Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Saturday, May 20, 2017

Sendiri



Sendiri

Tidak ada manusia yang benar-benar sendiri


Hana berlari cepat menuruni tangga masjid. Air mata membasahi pipinya, membuat pandangannya buram. Hatinya terasa sesak, kejadian belakangan ini entah kenapa terasa menyakitkan, seolah seluruh isi dunia berbalik memushinya. Senyum orang-orang yang dulu dikenalnya ramah dan hangat, seolah menjadi senyum sinis, kejam menguliti perasaanya hingga habis. Dia terus berlari, bergegas menaiki motornya, mengenakan helm dan berpuas-puas menangis dibalik kaca helm. Kacamatanya semakin berkabut, namun dia sudah tidak peduli, ditinggalkannya masjid itu secepat mungkin, tanpa menoleh sedikitpun kebelakang.

Deru suara sepeda motor yang digeber keras-keras menyayat hati Fathya. Dia hanya bisa tersenum tipis, menahan luka didalam hatinya. Sebentar lagi dia harus menyelesaikan kehidupan kampusnya, tetapi perlahan semua rencana dan harapan itu menguap begitu saja. Karena suatu kesalahpahaman kecil, dia merusak apa yang sudah dia perjuangkan selama 4 tahun di kampus. Dalam waktu singkat kebijaksanaannya sebagai seorang senior menghilang, dan karena keegoisannya, semakin banyak hal dia pertaruhkan.

‘’Astaghfirullah..”

Fathya hanya bisa beristighfar pelan, melepas kacamatanya, dan menatap kosong ke lantai masjid. Perlahan semuanya kembali, seperti tayangan slide presentasi, bagaimana akhirnya sebuah harapan dinyalakan hingga saat sekarang, dimana cahaya harapan itu terancam redup bahkan mati.

…………………..

Fathya bersemangat sekali hari itu, penyambutan mahasiswa baru di kampusnya. Dengan mewakili “Komunitas Pengajar TPA” dia bergegas memberikan sambutan hangat kepada para mahasiswa baru. Meskipun belum menjadi unit kegiatan mahasiswa, Komunitas Fathya ini telah diakui kampus dan berada dibawah Bidang Pengabdian Masyarakat, maka, cukup banyak mahasiswa terlibat dalam komunitas ini.

Beranggotakan 20 orang perempuan dan 3 orang laki-laki, Fathya berkeliling sekitar kampus untuk menghidupkan TPA-TPA dan masjid-masjid. Bukan kerja mudah, apalagi komunitas ini bersifat sukarela. Tidak ada imbal balik apapun dari menghidupkan TPA tadi, kecuali saat Ramadhan, Fathya sering mendapat hidangan berbuka gratis. Fathya memilih menghidupkan komunitas ini karena Farah, seorang mahasiswi senior yang sudah lulus. Pertemuan Fathya dengan Farah juga terjadi saat penyambutan mahasiswa baru

“Ayo dik, bareng sama kakak membangun masyarakat. Ngajarin ngaji adik-adik yang lucu..”

Kata Farah dulu saat mengajak Fathya ikut serta. Dahulu komunitas mereka masih belum diakui kampus dan hanya beranggotakan 4 orang termasuk Farah. Masa-masa itu, tersenyum Fathya mengingatnya. Besar harapannya, tahun ini dia bisa mendapat seorang remaja enerjik untuk dapat meneruskan komunitas ini.

Ketika mata Fathya berkeliling, bertemulah pandangannya dengan seorang remaja putri manis berjilbab lebar. Kacamatanya bulat, seperti zaman Betty La Fea, namun tidak menutupi kecantikan wajahnya. Terlihat bingung, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling menyaksikan hiruk pikuk registrasi on-desk kampus ini. “Mangsa” guman Fathya, bergegegas dia mendekati anak muda itu dan menepuk pundaknya.

“Hai dik, kok keliatan bingung? Ada yang bisa aku bantu?”

Seramah mungkin! Gumam Fathya, seingat dia dulu Farah juga sangat ramah kepadanya.

Berbalik, anak muda berjilbab itu membulatkan bibirnya
“Eeee.. anu kak, aku punya berkas-berkas yang belum aku fotokopi nih. Apalagi aku kesini sendirian, aduh mah gimana ya kak..?”

Kesempatan! Sorak hati Fathya senang, anak ini bisa dia gali lebih jauh.
“Nah, nggak masalah dik, yuk ikut kakak ke Stand Komunitas kakak, insya Allah bakal banyak orang yang bantu!”

Digenggamnya tangan anak muda berjilbab tadi, dibimbingnya menuju stand Komunitas Pengajar TPA.

