Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Saturday, June 20, 2020

Melihat Indonesia : Tuhan memberi karunia untuk melihat




Tuhan memberi karunia untuk melihat

30 Maret 1995, sore itu sepasang suami istri terlihat gelisah. Mereka baru saja berkunjung ke bidan, dan bidang berkata hari itu adalah hari istimewa bagi mereka. Kandungan sang istri sudah masuk masa melahirkan, kabarnya. Maka disarankan si istri terus menerus bergerak, untuk mempercepat proses bukaan, agar nanti bisa segera melahirkan. Di depan gudang sebuah sekolah, sang istri terus menerus berjalan mengitari pohon rambutan dan durian, sang suami mengawasi istrinya, lekat-lekat.
Menjelang tengah malam, mulai terasa mules luar biasa, mules ini tidak ada hubungannya dengan buang air besar, inilah tanda-tanda nya! Tanda sang bayi siap untuk mendorong dirinya keluar. Bergegas sang suami bersiap, tabungan sebagai guru wiyata bhakti, semacam guru honorer saat itu, ditambah honor tambahan sebagai tukang kebun dipersiapkan. Dipapahnya sang istri keluar dari gudang sekolah sekaligus tempat tingga mereka berdua. Hari sudah gelap, dan di kecamatan sebelah barat daya Kota Semarang ini, jumlah manusia belum bisa menjamah dalamnya hutan jati dan hutan karet milik pemerintah. Penerangan pun terbatas, beruntung sudah ada beberapa lampu oranye di pinggir jalan besar antar kota.

Perlahan mereka berdua berjalan menyusuri jalan besar itu, ditemani suasana lenggang karena malamnya hari, dibarengin dzikir dan sholawat mereka menempun beberapa kilometer guna menuju puskesmas terdekat. Kendaraan bermotor masihlah barang mewah, sepeda onthel adalah milik sekolah. Berjalanlah mereka, satu langkah, satu langkah, sembari beberapa kali sang istri mengerang, sedang sang suami hanya bisa menatapinya lekat-lekat.

Sampailah mereka pada sebuah gereja, penanda bahwa puskesmas hanya tinggal sebentar lagi. Namun bencana, seekor anjing menunggu tepat di depan gerbang gereja tanpa diikat. Dengan hari-hati, suami muda tersebut mengambil posisi di depan sang istri, bersiap memprovokasi agar anjing itu mengejarnya. Sang istri diminta terus berjalan perlahan menuju puskesmas. Sebuah teriakan memecah malam, disusul gonggongan anjing, memulai sebuah pertarungan epic, adu strategi antara isnting pemburu dan akal manusia. Sedangkan sang istri semakin kepayahan, meneruskan langkah dibarengi dzikir dan sholawat, semakin kencang, semakin banyak.

Tanpa sadar langkah payah itu membawanya ke depan pintu gerbang puskesmas. Seorang tukang parkir, paham betul dengan keadaan tersebut segera memapah sang istri. Menyusul kemudian sang suami, mencapai gerbang puskesmas dengan terengah-engah. Sepertinya akal manusia menang dan berhasil mengkadali si anjing. Tukang parkir hanya mengulum senyum sembari berkata “dikejar anjing lagi ya pak?” mungkin bermaksud mencairkan suasana, dan hanya dibalas dengan senyum kecut. Pasangan muda ini pun berjalan bersama, memasuki ruangan puskesmas. Bersaamaan dengan mereka, ada pasangan muda lain, baru saja turun dari kendaraan bermotor, konon katanya mereka datang dari pegunungan. Segera masing-masing suami menuntaskan tugasnya, mengantar istri masing-masing di ruang persalinan dan menunggu. Bidan bersiap-siap, malam ini akan menjadi malam sibuk baginya.

Menjelang dini hari, terdengar suara tangis pertama. Bu bidan memanggil bapak pembawa sepeda motor ini, bayinya lahir dengan selamat, katanya. Guncangan saat mengendarai motor mempercepat proses bukaan, sehingga sang istri hanya perlu menjalani 3 bukaan saja saat di puskesmas. Bapak tadi menangis haru, dan segera mengikuti bu bidan ke sebuah tempat. Sementara suami muda, masih terengah-engah karena dikejar anjing, hanya bisa menatap langit-langit. Bapak-bapak tukang parkir tadi bersiap untuk tidur. Hari semakin malam, entah ada apa gerangan didalam ruang persalinan itu.

