Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Wednesday, May 17, 2017

Untuk Sepakbola Indonesia

Untuk Sepakbola Indonesia

Oleh: Muhammad Abdullah ‘Azzam

1930-an menjadi catatan sejarah teresendiri, ketika negara Hindia Belanda mampu melaju ke piala dunia, dan memperoleh hasil apik menahan imbang Uni Soviet. Digawangi para Bumiputera, kesempatan emas Uni Soviet di kotak pinalti mampu dipatahkan oleh kiper Hindia Belanda waktu itu. Pada pertandingan kandang untuk Hindia Belanda, Uni Soviet pulang dengan bertanya-tanya, apa-apaan itu tadi. Negara koloni dengan materi pemain lokal, mampu menahan imbang mereka. Berbanding terbaik dengan Hindia Belanda, mereka pulang ke rumah dengan bangga, putra-putra mereka mampu menunjukkan “sesuatu” kepada dunia. Menjadi memori indah tersendiri, untuk negara bernama Hindia Belanda.

Kejayaan di dunia sepakbola tadi jelas ditorehkan oleh Hindia Belanda. Entah fakta sejarah pada tahun 1945 Hindia Belanda tadi merdeka dan menjadi Indonesia, itulah fakta sejarah. Namun jika dicermati, meskipun benar para pemain adalah para Bumiputera, namun jika tanpa PSSI Hindia Belanda waktu itu (tentu, mungkin dikepalai oleh para ambtenaar Nederland) tidak mungkin 11 orang bumiputera mampu bersaing di kompetisi kasta tertinggi sepakbola dunia. Pertanyaannya, apakah menahan imbang Uni Soviet waktu itu adalah prestasi Pemerintahan Indonesia, atau Pemerintahan Hindia Belanda waktu itu? Karena kenyataannya sampai bangsa ini menjadi “Indonesia” dan berumur 71 tahun, menahan imbang Uni Soviet masih menjadi “kenangan manis” kalangan bumiputera, hingga masa sekarang.

Sebagai salah satu olahraga tertua, sepakbola telah lama menjadi bagian dari budaya masyarakat. Bahkan di banyak wilayah dunia, dimana kita tidak dapat menemukan makanan disana, orang-orang masih fasih menyebutkan nama klub atau bintang sepakbola terkenal. Pada sebuah liputan di Piala Dunia Korea-Jepang, dikisahkan orang-orang Afrika sampai mencuri-curi listrik demi menyaksikan piala dunia. Lihat? Sebelum era internet dunia lebih dahulu dipersatukan oleh sepakbola, karena uniknya sepakbola adalah mereka tidak melihat siapa kamu dan apa latar belakang kamu. Semua orang memiliki kesempatan sama jika berbicara soal menendang dan menggiring bola.

Sebagai negara terkuat secara militer di Asia Tenggara tentu Indonesia berhak memiliki catatan tersendiri untuk prestasi sepakbola. Tidak terlalu mentereng memang jika dilihat dari jumlah piala, tetapi ketika Tim Nasional Indonesia bertanding semua elemen turun bergandengan tangan bersama mendukung sang Garuda. Itu sebuah prestasi tersendiri, karena simpelnya, momen pertanding Tim Nasional Indonesia seperti melihat hegemoni persatuan 17.000 kepulauan. Mungkin jika tukar nasib, orang eropa menjadi penduduk Indonesia, masing-masing pulau di kepulauan seribu memiliki bendera masing-masing. Hegemoni persatuan tadi tentu bisa semakin diperkuat, jika bersama kita bersujud syukur atau mengadahkan wajah keatas saat sebuah kejuaraan besar mampu dimenangkan secara membanggakan oleh timnas atau tim lain.

Prestasi, mungkin sedikit sensitive jika membicarakan hal ini pada dunia sepakbola. Jangankan prestasi, kata-kata birokrasi umum seperti “pengelolaan” pun agaknya harus “diminimalisir” saat berbicara soal sepakbola. Mampu mendatangkan 80.000 lebih setiap laga timnas, tentu membebankan tanggung jawab besar, yaitu menjawab kepercayaan 80.000 orang serta jutaan pasang mata di seluruh Indonesia. Sebagaimana Bung Karno pernah berkata bahwa “Bulutangkis akan membawa kehormatan bagi bangsa Indonesia” agaknya terbukti nyata dengan selalu menghuni peringkat atas secara dunia, agaknya kata-kata “Garuda Akan Terbang Tinggi” atau “Merah Putih Terus-lah Berkibar” saat pertandingan tim nasional memang harus dibuktikan.

Tentu bukan hal sepele jika membicarakan prestasi tadi, karena prestasi adalah hasil akhir dari sebuah proses. Era kejayaan Spanyol pada 2008-2012 adalah proses panjang, begitu pula dengan tradisi kemenangan Brazil secara internasional. Di tempat-tempat tadi liga sepakbola bergulir sepanjang tahun dengan berbagai kelas kompetisi hingga anak-anak, bahkan tim-tim besar di negara-negara tadi seperti Barcelona dan Sao Paulo memiliki akademi-akademi terstruktur yang rutin mengikuti berbagai kompetisi baik lokal maupun nasional. Puncaknya, putra-putra mereka menjadi ikon dunia, dan berujung pada dominasi negara tadi pada persepakbolaan internasional.

