Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam
Tulisan ini akan dimulai dengan
sebuah cerita. Penulis memiliki seorang teman, dengan mobil mini-van yang
setiap hari dia gunakan, jelas dia bukan berasal dari “kalangan biasa”. Kedua orang
tua dengan bisnis lumayan, kepemilikan sebuah sekolah dan yayasan sosial, jelas
menunjukkan dia dari kalangan berada. Ditambah dandanannya setiap hari,
meskipun terkesan biasa, namun merek-merek seperti Rip Curl, Alisan, Le’vis,
dan Calvin Klein jelas diatas rata-rata pakaian mahasiswa kebanyakan. Begitulah,
sosok “pangeran” dalam artian sesungguhnya. Kalau mau gaet sana sini tinggal
gaet saja sana sini, selesai. Keren kan?
Tetapi sesuatu berbeda terjadi saat
ramadhan. Dengan latar belakang seperti itu, sangat mungkin dia setiap hari
memakan Pizza Hut full course untuk sahur dan berbuka. Tetapi, entah berapa
kali dia dengan penulis lebih sering menghabiskan waktu di masjid kampus. Mengikuti
kajian dan memakan takjil yang disediakan panitia. Lebih lucu lagi ketika dia
membawa beberapa kardus nasi ayam dan dibagikan ke orang-orang yang beruntung. “Memperbaiki
amalan” begitu katanya. Penulis memang tidak mengetahui kehidupan pribadinya
mendalam, tetapi saat ramadhan sang pangeran benar-benar berubah, berubah dari
sebuah pandangan umum soal pangeran, menjadi sosok pangeran di negeri dongeng.
Cerita diatas menunjukkan sesuatu
yang berhasil dibentuk dan mungkin hanya bisa ditemukan di bulan ramadhan. Dalam
kalkulasi ekonomi, kenapa teman penulis bisa melakukan “seperti itu”, mungkin
jatah makan per-harinya benar-benar tereduksi banyak karena Ramadhan. Dengan tidak
adanya makan siang dan jajan-jajan siang-sore, tentu didukung kapasitas
finansial dia, mungkin akumulasi dari “anggaran tidak terpakai” itu bisa
dimanfaatkan untuk berbagi bahagia kepada lebih banyak orang. Penulis sendiri
pernah berhitung kalau dalam satu hari berpuasa, penulis bisa menyisihkan satu
bungkus nasi, tentu, melihat kemampuan finansial penulis.
Maka, ibadah puasa benar-benar
memberikan “suatu dampak sosial” dari ekonomi yang egois. Saat puasa manusia
diminta Allah SWT (yang muslim) untuk lebih mengutamakan kebutuhan dibandingkan
dengan keinginan. Dan aturan dalam ibadah puasa memungkinkan manusia untuk
lebih fokus dalam memenuhi kebutuhan daripada sekadar memuaskan keinginan. Coba,
tentu setiap dari kita berkeinginan memakan semua makanan saat buka puasa,
namun ternyata dengan meminum segelas air putih saat berbuka, kita sudah cukup
memiliki tenaga untuk sholat maghrib. Ditambah beberapa makanan seperti kurma
atau roti, kadang kita sudah cukup “kenyang” untuk menghabiskan porsi nasi.
Pembagian dan pemenuhukan antara
kebutuhan dan keinginan menjadi dasar jika berbicara masalah ekonomi. Ekonomi menjelaskan
bahwa keinginan manusia, jelas tidak terbatas, sedangkan kenyataan kebutuhan
manusia memang terus berkembang, tapi dia terbatas seperti keinginan. Bisa jadi
manusia ingin memakan Pizza, Hamburger, Stik Kentang, Daging Panggang dan Ayam
Krispi, tetapi kemampuan perutnya mungkin hanya cukup untuk Pizza saja. Begitulah
kira-kira gambaran perbedaan kebutuhan dan keinginan.
Kondisi masing-masing manusia mamu
mendefinisikan kebutuhannya, tetapi apapun kondisinya setiap manusia memiliki
banyak keinginan yang hampir sama. Penulis yang tengah dirawat karena cedera di
syaraf tulang belakang memerlukan bantuan kruk untuk berjalan. Tetapi, tentu
penulis menginginkan rumah mewah, kendaraan baru, telepon seluler baru dan
istri cantik seperti kebanyakan orang, yang mungkin mereka tidak membutuhkan
kruk untuk berjalan.