Adzan shubuh berkumandang meyadarkan si suami muda ini. bergegas dia mengambil air wudhu, menuju mushola didalam puskesmas. Dia tunduk dan sujud, mengharap keselamatan bagi istri dan calon bayinya. Hanya mengharapkan keselamatan, itu saja. Sebelum dia sempat menyelesaikan sujud terakhirnya, terdengar sebuah suara nyaring, tangisan nyaring dari ruang persalinan.

Bapak parkir itu mengerjap-ngerjapkan mata saat sang suami muda kembali dari mushola. Terlihat matanya masih merah karena kelelahan dan mungkin kurang tidur. Segera dia menemui suami muda tadi dan berkata

Anaksmu uwis lahir mas, mau digawa bu bidan ning tempat perawatan:
“Suara tangis e banter tenan mas, aku war nganti kaget terus tangi. Kok koyok sempritan”

Terjemah : anak anda sudah lahir, tadi dibawa ibu bidan ke ruang perawatan. Suara tangisnya keras sekali, saya sampai kaget dan terbangun. Kok seperti suara peluit.

Suami muda ini sumringah, dari percakapan tadi, dia tahu istri dan anaknya semuanya selamat. Bergegegas dia memasuki ruang perawatan, meninggalkan bapak tukang parkir dengan kantuk dan kagetnya, menuju tempat dimana istri dan anaknya. Mereka berdua disana, sudah dalam kondisi dibersihkan dan dirawat sebagaimana mestinya, sang istri menyambut suaminya dengan senyum, sembari menggendong sang anak. Sang suami menahan tangis, dia memiliki keturunan, darah daging miliknya sendiri. Inilah harga diri seorang laki-laki.

Perlahan di dekatkan kepalanya ke telinga kanan bayi merah itu, mulai mengumandangkan takbir, syahadat. Inilah suara adzan, suara pertama yang didengar oleh setiap bayi dari keluarga muslim. Sebuah suara yang menjadi doa pengharapan, sekaligus syukur. Karena Allah SWT memberikan kehidupan kepada mahluk mungil ini, dan agar mahluk mungil ini mengenali saat tuhannya memanggil dalam setiap sholat dan ibadahnya. Adzan ini diselesaikan dengan iqomah di telinga kirinya, menggaransi saat dia lahir tidak ada setan apapun mendekat. Allah SWT melindunginya, begitulah kiranya.

Pagi itu, 31 Maret 1995 seorang bayi baru lahir. Dia tidak tahu betapa beruntungnya dia, karena di tahun tersebut angka kematian bayi di negeri ini masih cukup besar. Masih ada peluang 7-10 bayi meninggal di setiap 1.000 kelahiran. Bayi itu tidak tahu betapa beruntungnya dia, karena masih ada peluang dia lahir dengan penyakit bawaan, sebut saja polio, hidrosefalus dan penyakit lain yang umum menjangkiti bayi-bayi di negara dunia ketiga. Dia beruntung karena tidak semua bayi generasinya, lahir melalui tangan bidan, di sebuah fasilitas kesehatan. Karena banyak bayi-bayi, masih lahir dengan bantuan instansi-instansi tidak resmi, di tempat tidak semestinya, dengan alat bantu seadanya. Inilah fakta dari kurangnya tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan pada saat itu, padahal bayi ini  lahir di sebuah kota.

Maka dia hanya bisa mennagis, dan berlatih membuka matanya, sembari kedua orang tuanya menggendong dan membersamai dia. Karena dia tidak tahu, dunia ini masih gelap baginya. Dia hanya tahu dia berada di tangan-tangan penyayang nan baik hati, dia hanya tahu dia sudah dilahirkan dan mungkin ditakdirkan untuk hidup. Itu saja.

Sedangkan kedua orang tuanya hanya tersenyum meliat buah hatinya, mereka mencari-cari tukang parkir baik hati tadi untuk mengucap terimakasih. Namun bapak itu sedang tertidur pulas, mungkin kompensasi atas kelelahan malam itu. Motor yang dikendarai sepasang suami istri dari gunung itu sudah lama pergi, mungkin mereka sudah membawa sang anak ke keluarga besarnya. Hari itu, 2 anak Indonesia lahir. Entah apa yang berikutnya akan mereka hadapi.


Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.


For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6

Untuk tulisan lain berkaitan dengan manajemen, silahkan kunjungi pranala dibawah ini

kunjungi juga profil selasar saya di : https://www.selasar.com/author/abdullah/
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya 



No comments:

Post a Comment