Masyarakat Indonesia memiliki budaya sepakbola tersendiri, namun cukup muluk jika kita berkata “pengelolaan sepakbola kita sudah baik”. Pada 5 atau 10 tahun kebelakang, secara umum ketidakpuasaan dan catatan hitam pengelolaan sepakbola menjadi tayangan sehari-hari. Dimulai dengan kasus korupsi di internal PSSI hingga intervensi pemerintah melalui Kementrian Pemuda dan Olah Raga pada 2015 yang berujung pada sanksi FIFA. Konflik kepentingan diatas menunjukkan sebenarnya semua orang juga tahu betapa penting dan menguntungkannya sepakbola, namun sebagian besar orang ingin agar keuntungan tadi dimiliki oleh dirinya sendiri. Pada akhirnya, sebelum tumbuh benar dan dikelola maksimal, sepakbola habis sudah dilahap orang-orang jenis tadi. Mengorbankan nasib ribuan orang dibawahnya baik itu klub, pemain, supporter bahkan pedagang kacang di pinggir stadion.

Siapa yang harus disalahkan? Tidak ada siapapun di Indonesia bisa menjawab masalah ini. Ya kasus seperti umum sih, bukan hanya sepakbola saja, tetapi selama pertanyaan ini belum bisa dijawab, selama ini pula hingga penulis menjadi kakek-kakek pun mungkin prestasi Hindia Belanda-lah yang akan penulis ceritakan kepada cucu-cucu penulis. Orang-orang Uni Eropa bisa dengan mudah menyalahkan UEFA dengan berbagai skandal dan ketidak adilannya. Orang-orang inggris bisa menanyakan dan protes pada FA. Orang Indonesia? Protes ke pemerintah juga ngga nyambung mau jajak pendapat dengan PSSI-pun entah bagaimana. Pekerjaan rumah besar dunia sepakbola kita adalah mencari pihak mana yang bisa disalahkan, lucu sekali kan?. Tentu bukan hal buruk jika berkata demikian, disalahkan disini maksudnya dimintai pertanggung jawabannya.

Maka jangan berpikir terlalu tinggi, jika seorang Indra Sjafri dengan terseok-seok mampu membawa Tim Nasional U-19 menjadi jawara di Asean kemudian mendapat apresiasi. Bahkan banyak pihak menutup mata jika alumni Tim Nasional U-19 menjadi tulang punggung bagi banyak klub besar di Indonesia. Jangan terheran-heran, jika prestasi tim junior (entah timnas atau bukan) yang baru-baru ini memenangi sebuah kompetisi junior internasional. Karena mungkin, orang-orang di pucuk pimpinan negeri ini anak-anaknya tidak ikut serta disana. Mungkin ini sedikit terlalu jauh, tapi bodo amat, putra-putra Indonesia yang saat ini bersaing di akademi-akademi sepakbola eropa, jika memungkinkan teruskan karier disana. Sampai kaya raya, minimal seperti Radja Nainggolan lah, baru setelah dipanggil oleh timnas, pulang lagi ke kampong. Simple, penulis tidak mau mereka menjadi Deigo Mandieta berikutnya, kasihan. 

Potensi besar bangsa ini, dengan 250 juta penduduknya seolah menguap begitu saja, terutama untuk urusan prestasi. Karena tadi, pertama tidak ada yang mau bertanggung jawab, dan kedua, jika prestasi tadi ditumbuhkan “bukan dari golongan saya” sampai lebaran monyet-pun tidak akan diapresiasi. Miris kan? Padahal kalkulasi kasar penulis, jika dalam sebuah pertandingan PSIR Rembang melawan PSIS Semarang mampu mendatangkan 13.000 orang, dikalikan 10.000 saja, maka 130.000.000 rupiah masuk ke tangan klub, mobil satu men! Belum jika dihitung pendapatan para penjual kacang dan permen disekitar stadion, berapa juta uang berputar dalam sebuah pertandingan tim divisi dua liga Indonesia. Potret nyata dari menyia-nyiakan sebuah potensi bisnis, serius.

Persoalan pengelolaan ini akan menjadi masalah bahkan jika suatu waktu, tiba-tiba Allah berkehendak Indonesia menjuarai piala dunia. Pengelolaan supporter, pengaturan klub, bisnis merchandise, pengelolaan stadion, hingga (mungkin) judi bola sudah menanti didepan mata. Jika menghidupkan sebuah kompetisi saja, atau minimal memastikan timnas memperoleh pemain terbaik kita belum mampu, ya bisa jadi nanti kompetisi sepakbola jadi mainan para mafia. Wong negara sekelas Italia, pemenang 4 kali piala dunia kompetisi Serie A-nya bisa “dikerjain” sama mafia lewat skandal Calciopoli. Maka, ayo bersama-sama, dukung PSSI menjadi pengelola sepakbola Indonesia. Insiden intervensi pemerintah tahun 2015 sekiranya tidak perlu terjadi lagi. Rugi kan? Coba yang 10.000 rupiah tadi dikalikan kapasitas maksimum Gelora Bung Karno, kira-kira apa jadinya. 