“Silahkan adik duduk dulu, aku boleh manggil apa nih dik?”
“Panggil aja Hana kak. Nama lengkap-ku Hana Annisa” terlihat malu-malu Hana duduku di alas MMT sederhana milik komunitas itu. Terlihat wajah-wajah ramah kakak tingkatnya, mungkin seumuran dengan kakak baik hati yang mengajaknya kesini.
“Oh dik Hana, aku panggil Hana aja ya. Perkenalkan, nama kakak Fatya, kakak mahasiswa semester 8 di kampus ini. Apanih yang bisa kak Fathya bantu?”
“Oh ini kak..” Hana mengeluarkan berbagai berkas, dan terlihat senang

“Hana ngga tau kalau ternyata berkas-berkas ini harus digandakan 3 kali kak. Dan aku ngga membawa kendaraan, fotokopian di dekat sini dimana ya kak?” wajah panik Hana belum hilang dan itu membuat Fathya tersenyum simpul.
“Tenang aja dik, Kak Tya anter deh ke fotokopian. Itung-itung dijalan kita bisa ngobrol, yuk?”
Menggunakan kendaraan roda 2, Fathya dan Hana berkendara membelah hiruk-pikuk kampus hijau itu. Terlihat berbagai kesibukan terlihat disana, tak ubahnya pasar malam.

“Dek Hana dari mana nih asalnya? Dulu pas SMA pernah beraktifitas apa?” Fathya membuka pembicaraan, persis seperti dulu Farah membuka pembicaraan.
“Hana dulu aktif di Rohis kak, seru. Bikin kajian-kajian gitu sama terkadang pesantren kilat. Aku sukanya pesatren kilat kak, rame soalnya, banyak anak kecilnya” Hana merasa nyaman dengan Fathya, bercerita soal dirinya.
“Oh dik Hana suka anak-anak kecil kah? Pernah ngajar-ngajar anak-anak kecil gitu dong pas Ramadhan?” pancing Fathya

“Iya kak pernah! Seru banget! Mbenerin dan ngedengerin cara mereka ngaji mah lucu abis. Tapi Hana ngga tau kak, emang di kampus ada yang seperti itu ya?”

SAATNYA! Gumam Fathya bersemangat. Sembari memarkir motor didekat warung fotokopian, berjalan dengan Hana dia mulai propagandanya.

“Di kampus ini ada loh dik komunitas yang khusus melibatkan diri untuk urusan pendidikan Al-Qur’an anak anak kecil di sekitar kampus. Saat ini komunitas ini sudah resmi berada dibawah bidang pengabdian masyarakat kampus. Nama komunitasnya, Komunitas Pengajar TPA atau disingkat KOPTA Universitas. Kami mengelola sekitar 5 masjid disekitar kampus ini. Program ada TPA setiap sore dan tentu saja, pesantren kilat setiap ramadhan. Gimana? Tertarik nggabung?”

Fathya nyerocos tidak karuan, sampai membuat mas-mas operator fotokopian tertawa tertahan. Mungkin semacam De Ja Vu ya bagi dia. Hana pun melongo mendengar kecepatan berbicara Fathya yang tidak kalah dengan Eminem. Tetapi intinya, Hana tahu kalau dia telah dijebak oleh kakak ramah bernama Fathya ini untuk bergabung dengan komunitas apa tadi itu. Dengan tersenyum malu-malu, Hana hanya tersenyum dan menjawab

“He..he.. iya kak Tya, nanti Hana pikirkan dulu”

Kembali ke lokasi On Desk, Hana dan Fathya berpisah dengan lambaian tangan. Fathya tidak tahu apakah Hana akan bergabung dengan komunitasnya ini atau tidak. Dia hanya berdoa, semoga Allah membukakak hati Hana untuk dapat menerima komunitas ini.

Sore menjelang, Fathya dan teman-teman bersiap membereskan Stand mereka. Alhamdulillah di hari ini mereka memperoleh 5 orang anggota baru, 4 orang mahasiswa dan seorang mahasiswa. Sayangnya, Hana belum termasuk salah satu diantaranya. Selepas beres-beres, Fathya bersiap menaiki motornya untuk kembali ke kos-kos an, saat dia mendengar namanya dipanggil keras-keras.

“Kak Fathya, tunggu kak, jangan pergi dulu!!!!” sosok berjilbab itu berlari tergopoh gopoh, mengejar Fathya yang sudah menyalakan motornya.
“Hana mau ikut gabung kak, hah,, hah,, kayaknya komunitas kakak menarik,, hah,, hah,,”

Fathya tersenyum lebar, terlihat Hana masih terengah-engah dengan tas ransel besar di punggungnya. Dia terlihat membungkuk sambil mengatur nafasnya.

“Hana, hana, kamu ngga perlu lari kayak gitu dik. Tau sendiri kakak juga ngga buru-buru kalau naik motor. Oke Hana, kamu diterima di Komunitas ini, dan untuk bonusnya, kamu kaka kantar ke terminal atau stasiun untuk pulang kembali ke rumah kamu!”

Mengangkat wajah sambil menghela nafas, Hana tersenyum lebar

“SIAP KAK!!”

Mereka berdua tertawa bahagia, sore itu menjadi terasa indah apalagi sambil ditemani cahaya matahari senja.
……………………..

Hana dan Fathya mendapat jatah mengajar di masjid Nurul Huda. Masjid ini terletak 500 meter dari gerbang kampus, dan berada di sebuah perkampungan sederhana. Mayoritas penduduk kampong itu berprofesi sebagai pedagang kaki 5. Anak-anak disana bersekolah di sekolah kampong, sangat jarang ada anak kampung yang bersekolah di sekolah swasta, apalagi swasta islam. Alasan klasik, sekolah swasta islam terlalu mahal bagi orang tua mereka. Jadilah, asupan ilmu agama anak-anak tadi hanya bisa diperoleh dari TPA. Masjid-masjid lain yang dikelola KOPTA juga memiliki karakteristik sama, bahkan ada masjid yang berada ditengah lokalisasi. Masjid terakhir dikelola oleh para pengajar laki-laki dibimbing oleh ormas setempat.

Hana dan Fathya memiliki beberapa murid yang rajin datang, ada 3 orang anak yang tidak pernah bolos TPA sekalipun dan tingkah laku mereka selalu membuat Hana dan Fathya tersenyum.

Anak pertama adalah Den Agus, biasa dipanggil Agus. Sebagai putra pedagang Pecel Lele, Agus sudah akrab dengan lele sejak kecil. Tidak jarang dia-lah yang menghabiskan sisa dagangan bapaknya, selain itu, Agus selalu membantu bapaknya untuk membersihkan lele-lele itu. Karena itu, tangan, lengan dan kaki Agus sering terkena patil lele, dampaknya, Agus jadi kebal rasa sakit. 

Untuk pendidikan, anak-anak TPA yang sedikit badung akan ditertibkan dengan cubitan pelan di lengan atau pantat (tercantum dalam perjanjian pendidikan). Dengan bekal kebal rasa sakitnya itu, tau sendirilah, akhirnya Agus menjadi ketua komplotan anak-anak badung. Saat Hana atau Fathya mau menghukumnya, Agus sering menantang dengan meminta cubitan yang lebih keras. Luar biasa, calon penerus Limbad gara-gara lele.

Kedua adalah Miya, anak perempuan cantik yang selalu tampil modis. Usut punya usut, orang tua Miya memiliki salon di kampung itu, jelas, setiap hari Miya sudah akrab bermain dengan bedak, lipstick atau mascara. Jadi, tidak jarang dia datang ke TPA dalam tampilan”wah” dan berlagak-lagak meniru kapster atau pelanggan salon yang seringkali “nyeleneh”. Dalam bahasa jawa, Miya termasuk gadis kemayu.

Pernah suatu ketika, Lando, seorang pengajar laki-laki yang sedikit tampan datang mengajar di Masjid Nurul Huda. Miya yang kesengsem dengan muka Lando langsung beraksi dan minta dipangku. Sepanjang waktu belajar TPA Lando dibuat mati kutu, sedangkan Miya terus bertingkah seperti bintang film di pangkuan Lando. Ending-nya, sebuah cubitan lembut dari Fathya dan Lando dilarang mengajar di Masjid Nurul Huda.

Ketiga adalah seorang gadis kecil imut manis bernama Kynan. Bapak dan ibu Kynan adalah pekerja serabutan, ibunya rutin mencucikan baju milik para tetangga untuk memperoleh penghasilan tambahan. Meskipun demikian, Kynan tetap tumbuh menjadi gadis cilik yang menawan. Wajahnya sebelas duabelas sama Nabilah JKT48 sebeleum jerawatan. Setiap TPA Kynan selalu memakai jilbab putih panjang, jelas membuat dia terlihat imut dan Shalihah.

Alasan lain kenapa Lando dilarang datang (sebelum insiden Miya diatas) karena dia ngidol banget sama Nabilah JKT48. Bayangkan apa yang terjadi jika dia ditempatkan satu ruangan dengan Nabilah versi mini, mungkin akan banyak gossip tidak jelas tersebar. Selain itu, karena kondisi ekonomi, Kynan mendapat perhatian khusus dari Fathya dan Hana. Sering Hana ataupun Fathya menyisihkan sedikit uang mereka untuk membantu biaya sekolah Kynan. Sering juga proyek-proyek KOPTA yang memerlukan kerja kasar dilimpahkan ke bapaknya Kynan untuk penghasilan tambahan.

Hana dan Fathya amat mencintai Masjid Nurul Huda, setiap sore, mereka berboncengan bersama berangkat dan mengajari anak-anak disana. Karena sama-sama berkacamata, banyak orang salah mengira Hana dan Fathya sebagai kakak adik, apalagi mereka berdua sama-sama manis. Di kalangan pengajar sendiri, mereka memang dijuluki sebagai Kakak Adik, Kak Fathya dan Dik Hana, begi panggilannya. Hana seringkali sebal sendiri, karena teman-teman seangkatannya juga ikut memanggilnya Dik Hana, salah satunya Lando. Tetapi bagaimanapun, baik Hana maupun Fathya merasa nyaman dengan komunitas ini. Seolah, mereka akan berada disini, selamanya.
 ……………………………

Hari itu, mendung bergelayut dan Hana menghilang dari kos. Fathya menunggu cukup lama dan bergegas berangkat ke Masjid Nurul Huda sebelum hujan terlanjur turun. Teman-temas satu kospun tidak ada yang tahu kemana Hana pergi. Sejak pagi dia tidak kelihatan, kata mereka. Dengan tanda tanya Fathya memacu motornya menuju masjid dan disambut tatapan penuh tanya dari adik-adik, terutama Kyan, Agus, dan Miya.

