninggalkan sesuatu disana, sembari mengawasi mahluk menjijikan itu, aku tersenyum
sinis melihat mahluk itu hanya mengaum dan menggeliat benci.
“Dear Inas
Kalau kamu
nemuin ini, mungkin kamu udah ngga bisa ketemu kakak berisik mu ini
Ngga ada
yang ngehalangin kamu buat ngacak-ngacak kamar kakak
Kakak sayang
sama Inas J
Dan kakak
yakin Inas mungkin akan sedih banget karena kakak pergi
Jangan sedih
Nas, kakak ngga mau lihat kamu sedih
Kalau kamu
mau mengenang kakak, bacalah Qur’an peninggalan kakak ini. Rutin, terus menerus
Anggaplah kata-kata
Allah didalamnya adalah kakak yang sedang bercanda sama kamu
Kakak yang
sedang ngedengerin kamu nangis
Tapi, kamu
juga langsung berbicara sama Allah Nas, dan Allah maha kuasa
Kakak yakin,
Allah akan menjaga hati Inas, hadir dalam kesendirian Inas, bahkan mungkin
mengirim pangeran terbaik untuk Inas
Mungkin kakak
bakal cemburu juga (hehe) tapi kakak ngga kemana-mana kok. Inas hanya perlu
lebih dalam, melihat hati Inas. Karena selamanya, kakak akan berada di situ
Udah ya,
kakak mau istirahat J smile my
little angel”
Inas memeluk
surat itu erat, menangis, dan aku tidak melihat tanda-tanda mahluk menjijikan
itu. Mungkin sudah waktunya aku pergi kah?
Fa telah menunggu di luar jendela,
tersenyum. Aku segera berdiri di sisinya, sembari menatap Inas yang memperbaiki
jilbabnya, dan mulai membaca Al-Qur’an
“Kamu ngga jatuh cinta sama adik mu
kan Yud?” Fa berkata sambil tersenyum geli. Eh? Ternyata ini karakter aslinya
ya?
“Nggak lah. Ngga boleh, lagipula,
siapa yang tahu siapa jodoh kita baik di kehidupan atau di kematian?”
tersenyum, tanganku berusaha menggenggam tangannya.
“EHEM!!!!” suara ini lagi, sedikit
merengut, aku membalikkan badan, sedangkan Fa hanya tersipu menahan tawa. Dengan
kesal, aku menggenggam tangan Fa, membuat Fa terkejut dan kembali tersipu malu,
sedangkan mahluk bersayap itu hanya memasang wajah datar.
“kalian ini memang. Sudah sana, waktunya
kamu memperoleh apa yang kamu perbuat di dunia. Dan entah kenapa sepertinya
kalian berada dalam nikmat abadi”
Sebelum cahaya itu menyinari kami,
kami berdua hanya saling berpegangan tangan, erat. Diiringi bacaan Al-Qur’an
Inas, keikhlasan kedua orang tua kami, kami pergi. Selamanya.
Wallahu ‘Alam
FIKTIF INI
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/kematian.htmlhttp://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/menyederhanakan-kesederhanaan-sebuah.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/kematian.htmlhttp://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/menyederhanakan-kesederhanaan-sebuah.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment