Dul dan Bahasa Arab (Ana Qosim)
Belajar, sebuah kewajiban mutlak
seorang pelajar. Iyalah, kalau bukan pelajar ngapain make nama pelajar? Mungkin
lebih cocok pakai nama pe-apa sesuai pekerjaannya. Tapi aneh ya, koruptor
kenapa pekerjaannya korupsi? Sesuatu yang tidak nyambung. Ya namanya juga kata
serapan. Terus santri kerjaannya apa? Kata sejarah bahasa santri itu berasan
dari bahasa sansekerta, artinya juru tulis. Tapi nggak semua mantan santri
menjadi juru tulis, terus kerjaannya santri apa?
Ya lupakan, paragraph tadi hanya
sekedar omong kosong saja, biar tulisannya agak panjang. Tapi bukan basa-basi
juga sih, sempet dibahas singkat soal belajar. Pertanyaannya, apakah santri
PPNK belajar? Mungkin kalau melihat cerita-cerita sebelumnya pekerjaan
santri-santri PPNK hanya main-main, baik itu di WC, saat makan, atau mungkin
malah kesasar pas jalan-jalan. Ya, kehidupan santri PPNK memang tidak
dihabiskan di kelas seperti siswa SMP atau SMA pada umumnya. Lebih sering
santri PPNK menghabiskan waktu diluar kelas, atau di kelas sih, tapi agenda-nya
bukan belajar-mengajar.
Tapi tetap kami harus belajar,
bahkan meskipun kehidupan sehari-hari kami sudah cukup sinting, untuk dapat
naik tingkat kami harus baik dalam belajar. Tetap saja di PPNK ada ujian
kenaikan kelas, ujian semester, ulangan harian dan sejenisnya. Bahkan dengan
sombong ane berani bilang kalau muatan pelajaran di PPNK jauh lebih berat dari
sekolah lain. HA! Pasti kalian banyak yang mencibir, tapi terserahlah, ane akan
beberkan fakta-nya.
Pertama, PPNK adalah pondok dengan
akreditasi A, tentu bukan hanya depag tapi juga depdikbud (untuk Mts dan MA-nya).
Artinya, ijazah kami saat SMP maupun SMA sifatnya sudah sama dengan ijazah
SMA-SMA pada umumnya. Bahkan bisa dibilang peringkat akademik PPNK terhitung
tinggi jika diadu dengan sekolah negeri atau swasta di Kota Logam ini. Maka,
jelas ada banyak persyaratan untuk memenuhi kriteria tersebut, apalagi tidak
seperti pondok pesantren lain, di PPNK tidak ada sejarahnya kejar-kejar paket,
semuanya lulus dengan jalur regular.
Dengan ijazah regular kami,
otomatis pelajaran-pelajaran kami di pondok standarnya sama dengan sekolah-sekolah negeri atau swasta dibawah dinas
pendidikan. Keren kan? Artinya, meskipun kami tidak memiliki akses dunia
luar, kami tetap harus bisa mengusai mata pelajaran seperti matematika, fisika,
kimia, biologi dan bahasa Indonesia. Jangan dibayangkan PPNK pondok macam apa
ya, di dalam lingkungan pondok sudah tersedia laboratorium computer,
perpustakaan, dan laboratorium sains dan bahasa. Jadi bisa dibilang, melihat
kelengkapan fasilitas dan sejenisnya bisa dibilang kami hanya siswa-siswi SMP
dan SMA biasa yang menginap di sekolah.
Tapi, tetap PPNK adalah pondok pesantren,
isinya orang-orang islam yang sengaja datang untuk mencari ilmu agama lebih
dalam. Maka, selain pelajaran-pelajaran umum tadi yang sudah cukup untuk
membuat anak-anak sekolahan biasa bunuh diri (ha) kami sebagai santri masih
harus melahap mata pelajaran pondok. Apa itu mata pelajaran pondok? Mata pelajaran
pondok adalah mata pelajaran yang kurikulum, silabus dan tetek bengeknya
menjadi hak pondok pesantren untuk membuatnya. Mayoritas berisi mata pelajaran
yang erat kaitannya dengan agama islam, tentu lebih mendalam.