“Kak Tya, Kak Hana kemana..?” tanya Kynan polos, Fathya hanya bisa mengusap kepala Kynan dan duduk.

Sebentar dia membuka telepon genggam-nya, memanggil nomor Hana.

Tidak ada jawaban. Sedetik kemudian hujan turun dengan derasnya
……………………………

Fathya sedang dalam perjalanan menuju kampus, tentu dalam keadaan bingung. Teman-teman kos maupun KOPTA tidak ada yang tahu keberadaan Hana. Tidak ada satupun panggilan atau SMS mereka yang dijawab oleh Hana. Teman-tema sekelas maupun sejurusan pun tidak ada yang tahu kemana perginya Hana, sudah 5 hari Hana tidak masuk, kata mereka. Merasa kehilangan sesosok adik yang diharapkan mampu memimpin KOPTA selepas lulus, Fathya pontang-panting mencari informasi soal Hana. Entah itu ke masjid kampus, atau kemanapun lokasi Hana biasanya singgah.

Berkali-kali adik-adik TPA di masjid Nurul Huda menanyakan kondisi Hana dan kenaa Fathya selalu mengajar sendirian. Fathya tidak tahu harus menjawab apa, jadi berulang kali dia hanya menjawab “Kak Hana sedang keluar kota”. Karena alasan pengajar, akhirnya Lando dan Widuri, teman sekelas Hana diperbantukan ke masjid Nurul Huda. Setidaknya dengan adanya mereka berdua, Fathya tidak merasa kesepian. Tetapi, Fathya tetap merindukan Hana, dan dia belum bisa melupakan kenangan manis mereka berdua (jika memang Hana pergi untuk selamanya).

Pada suatu sore, Fathya sedang memangku Kynan. Entah kenapa sore itu tubuh Kynan terasa sedikit hangat. Kebetulan juga adik-adik TPA lain tidak masuk karena ada les untuk persiapan ujian akhir semester. Dengan wajah polosnya, Kynan menatap mata Fathya, bertanya dengan lirih

“Kak Tya, Kak Hana belum pulang juga? Kynan mau ketemu Kak Hana barang sekalii aja..”

Bingung menjawab, Fathya hanya tersenyum manis dan mengusap kening Kynan lembut. Saat itulah Widuri menerobos masuk dengan wajah panic bercampur senangnya.

“Kak Tya! Hana udah pulang! Dia lagi ada di masjid kampus, katanya dia pingin ketemu sama Kak Tya segera!” papar Widuri sambil terengah-engah.

Berjuta perasaan menyelimuti Fathya. Dititipkan Kynan kepada Widuri untuk diantar pulang, ditatapnya Kynan sekilas, Fathya sempat bertanya “Apakah wajah Kynan memang selalu sepucat itu?”. Tetapi pikiran Fathnya telah dipenuhi oleh Hana, dengan segera dia memacu motornya menuju kampus untuk bertemu dengan Hana, adik sekaligus sahabat yang dia sayangi.
……………………………….

Hana terlihat berbeda, mukanya terlihat muram dan sedih. Kacamata bulat yang biasanya terpasang pas di wajahnya, hanya digantung fungsional di hidung saja. Hana datang dengan balutan jilbab biru dan jaket hitam, serta ransel raksasa yang merupakan trade-mark nya. Ketika melihat Fathya datang menghampiri Hana dengan senyum dan air mata tertahan, Hana hanya menundukkan pandangan, tidak mampu menatap wajah Fathya secara langsung. 

Dengan senyum mengembang Fathya datang menghampiri Hana, tersenyum lebar dia bisa bertemu kembali dengan calon penerusnya di KOPTA. Tanpa Ba-Bi-Bu dia langsung memeluk dan merangkul Hana. Tanpa sadar, Fathya berucap girang

“Alhamdulillah, Penerusku udah kembali ke kampus, kamu kemana aja dik..?”

Mata Hana terbelalak, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Fathya. Penerus? Apa maksudnya? Tetapi Hana tidak memiliki waktu untuk memikirkan itu, sudah ada lebih banyak masalah bergelayut di pikirannya.

“Kak Tya, sebelum itu aku mau cerita dulu, plis, aku mohon kakak dengerin aku kali ini aja..”

Fathya sedikit tercengang, ada apakah gerangan? Tetapi dia segera menenangkan diri, memperbaiki posisi duduknya dan segera menjadi pendengar yang baik.

“Pertama, aku mau minta maaf ke Kak Fathya, selama sepekan ini aku menghilang entah kemana. Sebenarnya ada alasan penting dibalik itu semua. Aku mau cerita sama kakak, tapi sepertinya kakak juga lagi sibuk dan banyak pikiran, jadi biar ngga ngerepotin kakak, aku berusaha nyelesein masalah itu sendiri”

Fathya terperangah, sesuatu yang mengejutkan telah menghantam hatinya, telak.

