Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Thursday, June 15, 2017

Ramadhan dan Keteladanan



Sumber : google.com
Ramadhan dan Keteladanan

Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam


Alhamdulillah kita melaksanakan ibadah pada bulan ramadhan di Indonesia. Kalimat ini menarik karena jika melihat waktu berpuasa di negara tropis, Indonesia misalnya. Tidak peduli musim apapun, baik itu kemarau atau hujan, waktu berpuasa di negara tersebut seringkali tidak berubah, dari pukul 04.00-18.00. Menilik cerita Andrea Hirata dalam buku Edensor, saat dia sedang berjuang melakukan ujian tesis. Ujian tesis yang kebetulan dilaksanakan saat bulan ramadhan ini dilaksanakan pukul 18.00, saat itu musim panas dan pukul 18.00 masih belum ada tanda-tanda matahari akan tenggelam. Sungguh bukan hal yang mudah, meskipun di belahan bumi selatan mungkin memiliki waktu puasa lebih cepat.

Beruntung kita bisa menjalani bulan ramadhan di Indonesia. Ketika iklan produk sirup berseri sudah tayang di televise, kita sudah diingatkan untuk segera bersiap menyongsong ramadhan. Saat ramadhan pun tidak kalah menyenangkan, jejeran makanan khas dan unik tersaji di pasar-pasar ramadhan, benar-benar menggugah semangat untuk melanjutkan ibadah puasa keesokan harinya. Selain itu, pada waktu sahur kita diingatkan oleh sekelompok anak-anak muda dengan kentongan, gallon bahkan beduk. Menggugah kita dari tidur lelap untuk segera bersahur.

Sedangkan cerita seorang teman yang pernah mengadvokasi tenaga kerja Indonesia di Hongkong, ramadhan menjadi tantangan tersendiri. Aturan lokal dimana majikan dilarang membiarkan tenaga kerja kelaparan membuat ibadah puasa ramadhan menjadi tantangan yang sukar dipenuhi. Tidak ada izin untuk bersahur, bersama penghuni rumah harus sarapan, untuk memastikan di hari itu tidak ada yang berpuasa. Shalat tarawih pun harus dilaksanakan ditengah sunyi dan gelap malam, bukan di masjid, tetapi di toilet atau di bilik-bilik sempit di rumah majikan.

Bersyukur kita bisa ber-ramadhan di Indonesia. Hiburan saat ramadhan berlimpah ruah, bahkan terkadang dilakukan usaha-usaha meniru semangat para pejuang Badar. Meriam bambu,perang sarung, hingga kembang api membanjiri pasar saat ramadhan. Kemeriahannya setara dengan tahun baru di negara-negara asing. Jika pada malam selepas tarawih terdengar bunyi dentuman, bisa dipastikan itu salah satu dari kembang api tadi. Jika dentuman tadi seperti suara ledakan kecil, dipastikan suara itu datang dari petasan, adik dari kembang api.

Sedangkan di berbagai tempat, Iraq, Suriah dan Palestina misalnya. Suara dentuman bisa berarti siulan izrail. “Hari ini kamu akan mati bro” mungkin begitu bunyinya. Petasan roket yang kita mainkan dengan ceria disini, di tempat-tempat tadi berganti menjadi roket jelajah jarak jauh dengan daya ledak bisa meremukkan satu kota. Bunyi ledakan kecil seperti petasan disana, bisa jadi turut mengantarkan proyektil berupa peluru tajam. Luar biasa.

Tetapi, entah kenapa saat 1 ramadhan datang menghampiri, seluruh ummat muslim sedunia berlomba-lomba menjadi orang baik. Tidak peduli mereka harus berpuasa lebih dari 16 jam, berpuasa secara sembunyi-sembunyi atau berpuasa sambil merunduk menghindari ledakan dan peluru. Semua serempak beribadah, memberikan amal terbaik untuk dipamerkan kepada Allah SWT kelak di akhirat. Muda, tua, kaya, miskin, semua memberikan yang terbaik, selama satu bulan berlomba menjadi hamba Allah yang beriman.

Semua dikarenakan sebuah perintah sederhana, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Perintah umum mencakup seluruh ummat islam yang sudah mencapai drajat mukallaf untuk dibebankan kewajiban berpuasa. Perintah wajib ini berlaku umum, maka, sebagai wujud keta’atan kepada Allah dan rasul, serta usaha mencapai derajat muttaqqin (bertakwa), ummat islam berlomba-lomba memenuhi kewajiban ini.

Maka dari dasar perintah melaksanakan ibadah puasa, bisa disimpulkan bahwa ibadah ini bersifat kolektif. Dimana kewajiban melaksanakannya pun komunal,seluruh komunitas muslim di dunia dimanapun dia berada wajib melaksanakan ibadah puasa, dan dianjurkan menjalankan ibadah-ibadah lain pendukung ibadah puasa ramadhan. Bayangkan, komunitas besar beranggotakan 1.6 Milyard orang bersama-sama berlomba menjadi orang shalih dan dilaksanakan penuh selama 1 bulan. 

Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana hasil maksimal dari ramadhan, menjadi orang bertakwa, bisa diperoleh? Penjabaran dari kondisi dan tantangan menjalankan ibadah ramadhan di berbagai belahan bumi menjadi jawabannya. Sifat ibadah-ibadah pada bulan ramadhan yang komunal, menjadi jawaban. Gelar “muttaqqin” tentu memiliki tantangan berat untuk dapat memprolehnya, namun pada saat bulan ramadhan kita bisa “meringankan” tantangan tersebut dengan menerapkan “keteladanan”.