Tafsir Al-qur’an, Ilmu Hadits,
Hadits, Fiqh, Sirah, Aqidah, dan Nahwu-shorof harus kami makan dan kami
selesaikan, dengan baik. Kenapa dengan
baik? Kenaikan tingkat di PPNK dipengaruhi oleh mata pelajaran pondok tadi,
kalau nilai-nilai mu di mata pelajaran pondok hancur, jangan harap kamu bisa
naik kelas. Selain mata pelajaran tadi, kamu juga harus mampu menyelesaikan
target hafalan Al-Qur’an, setiap tahun 1 Juz (minimal). Jika kamu gagal
memenuhi target 1 Juz tadi, secara langsung kamu tidak akan naik kelas,
langsung tanpa pandang bulu.
Terus mata pelajaran umum tadi
untuk apa? Bagaimanapun kamu ngga akan selamanya di PPNK, maksimal 6 tahun lah
di PPNK. Dan jelas Universitas Indonesia misalnya, tidak akan ambil pusing soal
nilai-nilai mata pelajaran agama islam tadi jika kamu ambil PMDK. Dia hanya
akan melihat nilai-nilai matematika dan sejenisnya selama 3 tahun di SMA. Begitu
juga jika kamu berencana hanya menyelesaikan Mts saja di PPNK, untuk masuk ke
SMA favorit kamu juga butuh nilai mata pelajaran umum tadi selama 3 tahun juga.
Gimana? Sudah mulai pusing? Ane aja yang nulis pusing, karena keingetan memori
enek jaman dulu.
Maka sedikit miris ketika kami
santri PPNK melihat berita di Koran tempelan pusat informasi, tentang berita
siswa SMP bunuh diri karena nggak naik kelas. Atau anak-anak SMA menghabiskan
masa depannya untuk narkoba, hanya demi diterima di suatu lingkungan tertentu
atau melarikan diri dari pusingnya sekolah. Atau mungkin bergabung di geng
motor dan sebagainya, mungkin terlibat tawuran dan hal-hal tidak penting
lainnya. Memang sekolah-mu belajarnya seberat apa? Memang rumah-mu tidak bisa
membuatmu nyaman?
Santri-satri PPNK harus
menyelesaikan mata pelajaran sekolah-mu ditambah mata pelajaran pondok yang
naujubileh. Mereka harus bersabar menunggu waktu ketika orang tuanya memiliki
kesempatan untuk menjenguk dan mendengarkan keluh kesah mereka. Hidup di
lingkungan yang tidak jelas hubungan keluarganya dengan kita, bergaul dengan
berbagai latar belakang masyarakat, dari ujung barat sampai timur Indonesia. Semua
konflik dan beban bersosial tadi harus mereka tanggung sendiri. Pernahkan ada
berita anak PPNK bunuh diri karena itu? Nggak, nggak pernah. Semuanya kembali
ke diri kita masing-masing, kita cukup kuat untuk menyelesaikan berbagai
masalah itu atau tidak. Karena alasan seperti ketiadaan fasilitas, tempat tidak
nyaman dan sebagainya, seringkali hanya alasan yang dibuat seorang pengecut.
Wah kok malah jadi kritis
tulisannya, ngga, ini masih genre komedi, sial, malah ngiritik. Duh! Intinya belajar
di PPNK memang mengesalkan. Kesal karena lelah dan kesal karena memang
menyebalkan. Selain mata pelajaran umum, buku pelajaran kami semuanya memakai
buku asli untuk referensi. Jadi, mata pelajaran ane seperti hadits, tafsir dan
sejenisnya kami memakai buku-buku dari Arab yang dicetak ulang tanpa merubah
buku aslinya (kadang ane bertanya-tanya kenapa harus dicetak ulang jika memang
isinya sama kayak buku asli)
Artinya, mata pelajaran dengan
nama-nama aneh tadi, kami pelajari menggunakan bahasa ibunya. Ya! Bahasa Arab,
bahasa padang pasir, bahasa pemakan kolak korma dan pengendara unta. Bahasa yang
tulisannya mirip cacing melingkar-lingkar, cara pengucapannya kadang bikin
orang keseleo lidah bahkan tersedak. Bahasa yang setiap kata bisa memiliki
hingga 12 derivasi penggunaan yang berbeda! Bukan hanya past-present-future,
tapi lebih dari itu. Bahasa, yang bahkan dunia mengakui sebagai bahasa
tersulit, apalagi jika sudah bicara karya sastranya. Dan terakhir, bahasa yang
Al-Qur’an yang juga menjadi bahasa para ahli surga.