“Pekan lalu, Hana dapat telpon dari Umi kalau jantung Abah kumat dan harus dirawat dirumah sakit. Masalahnya, bisnis Abah sedang tidak lancar dan dirumah sama sekali ngga ada uang sepeserpun. Hana dan Umi berusaha bergantian menjaga Abah dan mencari uang untuk pembiayaan Abah di rumah sakit. Keluarga Hana memang ngga ambil asuransi kesehatan kak, Abah sendiri yang tidak mau”

“Dari keluarga juga udah membantu, tetapi karena penyakit Abah cukup berat, butuh bantuan dana cukup besar, hingga keluarga tidak sanggup menutupi pembiayaan rumah sakit Abah”

Disitu mata Hana terlihat berkaca-kaca, seolah dia sedang membuka kotak Pandora rahasia dan masalahnya. Sedangkan Fathya menggigit bibirnya dalam-dalam, penyesalan menggelayut di wajahnya. Hana sudah dia anggap seperti dirinya sendiri, tetapi tidak sedetikpun dia memiliki pikiran, bahwa Hana memiliki masalah sedemikian pelik. Kakak macam apa dia ini?

“Terus kemarin, datang sebuah bantuan. Bantuan ini siap untuk melunasi semua biaya rumah sakit Abah. Dia ada saudara jauh Abah, pengusaha Material yang tinggal di Makassar kak. Cuman, bantuan ini tentu tidak gratis kak. Dia meminta Hana untuk bersedia menikah dengan putranya. Putranya ini anak baik kak, lulusan Madinah, insya Allah dengan bantuan bapaknya dia akan membangun sekolah di kota ini. Dan tentu akan dimodali bapaknya dengan sebuah toko material. Dengan ini, maaf kak, aku ngga bisa membersamai kakak dan komunitas KOPTA…”

Satu dua butir air mata menetes dari kelopak mata Hana. Fathya hanya tercengang, hatinya terasa sakit. Bukan apa-apa, selama di kampus Fathya memang berkorban cukup banyak untuk Hana, bahkan rela menunda kelulusan satu semester untuk mempersiapkan Hana menjadi ketua KOPTA berikutnya. Tetapi, sesuatu bernama harga diri tergores dalam diri Fathya, sepercik rasa kesal muncul di hatinya.

“Hana kenapa baru cerita sekarang?” sinis, mungkin begitu gambarannya
 
Setengah tidak percaya, Hana mengangkat mukanya, menatap Fathya tajam

“Maksud Kak Fathya apa…?” bertanya, dengan bergetar
“Hana kira Kak Fathya ngga pantes buat ndengerin curhatannya Hana? Atau Hana kita kakak nggak bisa bantu masalahnya Hana?” semakin sinis, Fathya kehilangan kesabarannya

“Kakak kok ngomong gitu? Bukannya salah kakak juga?! Kak Tya selalu terlihat sibuk! Hana ngga mau kak ngebebani pikiran Kak Tya! Hana tau betul kakak udah berkorban banyak buat Hana! Makannya Hana ngga mau nambahin pikiran Kak Tya sama masalah Hana!”
“Kita kan satu kos Han! Bahkan setiap kali kita ngajar TPA kita selalu bareng! Kenapa kamu ngga cerita pas itu!” Fathya semakin marah, terlihat mukanya merah padam menahan rasa kecewa

“Kak Tya kok jadi gini sih?! Hana cuman ngga mau membebani Kak Tya! Itu aja! Kak Tya juga, Kenapa tiba-tiba bilang Hana dicalonkan jadi penerus Kakak di KOPTA?! Hana sama sekali ngga tahu masalah itu! Kak Tya juga ngga pernah cerita!!”
“Kakak selama ini berkorban demi itu Han! Makannya kakak nemenin kamu dan mbimbing kamu serius!!” murka, Fathya mulai meninggikan suaranya.

“Oh jadi gitu?! Semua kebaikan kakak ada maksud kayak gitu?! Sejak awal aku ngga siap kak kalau jadi ketua KOPTA! Ngelihat Kak Tya yang hebat, mampu ngelakuin banyak hal aku ngerasa minder kak! Aku ngerasa ketinggalan jauh sama Kak Tya! Apalagi Kak Tya juga sama! Ngga pernah cerita masalah ini sama aku! Gimana Hana mau siap-siap Kak kalau Hana ngga tahu..” tangis Hana pecah, sesengukan. Beranjak berdiri, Hana melepas kacamata dan menghapus air matanya.

“Udah cukup Kak. Hana ngga bisa membersamai Kak Tya lagi. Mulai sekarang Hana harus fokus mengabdi sama suami Hana dan menyembuhkan Abah. Maaf kak, di KOPTA Hana merasa tidak mampu dan kalah jauh dari kakak. Ini semua salah Hana. Hana cuman ngga mau Kak Tya pusing mikirin Hana. Assalamualaikum” bergegas Hana berlari, meninggalkan Fathya yang duduk sendirian. Diam-diam air mata juga membasahi pipi Fathya, sesuatu yang keras telah memukul kesadarannya.
…………………………

Kehebohan terjadi di KOPTA saat sebuah undangan mampir di secretariat KOPTA. Undangan resepsi Hana! Widuri, Lando dan anggota KOPTA yang lain seperti tersentak. Lebih mengherankan lagi, semua anggota KOPTA memperoleh undangan sendiri-sendiri. Ya, mereka semua diundang, kecuali Fathya.

