Dul, Rotan dan Kehidupan
Tau rotan? Rotan adalah sekelompok
palma dari puak Calameae yang memiliki habitus memanjat, terutama Calamus,
Daemonorops, dan Oncocalamus, menurut Wikipedia. Teksturnya lentur, bisa
bengkok-bengkok. Serat kayunya padat, karena itulah sering dipakai sebagai
bahan pembuat alat-alat rumah tangga seperti kursi hingga seblak kasur. Karena serat padatnya juga, furniture berbahan rotan
sangat kuat dan awet, bahkan mampu menahan beban hingga ratusan kilo.
Di berbagai masyarakat, rotan telah
menjadi bagian dari kehidupan. Konon katanya, orang-orang Dayak menggunakan rotan
sebagai bahan untuk membuat senjata. Maka, rotan telah menjadi bagian khas
budaya Indonesia. Beberapa furniture rotan buatan Indonesia telah dikenal ke
berbagai penjuru dunia. Tentu, rotan tidak bisa mudah saja dilepaskan dari
masyarakat Indonesia. Karena PPNK adalah tempat berbudaya, maka rotan juga
menjadi bagian dari kehidupan santri PPNK.
Batangan-batangan rotan mudah
ditemukan diseluruh penjuru PPNK. Tapi, batangan rotan tadi seringkali
ditemukan dalam keadaan tidak utuh. Kenapa? Tentu, batangan rotan tadi
“dipakai” untuk melakukan sesuatu. Mungkin kementrian pendidikan akan sangat
marah dengan cerita ini, tapi apalah, toh PPNK bukan pondok nyata. Hanya
imajinasi. Tapi, rotan-rotan tadi menjadi saksi “cara pendidikan” di PPNK.
Pada pameran OSNK (Pameran Senjata
OSNK) saat PSNK, hampir semua bidang memiliki stok rotan sendiri. Baik itu
bidang bahasa, bidang ruhiyah (takmir), bidang kebersihan, bahkan bidang
intelektual sekalipun memiliki stok rotan. Untuk apa? Rotan menunjukkan tingkat
“kekuasaan” seseorang di PPNK. Tentu saja, hanya orang-orang tertentu yang
berhak memiliki dan memakai rotan. Dan diantara semua bidang, bidang
kedisiplinan adalah “terror hidup” untuk urusan rotan.
Bidang kedisiplinan atau dikenal
sebagai bidang indibath, adalah
bidang dalam OSNK yang bertanggung jawab memastikan santri-santri PPNK hidup
disiplin. Tepat waktu ke masjid, berlaku sebagaimana norma dan moral PPNK, dan
tidak melanggar aturan pondok. Bidang ini bertanggung jawab atas kehidupan
santri dari bangun sampai bangun lagi. Menjalankan hukuman dan sejenisnya,
jelas membuat bidang ini membawa terror tersendiri bagi santri PPNK.
Seperti pada hari itu, sehari setelah
PSNK selesai. Kami belum menjalani kewajiban sekolah sih, tapi kami sudah harus
terbiasa dengan kehidupan pondok. Pada sore itu, ketika tengah asyik
bercengkarama, terdengar suara drum minya dipukul keras-keras dengan rotan. Ditambah
hitungan 1,2,3 dan seterusnya mulai terdengar. Mengesalkan. Karena jelas, jika
kami berleha-leha dalam hitungan tadi, betis mungil kami (mungkin) akan dicium
rotan, tentu, dengan “porsinya”.
Sontak terjadi hysteria luar biasa
di asrama, santri-santri kalang kabut membawa perlengkapan sholat maghrib. Seorang
kawan terlihat tergopoh hanya memakai kaos dan boxer, baju taqwa, sarung,
kopiah dan qur’an ditenteng semua. Seorang kawan terlihat berlari, bukan ke
masjid, tapi ke kamar karena dia baru selesai mandi. Sehelai handuk menutupi “anu”nya,
tau anu? Anu ya anu. Tetapi kulihat beberapa orang bertampang sepuh terlihat
santai, dengan kondisi belum mandi mereka masih berleha-leha di kamar. Sepertinya
mereka ingin merasakan ciuman rotan.
Ane termasuk dalam barisan
anak-anak polos. Berlari sekencang-kencangnya melewati gerbang asrama dan
seorang kakak berkopiah kerucut berwarna merah yang menenteng sebuah rotan. Rotan
nya cukup aneh, karena bentuknya melengkung seperti katana. Ujung rotannya
kecil dan tipis, tetapi pegangannya cukup besar. Ane ngga bisa mbayangin kalau
itu ujung kena kaki, pasti perih. Kakak berkopiah merah hanya menatap kami
sinis, sembari terus menghitung dan memukul-mukul tempat sampah.