Kemampuan mendefinisikan kebutuhan
dan keinginan banyak dijadikan landasan untuk mengukur kesuksesan seseorang.
Mark Zuckenberg bisa jadi tidak memakai baju gemerlap, bahkan rumornya dia
menggunakan Honda Jazz saja untuk kendaraan sehari-hari. Bayangkan dengan
seorang Syahrini, saat pembukaan karoke saja dia membuat barisan Lamborghini. Tetapi,
fakta membuktikan asset kekayaan Zuckenberg seorang mampu memenuhi sepertiga
dari sepertiga PDB Indonesia, menarik bukan?
Beberapa fakta soal kebutuhan dan
keinginan, dimana kedua hal ini adalah dasar dari perekonomian menunjukkan
suatu fakta menarik. Jika kita berbicara soal keinginan, dunia dan seisinya
tidak akan mampu memuaskan manusia, didukung dengan teori bahkan manusia
memiliki nilai kepuasan tidak terbatas. Namun, jika kita berbicara konteks
kebutuhan, seorang manusia mampu secara riil memberikan manfaat dan dampak
kepada pribadi dan lingkungan disekitarnya. Masalahnya, tidak banyak orang
berpikir demikian, apalagi masyarakat dunia ketiga. Hiburan dan tayangan televise
ataupun media lain soal “kehidupan ideal” benar-benar memburamkan realitas
bahwa kebutuhan tidak sama dengan keinginan.
Jika berbicara soal kesejahteraan
sosial, tentu kita tidak bisa menudingkan jari telunjuk kepada pemerintah saja.
Kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab bersama negara dan seisinya, bahkan
dalam aturan perundang-undangan membiarkan seseorang kelaparan di satu wilayah
bisa dikenakan hukuman denda. Tidak mungkin proyeksi anggaran pendapatan dan
belanja yang hanya sekitar 2000 trilyun cukup untuk memenuhi kebutuhan semua
orang. Itulah alasannya, kenapa negara tidak menyediakan segalanya untuk
rakyat, rakyat diberikan hak untuk menyediakan dan saling memenuhi kebutuhan
dan keinginannya tentu didalam koridor peraturan yang berlaku.
Artinya, sebenarnya kewajiban moral
dan sosial sebagai manusia adalah bersama berusaha mewujudkan kesejahteraan
sosial. Manusia disebut sejahtera, setidaknya jika kebutuhan dasarnya berupa
sandang, pangan dan papan terpenuhi (berdasarkan definisi ekonomi). Menjadi masalah
jika kita melibatkan dan merubah keinginan kita menjadi kebutuhan, maka masalah
kesejahteraan sosial tidak mungkin diwujudkan. Dengan demikian, dibutuhkan
sarana dan produk sosial untuk melatih masyarakat untuk dapat tegas membagi
kebutuhan dan keinginannya.
Beberapa negara berusaha melakukan
rekayasa sosial untuk mewujudkan hal diatas. Beberapa contohnya bisa kita
lihat, misalkan kebijakan pengelolaan produk bekas di Amerika Serikat dan
pengelolaan program-program sosial secara komunal di Inggris. Tetapi, sejak 14
abad lalu, Ummat Islam dengan bimbingan dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad
SAW telah berhasil menciptakan sebuah rekayasa sosial bersifat massif, berlevel
global, dan terstruktur bahkan didetailkan untuk urusan reward dan punishment.
Ya, ramadhan dengan segala macam
ibadah didalamnya menjadi sebuah rekayasa sosial untuk mengajarkan manusia
khususnya ummat islam untuk lebih bijaksana dalam mengelola kebutuhan dan
keinginan. Dibatasinya hal-hal berkaitan dengan keinginan (hawa nafsu)
benar-benar memberikan ruang kepada manusia untuk fokus pada kebutuhannya
(fitrahnya). Dengan fokus pada kebutuhan, akan lebih banyak anggaran-anggaran
berkaitan dengan keinginan, atau boleh jika kita berbicara sumber daya, yang
bisa kita sisakan untuk dibagi kepada orang lain. Setidaknya selama satu bulan
penuh, kita bisa memilah betul mana kebutuhan dan mana keingnan, dan jika kita
memiliki kesempatan kita bisa membantu memenuhi kebutuhan orang lain. Seperti teman
penulis di awal cerita tadi.