Saat itu Fathya tidak ada di secretariat, dia tengah mengurung diri didalam kamar kos. Tidak peduli dengan apa yang terjadi di dunia luar. Kehebohan di grup whats-app KOPTA sama sekali tidak dia pedulikan. Dia hanya diam dan merenung, memikirkan sesuatu yang memukul kesadarannya.
……………………………

Esok hari, Fathya keluar kamar dan bergegas menuju Masjid Nurul Huda. Sudah 2 Hari dia tidak mengajar TPA, dan karena Lando dan Widuri sedang ada keperluan lain, mau tidak mau dia harus berangkat mengajar. Dengan lesu, dia berangkat menuju Masjid Nurul Huda. Di teras masjid, Agus dan Miya terlihat duduk dan bercakap-cakap. Begitu melihat motor Fathya, mereka bergegeas menyambut Fathya girang.

“Kak Tya kemana aja!! Miya kangen banget sama Kak Tya..” Kata Miya sambil memegangi gamis Fathya
“Iyanih, masak Kak Tya 2 hari mbolos, ngapain aja kak?!” Agus berteriak sambil berkacak pinggang
Saat tengah bercengkrama dengan kedua bocah tadi, Bapak nya Agus menghampiri Fathya dengan wajah serius.

“Dek Fathya, saya boleh bicara sebentar?” tanyanya

Fathya mengangguk, dan si bapak mengajak Fathya sedikit menjauh dari Agus dan Miya.

“Dek Fathya, Kynan pagi tadi dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya kritis sekali dek. Saya diminta bapaknya untuk menyampaikan ke Dek Fathya kalau dek Fathya ngajar di TPA. Kebetulan tadi saya lihat adik dari warung, jadi segera saya menyusul kesini..”

Tersentak, setengah tidak percaya. Tanpa disadari air mata mulai berkumpul di bola matanya, siap untuk keluar.
“Mending Dek Fathya langsung saja kerumah sakit. Dia dirawat di ruang ini rumah sakit ini” sambil menyerahkan sepucuk kertas, Bapaknya Agus berpamitan sekaligus mengajak Agus dan Miya pulang.

Fathya terduduk dan mulai menangis
…………………………..

Memacu motornya dalam kecepatan tinggi, Fathya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud. Beberapa kali dia diteriaki oleh pengendara lain karena cara naik motornya yang ugal-ugalan. Tetapi dia tidak peduli, pikirannya hanya dipenuhi oleh Kynan. Teringat kembali ucapan Kynan tepat sebelum dia membolos dari TPA

“Kak Tya, Kak Hana belum pulang juga? Kynan mau ketemu Kak Hana barang sekalii aja..”

Fathya sama sekali tidak menyangka bahwa kata-kata “sekali” tadi mengisyaratkan sebuah pertemuan yang (mungkin) terakhir. Memarkir motor, Fathya bergegeas menuju kamar dimana Kynan dirawat. Saat dia mengucap salam dan membuka pintu, terlihat ibu dan bapak Kynan tengah duduk di sebuah sofa. Bercakap dengan sepasang laki-laki dan perempuan yang dia tidak tahu siapa.

“Dek Fathya..” bapak Kynan berdiri menyambut kedatangan Fathya
Sepasang laki-laki dan perempuan tadi juga menengok kebelakang. Fathya terkejut! Hana! Dan laki-laki di sebelahnya mungkin suaminya. 

Kemudian dari ranjang tempat Kynan tertidur, terdengar suara batuk dan erangan lemah. Ibu Kynan bergegas memegang tangan anaknya, untuk menguatkan dan menenangkan Kynan. Lampu indikator terlihat menyala, tanda kondisi darurat. Dokter dan perawat memasuki kamar, Fathya, Hana, Suami Hana dan Orang Tua Kynan diminta keluar.
…………………….

 Suasana membeku antara Hana dan Fathya. Orang tua Kynan telah selesai bercerita, Kynan sebenarnya sudah lama punya penyakit Leukimia. Karena alasan biaya, baru sekarang Kynan dibawa ke rumah sakit. Tadi pagi Kynan sempat muntah darah dan hilang kesadaran. Saat itu, kebetulan Hana dan suaminya tengah berada di Masjid Nurul Huda. Jadilah, memakai mobil suaminya, Kynan diantarkan menuju ke rumah sakit. Biaya awal rumah sakit juga ditanggung oleh suami Hana, katanya juga menggunakan koneksi mertua Hana ke Dinkes Kynan akan dimintakan keringanan pengobatan sampai sembuh.

Setelah orang tua Kynan pamit, suami Hana pun pamit untuk mengambil sesuatu di mobil. Jadilah hanya tinggal Fathya dan Hana yang berada di ruang tunggu. Suasana canggung itu benar-benar membunuh, seolah jarum jam pun berhenti berdetak.