Ditengar perjalanan menuju masjid,
ane bertemu dengan kakak korlap. Dengan tubuh tinggi besar, dia menenteng
sebuah rotan. Rotannya panjang, mungkin sekitar 140 cm dengan diameter seperti
tangan bayi. Dengan senyum dia mengayun-ayunkan rotan nya dan menuju asrama
anak-anak 2 MA (madrasah Aliyah). Ane sempet bingung, dan belakangan ane tahu
kalau bidang kedisiplinan, masing-masing personilnya melengkapi diri dengan
rotan-rotan khusus.
Pertama, ketua bidang kedisiplinan.
Kelas 3 aliyah, namanya Bang Asar. Orang sunda tulen ini adalah kakak korlap
saat kami PSNK. Bertubuh tinggi besar, dia menenteng rotan kesayangannya, “Hati-hati”.
Kenapa namanya hati-hati? Dengan panjang 140 cm dan diameter sebesar tangan bayi,
ditambah postur Bang Asar, besar-tinggi macam menara sutet, kalau sampai kena
pukul di lutut, bwuh! Mantap! Ane pernah denger suara pukulan rotannya saat ane
di masjid. Bang Asar selalu berjaga di asrama kelas 2 Aliyah, dan, jarak asrama
sama masjid sekitar 50 Mtr.
Kedua, Bang Kahar. Beliau adalah
manusia berkopiah kerucut merah, selalu berjaga di asrama kami anak-anak baru. Ane
ngga paham kenapa muka terror macam dia yang menjaga anak-anak kelas satu,
tapi, ane denger menanamkan rasa takut juga bagian dari pendidikan, entah
apalah. Rotannya disebut “Dzul-Fiqar” karena bentuknya melengkung persis
pedang. Diameternya memang tidak tebal, paling hanya seukuran telunjuk orang
dewasa. Kalau kena betis suaranya “plek… plek…”, ngga dahsyat kayak si “hati-hati”.
Tapi, kalian tau lah, PERIH!
Ketiga, Bang Yasin. Beliau adalah
mentor ane di pondok, salah satu anggota bidag kedisiplinan. Posturnya pendek,
hanya lebih tinggi 5cm dari ane. Cuman, lengannya itu loh, ngga nahan! Urat-urat
bertonjolan melingkari lengannya, dan lehernya pun berurat. Dia adalah tipikar
pendekar, pendek dan kekar. Rotannya bernama “Masmun” (serius ada tulisan ini
di rotannya), ane ngga tau apa makna dibalik nama masmun itu, cuman
karakteristik rotannya mirip sama Bang Asar. Cocoklah, dengan lengan jangkar
beliau.
Rotan-rotan diatas adalah
pengontrol dan alarm kehidupan kami. Ada sih semacam bel begitu di
tengah-tengah pondok, cuman karena kompleks pondok ini luas dan terpencar-pencar,
jarang suara pukulan bel itu bisa terdengar sampai mana-mana. Akhirnya, pukulan
rotan beradu dengan drum minyak bekas (berfungsi sebagai tong sampah) berganti
menjadi alarm. Kakak-kakak tadi akan berkeliling ke asrama-asrama, berjaga
disana, dan memukul tong sampah tadi untuk mengingatkan waktu sholat dan
sekolah.
Hukuman jika terlambat, jelas, 2
kali “ciuman” manis dari “hati-hati”, “dzul fiqor”, dan “masmun”, tergantung
hoki ente dimana. Seperti suatu ketika, ane terlambat dan keluar kamar pada
hitungan sepuluh.
Dengan menunduk ane menghampiri
pemilik “dzul fiqor”, beliau tengah berdiri sambil membaca al-qur’an.
“Kenapa terlambat?” katanya
“Ngantri mandi kak” ane jawab
“Ohh.”
Sambil berkata “oh” tadi, wuttt!!! Plak!!!
Plak!!!! Betis ane dicium rotan 2 kali, untuk pertama kalinya di pondok. Rasanya?
Luar biasa! Ujung “dzul fiqar” yang kecil tadi langsung membuat kedua betis ane
matang sempurna. Betis ane terhitung subur sih, gembur begitu, tapi tetep aja,
rasanya luar biasa. Ane ngga bisa mbayangin jika “dzul fiqar” mencium
betis-betis padi milik temen-temen ane seperti Mail dan Azis.