Maka penting bagi para santri baru
semacam ane untuk mempelajari bahasa alien ini lebih dahulu disbanding bahasa
lain. Karena 2 alasan. Pertama, bahasa Indonesia
sifatnya haram digunakan di PPNK. Kedua, semua mata pelajaran yang menentukan
naik kelas tidaknya kami menggunakan bahasa alien ini. Maka sejak awal menjadi
santri, sudah diwajibkan kepada kami setidaknya membawa 1 kamus bahasa Arab dan
1 kamus bahasa inggris, karena selama 6 tahun di pondok mungkin kami akan terus
memakainya.
Bahasa asing sendiri memiliki ruang
tersendiri dalam kenangan buruk ane. Kenangan buruk ini ane mulai pada saat
kelas 4 sekolah dasar ane pertama kali belajar bahasa inggris. Singkat cerita,
guru bahasa inggris langsung meminta kami mengerjakan soal, yang isinya mengisi
nama objek-objek tertentu dalam bahasa inggris. Objek itu ada buku, kursi dan
meja. Ada huruf-huruf acak diatas objek tadi yang menjadi clue untuk menjawab
pertanyaan tadi, jadi jika anda memiliki kemampuan bahasa inggris standar,
mudah saja menjawabnya.
Tapi, karena ane ngga ngerti sama
sekali, ane menjawab buku à B-O-K-O,
meja à ?, kursi à ?. BOKO, bahasa darimana itu? Meskipun
saat kelulusan ane mendapat penghargaan karena nilai UASBN ane tertinggi
seangkatan untuk bahasa inggris (96 nilainya) pengalaman menulis BOOK menjadi
BOKO masih menjadi trauma tersendiri. Karena guru bahasa inggris ngeselin itu
betul-betul menilai ane 0 karena ane ngga bisa menjawab satupun dari pertanyaan
itu.
Maka, melihat buku bahasa Arab yang
tebalnya mirip roti tawar, ane sudah was-was sejak awal. Sama sekali tidak ada
satupun halaman yang memiliki harakat disana, semuanya Arab gundul. Bahkan di
halaman-halaman awal ada gambar-gambar tidak lazim tanpa ada satupun huruf
disana. Ane sudah membayangkan mungkin pengalaman pertama ane belajar bahasa Arab
akan menjadi trauma tersendiri, dan trauma itu tidak bagus. Kalau kamu sudah
trauma kamu pasti akan sangat kesulitan untuk menguasai bahasa tersebut.
Akhirnya tibalah hari perjanjian,
pertama kalinya kami santri tahun pertama di PPNK belajar bahasa Arab. Buku bahasa
Arab berwarna kuning dihadapan ane seolah mengeluarkan aura kegelapan, menarik
ane kedalam trauma B-O-K-O saat ane sekolah dasar dulu. Keringat mulai menetes,
keringat dingin tentunya, hingga pintu kelas kami dibuka oleh sesosok manusia.
“Tenonenonenot..
Cik..
pak..pak.. tet tot.. cik.. pak.. pak.. tet.. tot.. cik.. pak..pak..
Biar kata,
mirip buaya, bagiku kau Luna Maya
Ow.. ow.. I
Love you beibehhh….”
Entah kenapa di kepala ane langsung
berputar background music The Changcuter setelah sosok manusia tadi masuk ke
kelas kami. Model rambut mumbul belah
pinggir, dengan kilatan-kilatan minyak rambut, muka tirus, janggut dan
kumis tipis, serta postur yang mirip. Tria the changcuter jadi ustadz di PPNK! Luar
biasa kami akan diajari bahasa Arab oleh artissss!
Ya tentu semua itu hanya delusi,
tapi melihat reaksi teman-teman sekelas ane, dimana mereka semua mulai
cengar-cengir cengengesan, mungkin background music tadi juga berputar di
kepala mereka. Dengan lnagkah tegap meyakinkan (meskipun kurus kering sih)
Ustadz Tria meletakkan buku bahasa Arab berwarna kuning sekaligus kamus di meja
guru (nama asli beliau bukan Tria, semua ini demi melindungi nama baik beliau),
beliau langsung berbalik menghadap kami dengan tersenyum.
Ditatapnya kami satu persatu, kemudian
mengalunlah sebuah “Assalamu’alaikum”
paling fasih yang pernah ane denger. Setelah mengucap salam beliau menyisir
rambutnya kebelakang, persis si Tria pas mau nyanyi, dan dia mulai mengabsen
nama kami satu-satu.