“Kak Tya, aku mau minta maaf..”

Air mata mengalir di kedua bola mata Fathya dan tanpa sadar dia sudah memeluk Hana erat-erat. Ucapan maaf Hana hanya terdengar samar, Fathya mendengarnya tetapi dia tidak peduli. Hanya dipeluknya Hana erat-erat, seolah tidak mau kehilangan adik yang sangat dia sayangi ini.

Dalam pelukan Fathya pun Hana menangis, Hana adalah seorang anak tunggal, jadi dia tidak pernah merasakan memiliki kaka kata adik. Fathya lah sosok pertama yang terasa sangat dekat baginya, bahkan dengan sukarela mengorbankan banyak hal untuknya. Fathya, benar telah menjadi sosok kakak sesungguhnya bagi Hana.

“Maafin Kak Tya Han.. “ sedikit sesenggukan, Fathya menyudahi pelukannya dan sibuk menghapus air mata yang tidak berhenti keluar mengaliri pipinya. 

“Kakak salah banyak banget sama Hana. Kakak baru sadar selama ini kakak yang egois. Kakak ngga pernah mau membuka diri kakak untuk Hana. Kakak hanya berpikir gimana Hana siap dan mampu untuk menjadi ketua KOPTA berikutnya. Kak Tya sama sekali ngga berpikir soal Hana bersedia atau nggak jadi ketua KOPTA. Kakakpun ngga mau tahu Hana menyimpan masalah apa dari kakak..” masih terus menangis, Fathya menceritakan sesuatu yang menghantam kesadarannya.

Sesuatu itu adalah, fakta bahwa baik dia mapun Hana sebenarnya merasa sendirian. Sendiri, dalam artian hati dan batin. Baik Hana atau Fathya sama-sama menyembunyikan semua masalah mereka dan berusaha menyelesaikan semua itu sendirian. Mereka sama-sama menyimpan harapan bahwa pihak lain dapat melakukan dan mengerti maksud dari perbuatan masing-masing. Padahal kita semua tahu, manusia tidak bisa memahami manusia lain, kecuali mereka siap saling membuka diri, dan berhenti menyalahkan diri sendiri.

“Hana juga minta maaf kak, selama ini Hana udah menyia-nyiakan Kak Tya. Kakak selalu ada untuk Fathya selama ini, ngebantu Hana. Tapi Hana terlalu egois kak, akhirnya Hana menyembunyikan banyak hal dari kakak, dan selalu meyalahkan diri Hana sendiri. Padahal, dari hati Hana, Kak Tya lah sosok Kakak pertama yang hadir dalam hidup Hana..” sambil mengangkat wajah, Hana menatap wajah Fathya dalam dalam.

Fathya terkesiap, sebegitu penting-nya kah dirinya bagi Hana? Padahal selama ini, mungkin Fathya menganggap Hana hanya sebagai calon penerusnya di KOPTA.

Lagi-lagi bendungan air mata Fathya bobol, dia memeluk lagi Hana erat-erat. Fathya adalah anak sulung, dengan adik berjibun. Dalam banyak hal mugkin dia sudah lelah dalam urusan adik, jadi mungkin dia tidak bisa memahami seberharga itukah nilainya dihadapan Hana. Fathya memang menyayangi Hana sebagai adik, tetapi, mungkin rasa sayang itu belum setinggi rasa sayang Hana kepadanya.

Sambil berpelukan dan bertangisan, kedua saudari ini menumpahkan kerinduan diantara mereka. Hingga orang tua Kynan, Dokter, dan Suami Hana harus menunggu sambil tersenyum-senyum
………………………

“Kynan sudah sadar bapak dan ibu, obatnya sudah mulai bereaksi. Mungkin besok kita bisa memulai kemoterapi” dokter berkata demikian kepada ibu dan bapak Kynan, kemudian mempersilahkan mereka semua untuk masuk.

Terlihat Kynan masih dengan jilbab putihnya terbaring lemah di ranjang. Namun, air mukanya segera berubah cerah begitu melihat kedua kakak nya bergandengan tangan memasuki kamarnya. Fathya dan Hana, kedua kakak yang Kynan sayangi, akhirnya datang dengan lengkap, seperti sedia kala. Mereka hadir dengan senyum, Kynan sendiri adalah anak tunggal seperti Hana. Jadi kehadiran kedua kakak dari KOPTA dengan segala kebaikannya benar-benar berarti sesuatu baginya.

“Kak…Tya… Kak…. Hana..” Kynan memanggil mereka berdua lemah sambil tersenyum tipis. Fathya dan Hana segera mendekati ranjang Kynan dan memegang tangan bocah kecil manis itu.

“Kak.. Kapan ita belajar Al-Qur’an bareng lagi..?” pertanyaan polos itu sekali lagi membuat bendungan air mata mereka berdua jebol. Fathya dan Hana segera memegang tangan Kynan erat. Tangan dingin itu, seperti menghangat karena kekuatan cinta dan kasih sayang mereka berdua. Suami Hana terlihat menungukkan kepalaya di depan pintu, sedangkan orang tua Kynan saling berpelukan, mensyukuri berkah yang menimpa keluarga sederhana mereka. Fathya dan Hana? Mereka beruda hanya menangis tanpa mampu berkata-kata.