Menjalankan berbagai ibadah di bulan ramadhan di tempat-tempat mayoritas non-muslim jelas lebih berat dibandingkan dengan di tempat mayoritas muslim. Tetapi, menjalankan ibadah di bulan ramadhan pada tempat-tempat mayoritas muslim akan terasa lebih berat jika sesame muslim tidak menjalankan ibadah tersebut. 

Maksud dari dua kalimat diatas, menunjukkan peran vital bagaimana seharusnya kita berbuat pada saat bulan ramadhan. Berbicara kesuksesan dari ramadhan, maka baiknya seluruh anggota lingkungan kita menjalankan ibadah-ibadah tersebut semaksimal mungkin. Apalagi, jika kita berada di negara mayoritas muslim. Beberapa kelompok muslim saja, tidak menjalankan ibadah tersebut, puasa misalkan, bisa jadi mempengaruhi semangat anggota kelompok lain dalam beribadah.
 
Sumber : https://soniazone.files.wordpress.com/

Ambil contoh dalam satu keluarga, sang bapak tidak berpuasa. Maka cukup sulit membayangkan anak-anak dan istrinya bisa menjalankan ibadah puasa. Misalkan lagi dalam satu kelurahan ada sekelompok masyarakat, mereka muslim, menggelar pesta makan-makan di siang hari. Tentu akan menjadi kendala tersendiri bagi kelompok masyarakat lain untuk meneruskan ibadah puasanya.

Coba contoh negatif diatas, kita ubah menjadi seperti ini. Seorang kepala keluarga berpuasa penuh dan rutin mengajak keluarganya ke masjid untuk sholat tarawih. Tentu, istri dan anak-anaknya akan berusaha memenuhi dan mencontoh ajakan sang bapak selaku kepala keluarga. Misalkan acara makan-makan masyarakat di kelurahan X diganti menjadi agenda buka bersama dan pemberian santunan kepada anak yatim. Jangankan yang berpuasa, yang tidak berpuasa pun akan menahan diri makan di siang hari, agar bisa terlihat “pantas” saat agenda berbuka bersama nanti.

Disinilah bagaimana ibadah kolektif ini mendidik penganutnya untuk menjadi pribadi yang toleran. Tidak hanya menuntut hak-hak nya dipenuhi, namun memikirkan apakah pemenuhan hak-hak nya menganggu kepentingan orang lain atau tidak. Disinilah Allah SWT membicarakan urgensi keteladanan untuk dapat secara nyata, memberikan dampak berupa perbaikan di masyarakat. Dan pada bulan ramadhan, aspek keteladanan ini berdampak langsung kepada kualitas ibadah ummat muslim, secara kolektif pula.

Jika kita menganggap bulan ramadhan sebagai madrasah akbar untuk membentuk pribadi berkualitas, maka keteladanan menjadi cara terbaik untuk mendidik diri dan keluarga selama berada di madrasah ini. Dengan demikian, selama satu bulan orang-orang akan melihat kedalam dirinya, berusaha memberikan contoh terbaik kepada diri sendiri dan lingkungan. Contoh terbaik baik berupa ibadah maupun ‘amal-‘amal yang lain. Maka selagi masih ada waktu, segera bersama-sama memaksimalkan semua amal yang mungkin dilaksanakan selama bulan ramadhan. ‘Itikaf kolektif, khataman Al-Qur’an, sholat tarawih, dan sholat-sholat wajib menjadi sarana bagaimana ramadhan mendidik ummat islam secara komunal, untuk dapat menjadi tauladan bagi diri dan lingkungannya. Tentu, ibadah-ibadah tadi lebih menyenangkan jika dilaksanakan secara bersama-sama.

Dengan penjabaran diatas, maka sesungguhnya produk budaya seperti warteg ber-gorden, adalah salah satu wujud toleransi sesungguhnya. Toleransi yang memang bertujuan membantu keberhasilan ibadah komunitas muslim, di negara mayoritas muslim. Berbicara ibadah ramadhan tidak berbicara kekuatan iman masing-masing individu. Tetapi, semua ini berbicara tentang bagaimana ummat islam mendidik diri dan komunitasnya untuk dapat menjadi tauladan. 

Sumber : http://cdn2.tstatic.net/suryamalang/foto/bank/images/layang-layang-di-bristol_20160509_103041.jpg

Memang betul pahala dari puasa, Allah SWT-lah yang kelak akan menilai. Namun jika kita semua bersepakat ramadhan adalah madrasah perbaikan, maka kita berbicara gambaran umum para lulusannya. Kita tidak berbicara soal 1 atau 2 orang yang “kelihatannya” muttaqqin, tidak, muttaqqin atau tidak-nya hamba itu urusan Allah. Tapi kita berbicara, bagaimana 1.6 Milyard muslim, memberikan kebaikan positif secara sosial, melalui keluhuran ahlak, ketulusan budi, dan totalitas pengabdian dalam lingkup beribadah kepada Allah SWT. Kesemuanya Allah SWT didik, dengan ibadah-ibadah mulia di bulan ramadhan. 


Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6



Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini

https://www.selasar.com/jurnal/36090/Ramadhan-dan-Keteladanan
Untuk artikel menarik lainnya, bisa klik pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/ramadhan-dan-kesejahteraan-sosial.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/menemukan-kembali-islam-indonesia.html

Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya 




No comments:

Post a Comment