“Lain kali jangan telat lagi ya”
kata beliau sambil memberikan “ciuman rotan” untuk temen-temen dibelakang ane.
Sambil mengaduh-aduh dan mengusap
rotan, ane berjalan ke masjid dan bertemu Bang Yasin. Sambil tersenyum simpul
dia berkata kepada ane
“Gimana Dul? Enak?”
Sambil tersenyum kecut ane cuman
bisa “he..he..he” dan berlari ke masjid. Di tempat wudhu ane meliat “monument pengesahan”
status ane sebagai santri. Dua baret berwarna merah membujur di kedua betis
ane, warnanya merah pucat dan tentu ketika kena air rada-rada gimanaa gitu. Cuman,
dalam satu kesan ane langsung memahami, disiplin betul-betul menjadi ruh kami. Jika
tidak disiplin, maka kenang-kenangan berupa baret merah itulah yang kami
dapatkan.
Ketika pulang ke asrama, terjadi
kegaduhan di kamar sebelah. Sebelah S.A.F ada kamar bernama J.B.A, dan disana
ada kerumunan, Bang Asar ada didalam sana. Seorang santri berbadan kecil (betis
padi) terlihat ketakutan dan ditenangkan oleh Bang Asar. Usut punya usut, betis
padinya kena cium “dzul fiqar” juga, dan bekasnya bukan merah seperti ane, tapi
biru. Wow!
Ternyata, anak ini baru keluar
kamar menjelang iqomah, dan jelas itu sangat terkesan meremehkan peraturan. Bidang
kedisiplinan memang punya ukuran pukulan sendiri, ketika pelanggaran biasa,
maka sabetan rotan tadi hanya menggunakan seperempat kekuatan. Jika sedikit
kurang ajar, maka menggunakan setengah kekuatan. Dan ketika kurang ajar sekali
akan menggunakan kekuatan penuh. Kekuatan tadi diukur dari seberapa tinggi
ancang-ancang untuk melayangkan sabetan. Nah, ketika kamu berangkat ke masjid,
dengan sengaja saat iqomah, siap-siap untuk menerima “kekuatan penuh”.
Setelah Bang Asar selesai dan
keluar kamar, esok nya tidak ada sabetan lagi. Santri boleh memilih hukuman,
push up 50 atau sabet 2 kali. Karena betis ane tebel, terang ane memilih sabet
(dan entah kenapa ane ketagihan sama sensasinya) rotan karena cepat dan tidak
berkeringat. Tetapi santri-santri betis padi memilih push up dan sejenisnya
sih.
Saat itu ane berpikir, memang
pendidikan tidak bisa dipandang sebagai urusan sederhana. Banyak metode harus
dipikirkan konsekuensi dan tujuannya. Dan tentu, keterlibatan aktif kedua
pihak, pendidik dan peserta didik diperlukan. Seperti rotan ini tadi. Tanpa rotan,
mungkin santri PPNK akan abai dengan aturan (bahkan ada yang menyengaja kena
rotan untuk merasakan sensasinya) apalagi tanpa rotan. Cuman, untuk beberapa
peserta didik lain, rotan memiliki konsekuensi terlalu berat bagi mereka.
Akhirnya diambillah alternative,
peserta didik bebas menggunakan pilihan mode pendidikannya. Pada akhirnya, pilihan
tadi akan membantu proses adaptasi peserta didik. Kenapa? Setelah 1 bulan
menjadi santri, pilihan tadi mendadak hilang. Tidak ada santri mau di push-up,
mereka memilih sabetan rotan. Tentu, karena cepat dan mudahnya hukuman tadi. 2
atau 3 kali “plak..plak” sudah selesai urusan.
Mungkin kementrian pendidikan akan
marah karena ini, tetapi, pada saat itu dengan cara demikian santri-santri PPNK
menentukan “pendidikannya”. Cepat dan efisien, itulah rotan. Kedepan akan
banyak cerita soal rotan ini yang ane alami. Tapi untuk sekarang, ini aja cukup
kali ya?
-Continued
*toh PPNK bukan sekolah beneran. Ada
sih sekolah benerannya, cari aja yang namanya agak-agak mirip gitu.
Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com
Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini :
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-penutupan-psnk.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-tempe-tepung.html
Thank you for Support!
Share, Follow and Comment!!
No comments:
Post a Comment