Merdeka seperti Apa?
Korea Utara, negara dengan
kapasitas mampu memberi kejutan kepada dunia dengan teknologi nuklir dan roket.
Dengan kebijakan isolasi dari dunia luar, serta embargo baik sosial, politik
maupun ekonomi, tetap berdiri dibawah kepemimpinan Presiden Kim Jong Un,
bertumpu pada sistem sosialis dengan ideology Juche-nya. Kebijakan rezim
memberlakukan tindakan represif kepada warganya, dengan berbagai pembatasan
akses informasi dan ruang gerak pada akhirnya membuat dunia menggelari negara
tersebut sebagai tempat tidak nyaman. Berbagai usaha dilakukan warganya untuk
bisa melarikan diri dari tanah kelahiran mereka. Merkipun kenyataannya, tidak
ada satupun kekuatan lain mengangkangi, memeras dan menjajah negara tersebut!
dan sejak Perang Korea usai, negara ini resmi menjadi sebuah negara merdeka.
Lain halnya di sisi lain dunia, di
sebuah tempat dimana masih terjadinya penjajahan secara sistematis sebuah
negara atas negara lain. Ditambah dengan kebijakan apartheid antar satu ras
dengan ras lain, menjadikan tempat ini sebagai contoh terburuk pelaksanaan hak
asasi manusia, namun sepertinya dunia tidak peduli. Bangsa Palestina masih
berjuang meraih kemerdekaannya, usai “lepas tangan-nya” negara-negara arab atas
nasib Palestina pada 1948, negara dan warga Palestina masih mempertahankan
eksistensinya. Pemusnahan massal tersistem baik melalui aksi militer dan
kebijakan internasional seolah tidak membuat gentar, bahkan dengan lantang di
setiap graffiti dituliskan “kami merdeka” atau “kami akan kembali”. Dalam penjajahan,
tapi hati dan pikiran mereka bebas. Dalam terjangan peluru dan ancaman
kelaparan, pandangan mereka masih menerawang jauh, akan janji kemerdekaan dari
Allah SWT.
Kemerdekaan, kata-kata ini akhirnya
harus diterjemahkan mendalam karena adanya interpretasi bermacam-macam dari
manusia. Negara yang merdeka namun masyarakatnya tidak merdeka, dan negara
terjajah namun masyarakatnya merdeka menjadi contoh adanya perbedaan mendalam
tentang arti kemerdekaan. Orang ramai membicarakan klasifikasi merdeka, bahkan
beberapa menulis tentang pemaknaan merdeka. Namun sekali lagi, semua itu ada
dalam kacamata pemikiran sederhana seorang manusia. “Ilmu ku seluas lautan”
begitu kata Allah, “sedangkan ilmu kalian tak ubahnya setetas air yang jatuh
dari sebuah jarum. Setelah jarum itu dicelupkan kedalam lautan”.
Sangat relevan jika setiap momen
peringatan kemerdekaan, orang berlomba membuat refleksi kemerdekaan. Beberapa dengan
garang mengkritik rezim penguasa, beberapa menaruh kaca besar dan memuji-muji
prestasinya. Beberapa menyerukan perubahan, beberapa menginginkan kondisi
stabil dan tenang. Beberapa menyebut darah dan air mata, selebihnya menyebut
harmoni dan keberagaman. Itulah kemerdekaan, selepas Bung Karno berkata “menyatakan
kemerdekaannya”, bangsa ini berdiri perlahan menjadi bangsa maju dan kuat, dan
tentu usaha itu masih berjalan hingga saat ini.
Pada akhirnya harus kita akui,
bahwa bangsa ini memerlukan interpretasi rigid dari kemerdekaan. Selepas Bung
Karno ditemani Bung Hatta mengucap proklamasi, lepas saat itulah bangsa ini
resmi merdeka. Namun sejarah mencatat beberapa kejadian terus membuat kita
berpikir “apakah kita sudah merdeka?”. Mulai dari episode berdarah dan kelam
bangsa ini dibawah baying-bayang komunisme, hingga runtuhnya fondasi
kapitalisme di penghujung abad 20, bangsa ini terus menerus meredefinisi arti
kata “merdeka” dan penerapannya dalam kehidupan.
Lantas merdeka seperti apa hari
ini?
Bangsa ini masih kokoh dengan
slogan “Bhineka Tunggal Ika” –nya. Terbukti bendera-bendera terlarang sudah
jarang berkibar, minimal di pemberitaan media. Media tengah sibuk menyajikan
ulang tahun seorang anak kecil entah siapa, atau pertengkaran remaja entah
siapa. Dimana masyarakat seluruh Indonesia tengah belajar bagaimana menghargai
kebudayaan antar daerah, dan melihat contoh-contoh “mulia” penyelesaian masalah
dan mensyukuri kebahagiaan.
Bandingkan dengan di belajan bumi
lain dimana peluru menjadi bahasa utama menyajikan perbedaan. Ibadah sholat dan
kebaktian di gereja senantiasa disambut panasnya timah. Bahkan agenda olahraga
bernama sepakbola menjadi ajang untuk memamerkan perilaku rasial biadab. “Rasisme
adalah DNA kami”, begitu kata mereka. Sungguh tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia
yang damai, yang bersama-sama mendoakan kebaikan bagi si anak kecil yang masuk televise.
