Catatan Akhir Tahun : Merindukan
Pemimpin Muslim (?)
Beberapa anekdot berkembang di
masyarakat, pemimpin, berasal dari kata pemimpi, yang artinya adalah orang yang
selalu bermimpi, mereka membuat impian-impian, meneriakkan mimpi-mimpi ciptaan
mereka, terkadang larut dengan mimpi-mimpi tersebut, terkadang dibuat gila jika
mimpi yang mereka tuliskan tidak dikabulkan atau tidak diperoleh. Maka, para
pemimpin adalah calon orang gila, karena mereka bertugas untuk membawa impian
orang yang memilih mereka, selain harus memenuhi impian pribadi mereka, agar
mereka tidak gila karena-nya. Begitulah anekdot pemimpin yang mengalir deras di
masyarakat lokal, di akar rumput, maka, bagi mereka, bermimpi menjadi pemimpin
adalah sama saja dengan bermimpi menjadi orang gila, dan hal itu patut untuk
ditertawakan.
“Jangan mengurusi urusan orang kalau
urusan mu belum selesai”, “Kamu anak tukang becak, tidak usah sok-sok an untuk
sekolah atau kuliah”, “Anak perempuan baik-nya di dapur saja, buat apa
sekolah”, dan segudang ungkapan-ungkapan sarkas yang sangat populer di kalangan
masyarakat, yang ironisnya, di zaman moderen masih terdengar nyaring. Bahkan di
beberapa kawasan metropolitan, ungkapan-ungkapan sesat seperti itu seolah sudah
menjadi nilai yang mendarah daging, pemikiran jangka pendek juga menjadi pola
pikir yang sah saja. Saya ingin makan besok, sekarang saya harus cari uang,
saya ingin minum, maka saya akan minum, urusan pendidikan nanti, apakah
kesejahteraan saya diperhatikan, nanti, bahkan, saya mau bersenang-senang, ayo
kita minum dan berjudi, urusan besok mudah-lah. Kalau dibilang perkataan
menggambarkan kepribadian dan tingkat keilmuan dari individu, maka masyarakat
kita sebagian besar adalah masyarakat pemakan, bukan pemikir. Kapasitas
individu yang jauh dari kata “pimpinan”, “khalifah”, atau “raja dunia”, karena
belum ada nya keinginan untuk membangun diri untuk tahun-tahun kedepan, apalagi
membangun dan membangunkan kepribadian orang lain, karena mereka berkutat untuk
memastikan, apakah hari ini saya masih hidup?.
Sebuah ironi jika mengkaji
kebelakang, melihat bagaimana orang jaman dahulu, mereka yang menjadi fondasi
masyarakat ini memperjuangkan impian yang telah diukir sejak abad kolonial.
Mereka yang tidak mengenal teknologi dan keilmuan yang mendalam namun gagah
meneriakkan kemerdekaan, meresapi maknanya, dan mengukir nya dalam letupan
senapan atau dialog di meja-meja diplomatik. Kemerdekaaan, kemandirian,
kekayaan dan kemakmuran, adalah impian yang mereka bawa dalam setiap nafas
dengan harapan, biarlah generasi berikutnya yang merasakan semua hal yang saya
yakini. Begitulah, generasi masa lalu menunjukkan keberanian mereka bermimpi,
dan berani mewujudkan impian mereka saat itu dengan apa yang mereka bisa.
Meskipun ada anggapan tekanan dapat membuat orang berlaku maksimal (adanya
penjajahan), namun itu bukan alasan, karena di era para patriot juga terdapat
ribuan penjilat yang hina.