Dengan adanya reward dan punishment
di bulan ramadhan, semua orang memiliki alasan untuk berbuat baik terutama
kepada lingkungannya. Budaya jaburan, budaya bersih-bersih kampung sebelum
ramadhan, hingga sadranan menjadi bukti bahwa selama ramadhan, orang
berlomba-lomba menyambut dan melaksanakannya dengan berusaha berbuat baik
kepada orang lain. Bayangkan, pahala dilipatkan hingga 70 derajat, dan dengan
memberikan buka kepada orang lain anda memperoleh pahala sama dengan orang yang
anda bantu tanpa mengurangi pahalanya dan pahala anda barang sedikitpun.
Konsep pahala memang tidak bisa
jika dikaitkan pada kehidupan dunia, karena semua itu berkaitan dengan hal-hal ghaib. Tapi jika kita berbicara konteks
kesejahteraan sosial, bukankah menyenangkan jika mengetahui tetangga disekitar
anda mampu menikmati makan malam yang layak dari donasi anda. Selain itu,
dengan adanya zakat-zakat dan sedekah sepanjang bulan ramadhan, semakin banyak
dana-dana sosial tersebar di masyarakat. Dengan pengelolaan tertentu, cita-cita
mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat bisa menjadi nyata. Silahkan
tanya lembaga-lembaga zakat professional untuk penjelasan lebih detail.
Memang betul selama ramadhan
terjadi inflasi, bahkan tidak jarang kelangkaan produk-produk tertentu. Ketika kita
kesampingkan kebutuhan pengusaha atas inflasi dan permainan nakal tengkulak dan
sejenisnya, kita bisa sedikit bersyukur. Mengapa? Inflasi saat bulan ramadhan
penyebab utamanya adalah peningkatan permintaan, artinya, pada bulan ini
masyarakat mengalami peningkatan daya beli signifikan secara perkapita. Kabar bagus
untuk ekonomi? Jelas, karena mengikuti konsep kapitalisme yang (mungkin) sedang
kita anut, inflasi itu bagus untuk ekonomi.
Sumber : google.com |
Pemaparan diatas memberikan sebuah
gambaran jelas. Ada sebuah sarana sosial yang mampu memperbaiki kesejahteraan
sosial masyarakat secara lengkap. Lebih istimewa lagi sarana sosial itu adalah
produk dari ajaran agama. Sarana ini selama satu bulan memberikan kesempatan kepada
manusia untuk belajar sepuasnya dan memberikan kemanfaatan lebih luas kepada
masyarakat. Sarana ini, telah memiliki aturan jelas tertulis bahkan hingga
level reward dan punishment.
Bagaimana? Menarik bukan? Dalam ritual
keagamaan Islam mengajarkan banyak hal, bahkan mampu menyentuh semua aspek
dalam masyarakat. Tentu Islam tidak hanya meminta ummatnya baik untuk bulan
ramadhan saja. Ada aturan keras soal menjadi hamba ramadhan dalam islam, tentu dengan imbalan tidak
menyenangkan. Jadi, jika kita ambil sebuah kesimpulan “kembali seutuhnya dan
melaksanakan ketentuan agama mendekatkan kita pada kesejahteraan sosial”
bukankah akan menjadi sesuatu yang menarik? Ya, Allah SWT pun juga sudah
menjamin tidak akan ada ruginya jika kita berbisnis dengan-Nya.
Selamat menjalankan ibadah di Bulan
Ramadhan, bisnis yang tidak ada ruginya. Dan selamat, dengan izin Allah SWT
anda terlibat dalam mewujudkan impian bernama kesejahteraan sosial. Cuman satu
bulan aja? Kayaknya jangan deh ya.
Wallahu ‘Alam
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini
https://www.selasar.com/jurnal/35871/Ramadhan-dan-Kesejahteraan-Sosial
Untuk artikel menarik lain, bisa klik pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/menemukan-kembali-islam-indonesia.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/indonesia-1945-dwitunggal-dan-kehendak.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/perempuan-dan-peradaban.html
Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini
https://www.selasar.com/jurnal/35871/Ramadhan-dan-Kesejahteraan-Sosial
Untuk artikel menarik lain, bisa klik pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/menemukan-kembali-islam-indonesia.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/indonesia-1945-dwitunggal-dan-kehendak.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/perempuan-dan-peradaban.html
Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment