Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Tuesday, January 19, 2016

Catatan Akhir Tahun : Merindukan Pemimpin Muslim (?)

Catatan Akhir Tahun : Merindukan Pemimpin Muslim (?)

Beberapa anekdot berkembang di masyarakat, pemimpin, berasal dari kata pemimpi, yang artinya adalah orang yang selalu bermimpi, mereka membuat impian-impian, meneriakkan mimpi-mimpi ciptaan mereka, terkadang larut dengan mimpi-mimpi tersebut, terkadang dibuat gila jika mimpi yang mereka tuliskan tidak dikabulkan atau tidak diperoleh. Maka, para pemimpin adalah calon orang gila, karena mereka bertugas untuk membawa impian orang yang memilih mereka, selain harus memenuhi impian pribadi mereka, agar mereka tidak gila karena-nya. Begitulah anekdot pemimpin yang mengalir deras di masyarakat lokal, di akar rumput, maka, bagi mereka, bermimpi menjadi pemimpin adalah sama saja dengan bermimpi menjadi orang gila, dan hal itu patut untuk ditertawakan.

“Jangan mengurusi urusan orang kalau urusan mu belum selesai”, “Kamu anak tukang becak, tidak usah sok-sok an untuk sekolah atau kuliah”, “Anak perempuan baik-nya di dapur saja, buat apa sekolah”, dan segudang ungkapan-ungkapan sarkas yang sangat populer di kalangan masyarakat, yang ironisnya, di zaman moderen masih terdengar nyaring. Bahkan di beberapa kawasan metropolitan, ungkapan-ungkapan sesat seperti itu seolah sudah menjadi nilai yang mendarah daging, pemikiran jangka pendek juga menjadi pola pikir yang sah saja. Saya ingin makan besok, sekarang saya harus cari uang, saya ingin minum, maka saya akan minum, urusan pendidikan nanti, apakah kesejahteraan saya diperhatikan, nanti, bahkan, saya mau bersenang-senang, ayo kita minum dan berjudi, urusan besok mudah-lah. Kalau dibilang perkataan menggambarkan kepribadian dan tingkat keilmuan dari individu, maka masyarakat kita sebagian besar adalah masyarakat pemakan, bukan pemikir. Kapasitas individu yang jauh dari kata “pimpinan”, “khalifah”, atau “raja dunia”, karena belum ada nya keinginan untuk membangun diri untuk tahun-tahun kedepan, apalagi membangun dan membangunkan kepribadian orang lain, karena mereka berkutat untuk memastikan, apakah hari ini saya masih hidup?.

Sebuah ironi jika mengkaji kebelakang, melihat bagaimana orang jaman dahulu, mereka yang menjadi fondasi masyarakat ini memperjuangkan impian yang telah diukir sejak abad kolonial. Mereka yang tidak mengenal teknologi dan keilmuan yang mendalam namun gagah meneriakkan kemerdekaan, meresapi maknanya, dan mengukir nya dalam letupan senapan atau dialog di meja-meja diplomatik. Kemerdekaaan, kemandirian, kekayaan dan kemakmuran, adalah impian yang mereka bawa dalam setiap nafas dengan harapan, biarlah generasi berikutnya yang merasakan semua hal yang saya yakini. Begitulah, generasi masa lalu menunjukkan keberanian mereka bermimpi, dan berani mewujudkan impian mereka saat itu dengan apa yang mereka bisa. Meskipun ada anggapan tekanan dapat membuat orang berlaku maksimal (adanya penjajahan), namun itu bukan alasan, karena di era para patriot juga terdapat ribuan penjilat yang hina.

Maka, kembali kepada konsep diri yang berkembang di masyarakat, kepada diri kita masing-masing memahami untuk apa kita ada, untuk apa kita berjalan di bumi ini, dan untuk apa kita hidup. Orang barat pada era kolonial meyakini, mereka terlahir untuk memperoleh 3 hal, yaitu kejayaan (glory), harta (gold), dan penyebar ajaran kristus (gospel), dan dengan keyakinan itu mereka mengangkangi seluruh dunia, bahkan menggerogoti imperium Turki Utsmani. Jerman di era Nazi meyakini, mereka adalah “ras yang diciptakan untuk memerintah manusia lain”, dan dampaknya mengusai daratan eropa, dan beberapa belah dunia di bawah ideologi Nazi yang berasal dari catatan individu bernama Adolf Hitler, yang lemah dan penyakitan di masa muda. Lantas, untuk apa orang Indonesia hidup? Untuk apa masyarakat kita ada? Dan mengapa, islam masih menjadi mayoritas pilihan (atau keturunan) dari masyarakat ini?.

Sejarah mencatat era yang membuktikan eksistensi Indonesia berasal dari era terdekat, era ketika Indonesia berada di bawah imperium-imperium muslim. Sebut saja demak, mataram islam, aceh, pasai, ternate-tidore, dan lain-lain. era terakhir inilah yang menjadi peletak fondasi terbesar munculnya Indonesia yang muslim. Mengapa demikian? Kita semua tahu di era-era ini nusantara berhadapan dengan kolonialisme Portugis, Spanyol, Britania, dan Belanda, dan di era ini Indonesia bertempur guna memperjuangkan kemerdekaan. Karena, era sebelumnya di masa Hindu dan Budha, Indonesia tidak atau mungkin berhasil menagkal kolonialisme. Maka, fondasi terkuat mengapa islam menjadi pilihan dan mendarah daging karena fondasi terdekat pembangun bangsa ini adalah kebudayaan islam di era pra dan paska kolonialisme.

Dengan demikian, maka wajar jika hampir 90% (atau 80%) masyarakat Indonesia mengenal islam bahkan menganut agama islam. Apabila kembali pada konteks untuk apa bangsa Indonesia ada, ditambah denga fakta bahwa mayoritas dari bangsa Indonesia adalah muslim, maka ini adalah jawaban saya. Bangsa Indonesia hadir untuk islam dan nusantara, hadir untuk memperjuangkan dan membela keyakinan mereka seperti yang dituntunkan dalam ajaran islam, dan hadir untuk menjaga eksistensi bangsa. Maka ironi kita lihat, jika dalam proses regenerasi dan pergantian kepemimpinan ruh dan alasan kehadiran bangsa Indonesia tidak terimplementasi dengan baik. Ummat islam Indonesia sendiri masih tidak peduli dengan agama mereka, apalagi dengan negara mereka (analogi sederhana). Bayangkan, jika berbagai fakta gamblang di lingkungan sekitar tentang kebobrokan moral, kerusakan sumber daya, dan ketidakadilan dalam perekonomian seolah “tidak terjadi” dan “bukan pertimbangan” dalam menentukan dan mengevaluasi pemimpin, mana mungkin bisa kita menyebut diri sebagai bangsa Indonesia yang baik?.

Kesimpulan dan evaluasi akhir tahun bagi penulis dan bangsa ini, terutama ummat islam, kita memang “merindukan” pemimpin muslim, namun, sampai detak waktu berdentang di akhir tahun rasa rindu belum berubah menjadi riak-riak gerakan. Egoisme masing-masing golongan, sikap sinis, dan ketidakpedulian masih menjadi arus utama di Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkinan ada di dalam diri penulis. Bagaimanapun tahun 2015 akan segera menyelesaikan kewajibannya di hadapan Allah, segala sesuatu telah bergulir dan segera menanti hasil baik di dunia maupun di akhirat. Semoga Allah mengampuni kita semua, dan memudahkan urusan kita semua di tahun-tahun mendatang. Wallahu ‘Alam.

Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student,uns.ac.id









No comments:

Post a Comment