Tanpa ba..bi..bu, setelah mengabsen
nama kami dan tahu darimana asal kami, beliau langsung menyuruh kami membuka
buku bahasa Arab berwarna kuning itu. Mendadak trauma B-O-K-O menghantui kepala
ane. Beliau langsung meminta kami menuju halaman, dimana ada sebuah gambar
komik 4 strip, 2 orang laki-laki terlihat bercakap-cakap tanpa ada percakapan
atau tulisan apapun disana. Opo iki! Lebih
parah dari insiden B-O-K-O tadi, sama sekali ngga ada clue disini.
Ustadz Tria hanya tersenyum, dan
kemudian berbicara dalam bahasa Indonesia
“Kalian ikuti yang saya ucapkan ya,
ingat, ikuti dengan serius!”
Dengan was-was kami mencar-cari,
mana yang harus kami baca dan kami ikuti dari omongan beliau? Di halam ini sama
sekali tidak ada satupun teks dan sejenisnya! Mungkin ini memang ustadz satu
ini memang lebih parah dari guru bahasa inggris ane di sekolah dasar.
“Wakhiid.. Itsnain.. Tsalast..”
“Assalamualaikum..!! Ana Kamal..”
“Waalaikumsalam, Ahlan Kamal!! Anaa
Qoooooossim!!”
“Ahlan Qoosim! Min Aina Anta?”
“Ana Min Niijiiriiii! Min Aina
Anta?”
“Ana Min Suudaan!”
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”
Ustadz Tria Changcuters itu
langsung merepet tidak karuan dalam bahasa Arab dengan dialek Indonesia. Sedikit
banyak ane pernah belajar bahasa Arab dulu, jadi ane bisa denger yang beliau
bilang. Tapi untuk mengerti, ngga sama sekali. Dengan beberapa teman ane masih
membolak-balikkan halaman untuk menemukan dialog Qosim Qosim tadi, tapi
ternyata nihil. Dialog Qosim tadi sama sekali ngga ada di buku ini.
“Hei, buat apa kalian bolak-balik
buku, kan sudah saya bilang, perhatikan dan ulangi perkataan saya. Oke?!”
melihat kebingungan kami, beliau mengulang lagi instruksi tadi.
“Baik sekali lagi, fokus ikuti dan
ulangi apa yang saya katakan! Oke?!”
“Wakhiid..
Itsnain.. Tsalast..”
“Assalamualaikum..!!
Ana Kamal..”
“Waalaikumsalam,
Ahlan Kamal!! Anaa Qoooooossim!!”
“Ahlan
Qoosim! Min Aina Anta?”
“Ana Min
Niijiiriiii! Min Aina Anta?”
“Ana Min
Suudaan!”
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”
Kompak kami semua mengikuti
perkataan beliau, dan mengulang percakapan tadi selama berkali-kali. Entah mungkin
45 menit pertama dalam jam pelajara bahasa Arab kami habiskan untuk mengucapkan
kalimat Arab yang kami tidak tahu artinya. Dipandu Ustadz Tria Changcuter yang
bersemangat, perlahan-lahan kami melafalkan bahasa Arab diluar Al-Qur’an dan
hadits yang memang sudah biasa kami baca.
Setelah puas mengulang-ngulang,
hingga kami semua hafal diluar kepala (bahkan ane masih inget sampai sekarang)
baru beliau menuliskan percakapan tadi dalam bahasa Arab di papan tulis. Kemudian
beliau meminta kami menuliskan semua percakapan tadi, dan perlahan-lahan
menjelaskan satu persatu maksudnya.
Percakapan tadi adalah standar
perkenalan dalam bahasa Arab. Artinya kira-kira “Perkenalkan saya Kamal. Hai Kamal,
saya Qosim. Saya (Kamal) berasal dari Nigeria, kamu darimana? Saya (Qosim)
berasal dari sudan”. Nah, si Kamal sama si Qosim ini baru pertama kali bertemu,
dan dari perkenalan pertama ini m mereka mengetahui nama dan asal
masing-masing. Luar biasa kan? Dalam satu kali belajar ane mungkin sudah bisa
bertemu dengan orang Arab dan tahu nama serta asalnya dia. Beda jauh sama
insiden B-O-K-O pas ane SD dulu, mungkin ane malah bikin malu Indonesia karena
ngga tahu apa bahasa inggris dari buku.
Senyum unik Ustadz Tria Changcuter
masih menemani kami, perlahan-lahan beliau menjelaskan satu persatu maksud dari
percakapan tadi. Kosakata tadi juga dijelaskan pelan pelan. Di akhir, kami
semua mengulang lagi percakapan epic Qosim-Qosim tadi dengan semangat karena
kebetulan pelajaran bahasa Arab saat itu adalah pelajaran terakhir hari itu.