“Kok Kak Tya sama Kak Hana nangis? Kynan nakal ya..?” tanya Kynan polos, dan semakin membuat Fathya dan Hana menangis. Mungkin bukan tangisan sedih, tapi tangisan gembira, kalik ya?

Sambil mengusap kening Kynan, Fathya berucap lembut untuk menjawab pertanyaan polos Kynan.

“Insya Allah dik, mulai sekarang, kita semua akan mulai mengaji bersama lagi..” lembut, diakhiri dengan kecupan pada kening Kynan. Disusul Hana, dan mereka bertiga berangkulan. Hangat dan penuh kasih sayang.
…………………………..

Sore itu Masjid Nurul Huda menjadi sangat ramai. Sebuah mobil terparkir di Halaman Masjid, bersama beberapa motor. Sedangkan di dalam masjid telah berkumpul semua warga kampung, baik tua ataupun muda.

Seorang laki-laki muda, beraksen Indonesia timur terlihat tengah memberikan sepatah dua patah kata. Dialah Ramadhan, suami dari Hana. Anak pengusaha material dan kepala sekolah SD Islam Mutiara Hati. Acara sore itu diselenggarakan untuk syukuran peresmian SD Islam Mutiara Hati dan kembalinya Kynan dari rumah sakit.

Semua wajah terlihat cerah ceria dengan harapan baru akan perbaikan kualitas pendidikan masyarakat lingkungan Masjid Nurul Huda.

Tapi tentu, tidak ada yang bisa menandingi kebahagiaan Fathya dan Hana. Pekan lalu Fathya telah diwisuda, dan Hana diresmikan menjadi ketua KOPTA. KOPTA nanti akan menjadi LSM internal dan eksternal kampus dibawah Yayasan Mutiara Hati milik Ramadhan. SD Islam akan bergerak di pendidikan formal, sedangkan KOPTA akan mengelola pendidikan kulturalnya. Sambil saling menggoda, Fathya terlihat akrab sekali dengan Hana.

“Ecie, sekarang resmi nih jadi istrinya kepala sekolah. Padahal dulu kami kayak ayam kesasar pas lagi Ondesk mahasiswa baru” Kata Fathya sambil mencubit lengan Hana.
“Ih kakak apaan sih. Kakak tuh yang harusnya nyadar, udah tua! Udah wisuda juga! Kapan kak mau nikah?” balas menggoda Hana menyeras Fathya telak.

“Ih kamu nih.. Awas yaa!!” Fathya, si sarjana jomblo tidak terima, tetapi Hana melanjutkan godaanya
“Itu tuh, Mas Lando udah siap kayaknya. Udah hijrah juga dianya, ganti nama jadi Salman, dan hafalannya udah 15 juz! Udah wisuda lagi! Pokoknya mantap kak! Sikkat.. sikkat.. “ Hana kembali menggoda Fathya, kali ini terang-terangan menyebut merek

“Ihh Hana apa-apaan sih.. ah udah ah, ngga suka kalau bahas beginian…” Fathya merengut,
Hana merasa diatas angin, mengakhirnya dengan Skak Mat telak
“Makannya Kak, jadi orang jangan baperan mulu. Digituin aja ngambek, hahaha! Atau jangan-jangan Kak Tya beneran suka sama Mas Salman lagi..” 

Menutupi mukanya karena malu, Fathya tidak sadar kalau di sebelahnya ada Agus yang menyimak candaan mereka.
Agus berdiri, berkacak pinggang. Dengan lantang dia berkata
“Enak aja! Nanti suaminya kak Fathya ya aku lah! Agus!”

Sontak hadirin terdiam, bahkan Ramadhan mengehentikan pembicaraannya. Pecahlah tawa sore itu keras-keras, sedangkan Fathya hanya bisa tertunduk malu.

Ditengah tawa itu Fathya merasa ada yang mencolek kepalanya, setelah dia mengangkat wajahnya, terlihat Kynan telah tersenyum manis menatap Fathya. Meminta isyarat dipangku, Kynan pun duduk di pangkuan Fathya. Terlihat Agus masih ditertawai oleh masyarakat, dan hana masih tertawa cekikikan.

Saat itu juga Kynan memegang tangan Fathya dan Hana, kemudian mempertemukan keduanya, seraya berkata

“Makasih Kak, sudah merawat dan menjaga Kynan. Serta mengajarkan Kynan apa itu islam, Kynan sayang banget sama Kak Fathya dan Kak Hana”

Prenjak berbunyi nyaring, menemani bangau. Dan sore itu, malaikat-malaikat tersenyum bahagia di atas Masjid Nurul Huda. Termasuk Izrail. 


“Tidak ada yang benar-benar sendiri
Kecuali
Kamu tidak mengizinkan orang lain Menemanimu”


-FIN


Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com

Untuk cerita lainnya bisa tengok disini : 
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/terima-kasih-prelo.html

Thank you for Support!
Share, Follow and Comment!!



No comments:

Post a Comment