source : http://sidomi.com/wp-content/uploads/2013/05/Satelit.jpg |
Produk Jasa Perbankan
Critical Review
Ada Apa Dibalik Bisnis Satelit Bank Rakyat Indonesia (BRI)
Manajemen Perbankan Kelas A
Kelompok Tujuh
Antonius Khrisna Bayu HP
(F0213 )
Muhammad Abdullah ‘Azzam
(F0213062)
JURUSAN
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2016
Penjabaran
Kasus
TEMPO.CO, London - Pertengahan tahun 2016, PT
Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) bakal menjadi bank pertama di dunia yang
membeli satelit. Apakah ini sekadar aksi sok hebat? Direktur Utama BRI Asmawi Syam menampik tudingan itu. “Pembelian satelit itu”, kata Asmawi di
Hotel Park Lane Intercontinental, London, Rabu 2 Desember 2015, “merupakan
bagian dari strategi BRI untuk menghemat biaya.”
Untuk membeli satelit ini, BRI merogoh kocek dan mengeluarkan biaya US$ 220
juta atau sekitar Rp 3 triliun. Satelit itu dibeli dengan cicilan selama
delapan tahun, dan cicilan per tahun mencapai sekitar Rp 300-400 miliar. Nilai
itu lebih murah ketimbang biaya sewa satelit yang tiap tahun mencapai Rp 500
miliar. Apalagi umur satelit itu 17 tahun dan bisa diperpanjang menjadi 19
tahun.
Satelit 54 transponder yang akan diluncurkan oleh Arianespace pada pertengahan 2016 itu diharapkan menghubungkan 10.350 kantor unit kerja BRI di berbagai pelosok. Selama ini BRI sudah memakai 40 transponder satelit. Sisa transponder satelit bikinan perusahaan Amerika Serikat Space System Loral (SSL) ini akan digunakan untuk cadangan pengembangan 10 transponder dan diserahkan ke negara 4 transponder.
Randi mengimbuhkan, “BRI berupaya memperkuat posisi sebagai market
leader di sektor Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM),” kata Randi
Anto, Direktur Manajemen Aset dan Kredit BRI. Dengan pembelian satelit,
Randi berharap BRI bisa “mengunci” penetrasi bank-bank asing yang hendak masuk
daerah.
“Selain membeli satelit, tahun ini BRI memperkuat inovasi teknologi dengan
menghabiskan dana Rp 4,2 triliun setahun, ” kata Randi. Menurut dia, BRI juga
memasang ATM bertenaga sel surya di daerah-daerah yang tak terjangkau listrik,
seperti Papua. Saat ini ada 50 lokasi yang memakai sel surya.
Pembelian satelit yang digagas sejak 2014 itu sempat membikin heboh.
Sejumlah anggota DPR mempertanyakan langkah BRI ini. Mereka cemas BRI tak bisa
mengoperasikan satelit karena teknologinya dianggap rumit. “Satelit itu
bisa menjadi beban karena itu bukan core business BRI,” begitu
kata sejumlah anggota Dewan.
Randi membantah anggapan tersebut. Menurutnya, teknologi pengoperasian
satelit sekarang sudah semakin mudah. “Dulu mungkin butuh belasan atau puluhan
orang. Sekarang ini cukup dioperasikan oleh empat orang,” ujarnya.
Mantan direktur utama BRI terdahulu Sofyan Basyir, sempat mengungkapkan
alasan rencana pembelian satelit setahun silam. Sofyan memaparkan, tahun lalu
masih ada gangguan-gangguan komunikasi yang menyebabkan layanan BRI terkadang
menurun. "Kadang dulu layanan kasir BRI terlampau lama, ATM mati. Kadang
pelayanannya cuma 65 persen kalau lagi sibuk. Kalau ini punya kita sendiri,
kualitas menjadi prima dan reputasi BRI menjadi bagus," ujar Sofyan.
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan mendukung rencana pembelian satelit itu. Dia mengungkapkan pada 2007 pemerintah RI hampir kehilangan slot orbit 150,5 Bujur Timur yang sebelumnya dipakai oleh satelit Indosat. Indosat sebelumnya menggunakannya sebagai transit Palapa-C nya yang masa edarnya sudah habis juga. Namun setelah lama dinanti, Indosat tidak juga kunjung meluncurkan satelit sampai kemudian pemerintah memutuskan untuk menarik slot orbit karena ada pihak lain yang berminat, yakni BRI. Apalagi, kata Dahlan, Indosat telah dimiliki asing karena dijual pemerintah pada 15 tahun silam.
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan mendukung rencana pembelian satelit itu. Dia mengungkapkan pada 2007 pemerintah RI hampir kehilangan slot orbit 150,5 Bujur Timur yang sebelumnya dipakai oleh satelit Indosat. Indosat sebelumnya menggunakannya sebagai transit Palapa-C nya yang masa edarnya sudah habis juga. Namun setelah lama dinanti, Indosat tidak juga kunjung meluncurkan satelit sampai kemudian pemerintah memutuskan untuk menarik slot orbit karena ada pihak lain yang berminat, yakni BRI. Apalagi, kata Dahlan, Indosat telah dimiliki asing karena dijual pemerintah pada 15 tahun silam.
"Indosat dulu dijual, sekarang BUMN bank besar akan meluncurkan satelit sendiri. Kita sudah punya kavling milik Indonesia sendiri yang dulu kita jual sekarang dibeli," katanya.
Asmawi menambahkan, bila slot itu tak diambil Indonesia, akan diambil Jepang. “Ibaratnya ini seperti antre kavling parkir.” Satelit ini akan mengudara di koordinat 105,5 Bujur Timur atau di atas Papua.
Permasalahan
Bank adalah
salah satu bagian dari sektor usaha jasa, dilihat dari sifat dan bisnis utama
yang dikerjakan oleh bank. Maka, yang dijual bank tidak lain adalah berbagai
produk jasa keuangan, seperti jasa tabungan, jasa perkreditas, hingga penukaran
valuta asing. Selain itu, kita bisa menyepakati bahwa bank merupakan sebuah
bisnis yang terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Keniscayaan bahwa
bank juga harus terus memperbaiki layanan produknya dengan berbagai pembaharuan
dan adaptasi teknologi atau hal-hal lain yang diperlukan.
Dengan dua
sifat diatas, bank perlu melakukan berbagai macam hal untuk tetap eksis dalam
dunia bisnis perbankan. Ditambah lagi, era globalisasi membawa pasar bebas
kemana-mana, bank lokal yang notabene sudah memiliki pasar tertentu harus
bersiap bersaing dengan bank asing yang mungkin lebih besar baik dari
permodalan maupun volume bisnis. Kaitannya dengan usaha bertahan itu, bank
harus menyadari hakikatnya sebagai bisnis dan bagian dari usaha jasa, dimana
pelayanan kepada pelanggan mutlak menjadi nilai utama. ATM mati, pelayanan
tersndat karena terjadi rush, atau ketiadaan akses transaksi online bisa
menjadi tanda-tanda kematian sebuah bank, karena hal tersebut tidak lagi
diterima oleh pasar.
Lantas,
bagaimana bank mempertahankan pasarnya? BRI memberikan contoh menarik disini,
BRI yang dalam pemikiran penulis merupakan bank jadul dan kampungan
menunjukkan diri sebagai bank kampungan moderen sejati. Isu pembelian
satelit yang direalisasi 2016 serta modernisasi perangkat dilakukan guna
menjaga pangsa pasar BRI di kalangan UMKM dan masyarakat daerah pedalaman.
Visinya tidak main-main, agar bank asing berpikir untuk mencaplok pasar
perbankan didaerah, visi baik ini harus didukung, menurut hemat penulis. Meskipun
tetap menimbulkan tanya, yang akan dibahas kemudian, namun pada era moderen
langakah ini sangat dipandang perlu, ingat, era digital menawarkan berbagai
kemudahan, dan kemudahan itu yang diinginkan konsumen.
Pembahasan
A. Antara kebutuhan dan gengsi
Indonesia
pernah mencatat sejarah sebagai negara ASEAN pertama yang memiliki satelit di
era misi-misi palapa dan penerusnya. Bahkan dalam kedirgantaraan indonesia bisa
terhitung maju, dulu, sebelum era obral murah dizaman paska reformasi. Semangat
rebut kembali menjadi doktrin umum untuk masyarakat era reformasi dan mungkin
juga menjadi nafas di berbagai BUMN untuk merebut kembali kejayaan indonesia.
Secara umum, perkembangan ini ditinjau dari aspek nasionalisme dan kebangsaan
merupakan trend positif, apalagi BRI berusaha membuktikan dengan membeli sebuah
satelit operasional.
Namun, apakah
ini sejalan dengan kebutuhan BRI? Beberapa kalangan skeptis menilai bahwa
bisnis satelit ini akan menjadi beban bagi BRI, karena berbeda jauh dengan lini
bisnis utama BRI. Untuk informasi, kepemilikan atas satelit berarti kepemilikan
atas berbagai gelombang saluran mulai radio hingga telekomunikasi selular dan
hal ini berbayar. Maka, cukup sulit atau berat beradaptasi bagi sebuah bank
untuk berkekcimpung didunia telekomunikasi, apalagi bisnis satelit.
Namun, coba
kita lihat kebutuhan pasar dan perkembangan trend industri jasa global.
Holywood dan Jepang berhasil menggambarkan realita bahwa kepemilikan instalasi
luar angkasa sudah lazim dalam pengelolaan swasta, bahkan digunakan untuk
meningkatkat performa dari swasta tersebut. Karena, satelit merupakan penyedia
sambungan koneksi lintas wilayah. Sederhananya, saat ini dunia sudah memasuki
era satelit, dimana sangat wajar sebuah korporasi memiliki satelit untuk
membantu proses telekomunikasi. BRI adalah korporasi perbankan besar di
Indonesia, tidak ada salahnya, jika BRI mencoba bermain satelit, apalagi
melihat pasar BRI yang akan kami bahas berikut. Maka, dari aspek kebutuhan,
Indonesia dan BRI memang butuh sebuah
satelit.