Beliau meninggalkan kelas kami
dengan salam, dan kami pun tersenyum-senyum mengulang percakapan bahasa Arab
tadi. Ane pun juga masih tertawa, karena membayangkan seorang Tria Changcuter
capek-capek dari Bandung ke PPNK buat bilang “Anaaa Qoooosim”. Nggak, itu hanya
delusi saja.
Tapi dalam realita belajar bahasa,
saat ane agak gede ane baru tahu sesuatu. Bahasa asing akan akrab denganmu,
jika lidahmu terbiasa melafalkannya. Karena bahasa memang diungkapkan dengan
bahasa verbal maupun bahasa tubuh, paling banyak digunakan lewat situ. Dan secara
umum manusia memang lebih mudah membiasakan dirinya dengan bahasa asing dengan
belajar bicara. Bahkan sejak bayi-pun kita lebih dahulu bisa mendengar,
berbicara, baru setelah Taman Kanak-kanak kita belajar baca tulis.
Kemudian ane memikirkan insiden
B-O-K-O dengan ‘Ana Qosim’ tadi. Mengapa dalam waktu singkat ane sudah bisa
ngobrol dengan orang Arab dalam bahasa Arab, sedangkan ane bikin malu karena
tidak tahu artinya buku dalam bahasa inggris. Sayangnya pelajaran bahasa di
pertiwi ini mengutamakan teori, buku-buku, tulis-menulis sedangkan miskin Pratik.
Grammar ditelanjangi sampai mampus bahkan seorang anak diremehkan jika
grammarnya berantakan, dalam tulisan lagi.
Padahal kalaupun kita diberi
kesempatan keluar negeri, kita tidak mungkin berkomunikasi dengan tulisan kan? Telinga
dan bibir kita menjadi sarana komunikasi utama dengan penduduk asli. Maka, jika
berbicara seorang lulusan berwawasan dan berkapasitas global, wajar kiranya
jika mereka mampu berbicara dan memahami perkataan orang asing, dalam bahasa
orang asing tadi. Sudah waktunya kita melepaskan diri dari formalitas berbahasa
lewat tulisan, kosa-kata dan buku-buku dan coba membicarakan kata-kata tadi dalam
kehidupan sehari-hari.
Buktinya? Di hari pertama
santri-santri tahun pertama PPNK belajar bahasa Arab, mereka digaransi mampu
berbicara dengan orang Arab, dalam bahasa Arab, dan mengetahui cara menanyakan
nama da nasal orang aran tadi. Sedangkan ane di hari pertama belajar bahasa
inggris di SD sama sekali tidak mengerti apa-apa selain “bahasa inggris buku
itu bukan B-O-K-O”, semua ini benar-benar berada di level yang berbeda.
Maka, dalam hati ane tersenyum
puas, mungkin dengan yang diajarkan Ustad Tria Changcuter tadi ane bisa
melangkah lebih jauh dalam dunia bahasa. Bukan hanya kata-kata dan grammar
saja, tapi lebih dari itu, berbicara, mendengar, dan berpikir dalam bahasa
asing. I believe that is something interesting. Maka pelajaran di hari itu
berakhir dengan bahagia. Sepanjang perjalanan menuju asrama teman-teman
mengulang-ngulang “Ana Qosim” sambil tertawa-tawa puas. Merasa senang mendapat
pengalaman baru tentang bahasa Arab.
“Eh, ngomong-ngomong ustadz yang
mirip Tria Changcuter tadi namanya siapa ya?” mendadak sebuah pertanyaan
menggugah kesadaran kami
Saling pandang dalam kebingungan,
mendadak kami semua serempak tersenyum, mulai tertawa terbahak-bahak. Kompak kami
berteriak..
“AANAAAA
QOOOOSSSIIIIMMMMMMMM!!!!!!!!!”
Tawa lepas mewarnai hari itu. Hari dimana
kami merasakan betul, wajar bahasa Arab menjadi bahas surga dan bahasa Qur’an. Karena
kiranya, bahasa itu menyenangkan untuk dipraktikan.
-Continued
Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com
Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini :
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/06/hikayat-santren-dul-dan-santriwati.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-dan-kamar-mandi.html
Thank you for Support!
Share, Follow and Comment!!
Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com
Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini :
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/06/hikayat-santren-dul-dan-santriwati.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-dan-kamar-mandi.html
Thank you for Support!
Share, Follow and Comment!!
No comments:
Post a Comment