Adakah ide atau gagasan dari penulis soal pengelolaan sepakbola? Ada sih, tadi bukan untuk PSSI, urusan PSSI terlalu pelik apalagi jika berhadapan dengan orang narsis. Maka, gagasan ini untuk membangun tim nasional Indonesia. Kita memiliki 33 provinsi dengan jutaan potensi, apa ya tidak bisa jika masing-masing provinsi bertanggung jawab “membentuk” 2 orang saja putra daerah mereka untuk menjadi delegasi timnas. Agak miris ketika timnas diisi pemain naturalisasi sebenarnya, bukan apa-apa! Kalau naturalisasinya sekelas Radja Nainggolan sih tidak ada masalah, lah ini? Bukti nyata bahwa Evan Dhimas adalah putra daerah mampu menjadi seperti itu, hattrick melawan Korea Selatan Junior. Apa ya tidak bisa 33 provinsi tadi membentuk 66 orang berkualitas seperti Evan Dimas? Kan lucu sekali.
Memang benar dalam regulasi FIFA dana APBN dan APBD dilarang digunakan untuk kepentingan mendanai klub. Tapi setahu saya tidak ada larangan penggunaan dana tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sepakbola kan termasuk cabang olahraga, yang di sekolah-sekolah menjadi satu paket dalam pendidikan jasmani, ya bapak-bapak eselon lebih tau soal inilah. Pembinaan pemain sepakbola sejak dini, baik jasmani dan moral tentu sangat bisa dilakukan oleh pemerintah daerah di seluruh pelosok Indonesia. Teknisnya mau dibebankan kepada klub lokal, atau dananya darimana itu bisa dijawab nanti. Soal dana? Bukankan ada perusahaan besar di masing-masing provinsi? Aqua di Jawa Barat misalkan, menyumbangkan 100.000.000 untuk pengembangan pemain kan bisa? Begitu loh.

Ya mungkin 100.000.000 dari aku tadi disunat-sunat sedikit lah, namanya juga kebiasaan. Mungkin juga ujung-ujungnya 2 orang putra daerah tadi akhirnya putranya Pak Anu, gubernur petahana dan satunya putranya Pak Itu, calon lawannya di Pilkada berikutnya, yasudahlah, namanya juga kebiasaan. Tapi kalau memang jago dan betul-betul bisa main bola? Why Not? Tapi ya tetap pada prosesnya “kesempatan sama” dalam sepakbola harus dijunjung tinggi setinggi-tingginya. Ngga papa kan? Setidaknya diawal mampu mengundang simpati banyak orang. Tetapi ya kebiasaan semacam itu baiknya diperbaiki, cukup alat kelamin laki-laki saja yang disunat, anggaran jangan. 

Mungkin banyak orang bertanya-tanya kenapa penulis membahas soal sepakbola, bahkan kalau dari postur tubuh-pun memang ketahuan jika penulis tidak suka olahraga. Sederhana, sudah 5 bulan ini penulis menjalani rehab medik karena kecelakaan. Tayangan televise seperti sinetron dan berita jujur membuat kondisi penulis semakin memburuk. Alhamdulillah belakangan sepakbola lokal kembali disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional. Lumayan lah, 90 menit hiburan sehat dan menghibur. Jadi ya gitu, alangkah baiknya jika semakin banyak orang terhibur dengan hiburan sehat dan menyehatkan jika dilakukan.

Terakhir, penulis sampai sekarang lupa-lupa ingat, Jembatan Suramadu digagas, mulai dibangun dan diresmikan di era presiden siapa. Tetapi, sampai detik ini, 1930, cerita sukses Hindia Belanda masih terngiang-ngiang dipikiran. Penulis juga lupa-lupa ingat, di era siapa mulai program naturalisasi dan siapa saja orang-orangnya, tapi penulis tidak pernah lupa bahwa pada 2015 sepakbola kita sempat dibekukan sampai beku ole FIFA. Orang cerdas mengambil hikmah dibalik sejarah, sedangkan orang bodoh hanya suka bernostalgia dengan sejarah dan memanfaatkannya sebagai alat politik. Sekarang, dimanakah posisi sepakbola kita dan sejarahnya kelak? Hikmah atau alat politik?

Wallahu ‘Alam


 Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6


Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini



https://www.selasar.com/jurnal/35736/Untuk-Sepakbola-Indonesia

Untuk tulisan lain bisa klik pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/newbs-gameplay-dream-league-soccer.html


Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya

No comments:

Post a Comment