B. BRI dan pasarnya
BRI merupakan
bank dengan fokus pasar utama UMKM dan daerah-daerah terpencil diseluruh
Indonesia. Bank ini bisa dibilang ahlinya pada bidang tersebut, sehingga wajar
jika pebisnis selalu memiliki akun BRI meskipun seringkali dianggap sebagai bank
kampung. Maka, lingkup daerah operasional BRI bisa dibilang lebih luas dari
BUMN lain, selain itu, terkadang wilayah pasar BRI berada pada lokasi ekstrem
seperti lokasi dengan ketiadaan akses listri atau jaringan seluler.
Sedangkan,
pasar BRI bukan berarti tanpa ancaman, globalisasi pasar perbankan membawa
perbankan besar dalam komando barat dan China untuk menjajal pasar Indonesia,
tentu termasuk pasar BRI yang bisa dibilang unik. Namun, sekali lagi, keunikan
pasar bisa ditanggulangi dengan kepemilikan modal dan fasilitas, yang tentu
pastinya, bank-bank besar itu mungkin memiliki fasilitas jauh lebih baik
dibanding dengan BRI. Apalagi, identitas BRI sebagai bank kampung memang
dibuktikan dengan fasilitas yang serba tidak nyaman seperti pelayanan lama, ATM
sering mati, transaksi tidak optimal dan lain-lain.
Bagaimanapun,
BRI harus menjaga dan mengembangkan pasarnya, yang berarti, fasilitas dan
layanan perbankan harus disesuaikan dengan zaman, serta persaingan yang akan
dihadapi. Mungkin, pembelian satelit ini bisa menjadi salah satu jawaban, untuk
menjawab permasalahan ini, terutama dalam menyatukan 10.000 lebih kantor cabang
di berbagai pelosok nusantara. Bagaimana? Tentu didukung, secara subjektif
pengelolaan Indonesia baiknya jika dikelola oleh rakyatnya, secara objektif,
BRI berhasil membangun pasarnya diranah ini semenjak lama, tentu akan menjadi
musibah jika pasar ini direbut dan dikuasai asing.
C. Memotret modernisasi dan globalisasi dunia perbankan
Bisnis akan
senantiasa mengikuti perkembangan dunia, begitu juga dengan bisnis perbankan.
Seperti dijelaskan sebelumnya, sudah umum sebuah perusahaan swasta memiliki
kepemilikan akses terhadap satelit dan hal lain yang mungkin tidak terbayangkan
dahulu. Bagaimana dengan indonesia? Negara dunia kedua ini tengah berusaha
beradaptasi dengan perkembangan teknologi global. Tantangan pasar global juga
menjadi alasan lain, begitu pula dengan bisnis perbankan.
Isu pembelian
satelit merupakan salah satu isu modernisasi perbankan yang paling seksi dan
spektakuler mungkin, karena ini sangat jarang terjadi setelah penjualan satelit
Indosat di era Megawati 15 tahun lalu. Bisa jadi isu ini merupakan salah satu
praktik efek gentar pada calon bank asing pesaing di era pasar bebad ASEAN yang
sudah dimulai akhir tahun 2015. Bisa jadi juga hanya isu kosong untuk
meroketkan nama BRI dikancah perbankan nasional. Namun, usaha BRI untuk
melakukan modernisasi perlu diapresiasi, ditambah lagi dengan visi mulia yang
dipaparkan pimpinan BRI.
Namun, perlu
dicatat, perbankan indonesia tidak hanya berisi BRI dan bank BUMN raksasa lain,
secara umum malah keuangan daerah sangat didukung oleh eksistensi BPR-BPR
meskipun BPR tersebut dibilang “aneh” dan “jahat”. Maksud saya, terjadinya
globalisasi pasar perbankan juga meibatkan instrumen perbankan sekelas BPR itu,
setidaknya ini menjadi perhatian. Mengapa, karena pada 2010-an indonesia dibuat
pening oleh kasus bank kecil bernama Century, bagaimana jika seluruh bank-bank
kecil mengalami kolaps? Entah, hanya tuhan yang tahu.
Penutupan
Gengsi
atau modernisasi isu ini yang dicoba diangkat dalam pembelian dan bisnis
satelit Bank Rakyat Indonesia. Disatu sisi, dunia tengah mengalami modernisasi
dan globalisasi besar-besaran disemua aspek, menuntut berbagai sektor bisnis
untuk memperbaiki diri dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar saat itu.
Disisi lain, negara berkembang ini maish “tidak siap” untuk mengalami hal-hal
semacam itu. Seringkali isu strategis semacam ini hanya ditanggapi dan ditutupi
dengan isu gengsi disana-sini. Namun, kita tidak bisa menutup mata, fakta pasar
bebas didepan mata, bank asing mencari permata di indonesia, dan modernisasi
kian menggurita. Tinggal, bagaimana pilihan kita, pemerintah kita, serta
bank-bank kita, berbenah diri, atau hilang ditelan zaman.
No comments:
Post a Comment