Maka, kembali kepada konsep diri yang
berkembang di masyarakat, kepada diri kita masing-masing memahami untuk apa
kita ada, untuk apa kita berjalan di bumi ini, dan untuk apa kita hidup. Orang
barat pada era kolonial meyakini, mereka terlahir untuk memperoleh 3 hal, yaitu
kejayaan (glory), harta (gold), dan penyebar ajaran kristus (gospel), dan
dengan keyakinan itu mereka mengangkangi seluruh dunia, bahkan menggerogoti
imperium Turki Utsmani. Jerman di era Nazi meyakini, mereka adalah “ras yang
diciptakan untuk memerintah manusia lain”, dan dampaknya mengusai daratan
eropa, dan beberapa belah dunia di bawah ideologi Nazi yang berasal dari
catatan individu bernama Adolf Hitler, yang lemah dan penyakitan di masa muda.
Lantas, untuk apa orang Indonesia hidup? Untuk apa masyarakat kita ada? Dan
mengapa, islam masih menjadi mayoritas pilihan (atau keturunan) dari masyarakat
ini?.
Sejarah mencatat era yang membuktikan
eksistensi Indonesia berasal dari era terdekat, era ketika Indonesia berada di
bawah imperium-imperium muslim. Sebut saja demak, mataram islam, aceh, pasai,
ternate-tidore, dan lain-lain. era terakhir inilah yang menjadi peletak fondasi
terbesar munculnya Indonesia yang muslim. Mengapa demikian? Kita semua tahu di
era-era ini nusantara berhadapan dengan kolonialisme Portugis, Spanyol,
Britania, dan Belanda, dan di era ini Indonesia bertempur guna memperjuangkan
kemerdekaan. Karena, era sebelumnya di masa Hindu dan Budha, Indonesia tidak
atau mungkin berhasil menagkal kolonialisme. Maka, fondasi terkuat mengapa
islam menjadi pilihan dan mendarah daging karena fondasi terdekat pembangun
bangsa ini adalah kebudayaan islam di era pra dan paska kolonialisme.
Dengan demikian, maka wajar jika
hampir 90% (atau 80%) masyarakat Indonesia mengenal islam bahkan menganut agama
islam. Apabila kembali pada konteks untuk apa bangsa Indonesia ada, ditambah
denga fakta bahwa mayoritas dari bangsa Indonesia adalah muslim, maka ini
adalah jawaban saya. Bangsa Indonesia hadir untuk islam dan nusantara, hadir
untuk memperjuangkan dan membela keyakinan mereka seperti yang dituntunkan
dalam ajaran islam, dan hadir untuk menjaga eksistensi bangsa. Maka ironi kita
lihat, jika dalam proses regenerasi dan pergantian kepemimpinan ruh dan alasan
kehadiran bangsa Indonesia tidak terimplementasi dengan baik. Ummat islam Indonesia
sendiri masih tidak peduli dengan agama mereka, apalagi dengan negara mereka
(analogi sederhana). Bayangkan, jika berbagai fakta gamblang di lingkungan
sekitar tentang kebobrokan moral, kerusakan sumber daya, dan ketidakadilan
dalam perekonomian seolah “tidak terjadi” dan “bukan pertimbangan” dalam
menentukan dan mengevaluasi pemimpin, mana mungkin bisa kita menyebut diri
sebagai bangsa Indonesia yang baik?.
Kesimpulan dan evaluasi akhir tahun
bagi penulis dan bangsa ini, terutama ummat islam, kita memang “merindukan”
pemimpin muslim, namun, sampai detak waktu berdentang di akhir tahun rasa rindu
belum berubah menjadi riak-riak gerakan. Egoisme masing-masing golongan, sikap
sinis, dan ketidakpedulian masih menjadi arus utama di Indonesia, bahkan tidak
menutup kemungkinan ada di dalam diri penulis. Bagaimanapun tahun 2015 akan
segera menyelesaikan kewajibannya di hadapan Allah, segala sesuatu telah
bergulir dan segera menanti hasil baik di dunia maupun di akhirat. Semoga Allah
mengampuni kita semua, dan memudahkan urusan kita semua di tahun-tahun
mendatang. Wallahu ‘Alam.
Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student,uns.ac.id
No comments:
Post a Comment