Tentu agar hidupnya bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Setiap jengkal tanah di negara ini
dipenuhi kemakmuran. Angka pertumbuhan ekonomi 5% menjadi bukti, bahkan negara
ini masuk kedalam anggota G-20. Proyek-proyek raksasa tengah dikebut, saban
hari media memberitakan keberhasilan “peletakan baru pertama” di berbagai
tempat. Masyarakat hidup dalam kenyamanan dan kestabilan harga, hingga beberapa
pejabat berkata “tidaklah usah membeli ini dan itu, kita tanam sendiri saja”
atau semacam itu. Mandiri dan berdikari, kurang apa coba?
Bandingkan dengan kehidupan di
sebuah benua, dimana masyarakatnya lebih banyak hidup di tenda pengungsi
daripada perumahan nyaman di perkotaan. Mereka tidak mendapat apa-apa dalam
sehari, kecuali sesuatu setara 2 bungkus kentang goreng porsi medium. Kematian anak-anak
adalah hal biasa, dimana kuburan mereka tidak lain adalah tenda-tenda
pengungsian itu. Hingga mungkin izrail menutup mata, melihat anak-anak kecil
meregang nyawa hanya karena tidak ada makanan disana. Sungguh beruntung bangsa
ini, tongkat dan kayu jadi tanamanan katanya.
Bangsa inipun sangat toleran, saat
masyarakat mayoritas masih memberi kesempatan setara bahkan lebih tinggi pada
minoritas. Minoritas diberi kesempatan berkarir tanpa dibatasi, bahkan hingga
menguasai asset-asset vital perekonomian. Istilah sang Sembilan atau apapun itu
membahana karena kepemilikan mutlak atas sektor, mulai perbankan hingga sampah.
Tidak ada protes bahkan pembantaian, semua berjalan seharmoni, seiring sejalan.
Bandingkan dengan insiden berdara
Serbia-Bosnia, dimana tentara Serbia dengan santainya membantai 8000 orang
dibawah tatapan persatuan bangsa-bangsa. Atau bagaimana leluhur bangsa Amerika
membuat kuburan massal orang-orang asli Amerika. Atau mungkin Raja Ferdinand
dan Ratu Isabella setelah runtuhnya pemerintahan Umayyah Andalusia. Bukan tindak
kasih sayang dan perdamaian, hanya banjir darah, banjir darah dan banjir darah.
Mayoritas tidak mau memberi hati pada minoritas, dan dunia terbahak
menertawakan nasib kaum minoritas.
Negara ini gagah dengan garudanya. Mengemban
amanat 5 butir pancasila sekaligus cita-cita luhur bangsa ini, negara ini masih
terbang tinggi. Menjadi bagian rutin kontingen korps penjaga perdamaian dunia,
hingga mediasi konflik-konflik internasional. Kenapa? Negara ini damai! Mampu menjadi
contoh menangani gerakan-gerakan separatis dengan kasih sayang dan perundingan,
harmoni dalam perbedaan, bahkan berdemo pun dilaksanakan dengan sujud dan
rukuk, tanpa adanya panggung untuk menghina dan menjatuhkan orang lain. Keren bukan?
Bandingkan dengan negara adidaya
entah dimana, yang untuk memburu seorang presiden tiran saja harus menumbalkan
200.000 nyawa. Bukan itu saja, bahkan wilayah tempat anak-anak bermain dijatuhi
dan diberi radioaktif, entah untuk motif apa. Negara adidaya ini rutin
mengacungkan pistol dan senapan untuk menjaga perdamaian, padahal semua orang
tahu tujuan dibuatnya pistol adalah mempercepat kematian orang lain. Luar biasa
bukan? Bangsa Indonesia adalah bangsa besar, kuat, dan kokoh! Merdeka dalam
kedamaian dan kasih sayang!
Lantas, apa makna merdeka untuk
anda?
Bangsa ini merdeka! Bangsa ini
besar dan jaya! Lantas apalagi? Bukankah semua itu sudah cukup.
Pertanyaan sederhananya adalah,
kemana anda akan pulang? Allah menegaskan kehidupan setelah mati itu benar
adanya. Maka, pada akhirnya semua keagungan dan kejayaan itu akan dikembalikan
kepada Allah semata. Lantas sudahkah anda merdeka? Padahal saat ini, rasa haus
dan lapar masih menjadi kekhawatiran, hingga membuat jalan-jalan berlubang dan
beton-beton keropos. Merdeka seperti apakah kita?
Wallahu ‘alam
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/menyederhanakan-kesederhanaan-sebuah.htmlhttp://fellofello.blogspot.co.id/2017/07/mengelola-kesedihan.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6
Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/08/menyederhanakan-kesederhanaan-sebuah.htmlhttp://fellofello.blogspot.co.id/2017/07/mengelola-kesedihan.html
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya
No comments:
Post a Comment