Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Thursday, May 11, 2017

Hikayat Santren : Dul, Rotan dan Kehidupan




Dul, Rotan dan Kehidupan
 

Tau rotan? Rotan adalah sekelompok palma dari puak Calameae yang memiliki habitus memanjat, terutama Calamus, Daemonorops, dan Oncocalamus, menurut Wikipedia. Teksturnya lentur, bisa bengkok-bengkok. Serat kayunya padat, karena itulah sering dipakai sebagai bahan pembuat alat-alat rumah tangga seperti kursi hingga seblak kasur. Karena serat padatnya juga, furniture berbahan rotan sangat kuat dan awet, bahkan mampu menahan beban hingga ratusan kilo. 

Di berbagai masyarakat, rotan telah menjadi bagian dari kehidupan. Konon katanya, orang-orang Dayak menggunakan rotan sebagai bahan untuk membuat senjata. Maka, rotan telah menjadi bagian khas budaya Indonesia. Beberapa furniture rotan buatan Indonesia telah dikenal ke berbagai penjuru dunia. Tentu, rotan tidak bisa mudah saja dilepaskan dari masyarakat Indonesia. Karena PPNK adalah tempat berbudaya, maka rotan juga menjadi bagian dari kehidupan santri PPNK.

Batangan-batangan rotan mudah ditemukan diseluruh penjuru PPNK. Tapi, batangan rotan tadi seringkali ditemukan dalam keadaan tidak utuh. Kenapa? Tentu, batangan rotan tadi “dipakai” untuk melakukan sesuatu. Mungkin kementrian pendidikan akan sangat marah dengan cerita ini, tapi apalah, toh PPNK bukan pondok nyata. Hanya imajinasi. Tapi, rotan-rotan tadi menjadi saksi “cara pendidikan” di PPNK.

Pada pameran OSNK (Pameran Senjata OSNK) saat PSNK, hampir semua bidang memiliki stok rotan sendiri. Baik itu bidang bahasa, bidang ruhiyah (takmir), bidang kebersihan, bahkan bidang intelektual sekalipun memiliki stok rotan. Untuk apa? Rotan menunjukkan tingkat “kekuasaan” seseorang di PPNK. Tentu saja, hanya orang-orang tertentu yang berhak memiliki dan memakai rotan. Dan diantara semua bidang, bidang kedisiplinan adalah “terror hidup” untuk urusan rotan.

Bidang kedisiplinan atau dikenal sebagai bidang indibath, adalah bidang dalam OSNK yang bertanggung jawab memastikan santri-santri PPNK hidup disiplin. Tepat waktu ke masjid, berlaku sebagaimana norma dan moral PPNK, dan tidak melanggar aturan pondok. Bidang ini bertanggung jawab atas kehidupan santri dari bangun sampai bangun lagi. Menjalankan hukuman dan sejenisnya, jelas membuat bidang ini membawa terror tersendiri bagi santri PPNK.

Seperti pada hari itu, sehari setelah PSNK selesai. Kami belum menjalani kewajiban sekolah sih, tapi kami sudah harus terbiasa dengan kehidupan pondok. Pada sore itu, ketika tengah asyik bercengkarama, terdengar suara drum minya dipukul keras-keras dengan rotan. Ditambah hitungan 1,2,3 dan seterusnya mulai terdengar. Mengesalkan. Karena jelas, jika kami berleha-leha dalam hitungan tadi, betis mungil kami (mungkin) akan dicium rotan, tentu, dengan “porsinya”.

Sontak terjadi hysteria luar biasa di asrama, santri-santri kalang kabut membawa perlengkapan sholat maghrib. Seorang kawan terlihat tergopoh hanya memakai kaos dan boxer, baju taqwa, sarung, kopiah dan qur’an ditenteng semua. Seorang kawan terlihat berlari, bukan ke masjid, tapi ke kamar karena dia baru selesai mandi. Sehelai handuk menutupi “anu”nya, tau anu? Anu ya anu. Tetapi kulihat beberapa orang bertampang sepuh terlihat santai, dengan kondisi belum mandi mereka masih berleha-leha di kamar. Sepertinya mereka ingin merasakan ciuman rotan.

Ane termasuk dalam barisan anak-anak polos. Berlari sekencang-kencangnya melewati gerbang asrama dan seorang kakak berkopiah kerucut berwarna merah yang menenteng sebuah rotan. Rotan nya cukup aneh, karena bentuknya melengkung seperti katana. Ujung rotannya kecil dan tipis, tetapi pegangannya cukup besar. Ane ngga bisa mbayangin kalau itu ujung kena kaki, pasti perih. Kakak berkopiah merah hanya menatap kami sinis, sembari terus menghitung dan memukul-mukul tempat sampah.

Ditengar perjalanan menuju masjid, ane bertemu dengan kakak korlap. Dengan tubuh tinggi besar, dia menenteng sebuah rotan. Rotannya panjang, mungkin sekitar 140 cm dengan diameter seperti tangan bayi. Dengan senyum dia mengayun-ayunkan rotan nya dan menuju asrama anak-anak 2 MA (madrasah Aliyah). Ane sempet bingung, dan belakangan ane tahu kalau bidang kedisiplinan, masing-masing personilnya melengkapi diri dengan rotan-rotan khusus.

Pertama, ketua bidang kedisiplinan. Kelas 3 aliyah, namanya Bang Asar. Orang sunda tulen ini adalah kakak korlap saat kami PSNK. Bertubuh tinggi besar, dia menenteng rotan kesayangannya, “Hati-hati”. Kenapa namanya hati-hati? Dengan panjang 140 cm dan diameter sebesar tangan bayi, ditambah postur Bang Asar, besar-tinggi macam menara sutet, kalau sampai kena pukul di lutut, bwuh! Mantap! Ane pernah denger suara pukulan rotannya saat ane di masjid. Bang Asar selalu berjaga di asrama kelas 2 Aliyah, dan, jarak asrama sama masjid sekitar 50 Mtr. 

Kedua, Bang Kahar. Beliau adalah manusia berkopiah kerucut merah, selalu berjaga di asrama kami anak-anak baru. Ane ngga paham kenapa muka terror macam dia yang menjaga anak-anak kelas satu, tapi, ane denger menanamkan rasa takut juga bagian dari pendidikan, entah apalah. Rotannya disebut “Dzul-Fiqar” karena bentuknya melengkung persis pedang. Diameternya memang tidak tebal, paling hanya seukuran telunjuk orang dewasa. Kalau kena betis suaranya “plek… plek…”, ngga dahsyat kayak si “hati-hati”. Tapi, kalian tau lah, PERIH!

Ketiga, Bang Yasin. Beliau adalah mentor ane di pondok, salah satu anggota bidag kedisiplinan. Posturnya pendek, hanya lebih tinggi 5cm dari ane. Cuman, lengannya itu loh, ngga nahan! Urat-urat bertonjolan melingkari lengannya, dan lehernya pun berurat. Dia adalah tipikar pendekar, pendek dan kekar. Rotannya bernama “Masmun” (serius ada tulisan ini di rotannya), ane ngga tau apa makna dibalik nama masmun itu, cuman karakteristik rotannya mirip sama Bang Asar. Cocoklah, dengan lengan jangkar beliau.

Rotan-rotan diatas adalah pengontrol dan alarm kehidupan kami. Ada sih semacam bel begitu di tengah-tengah pondok, cuman karena kompleks pondok ini luas dan terpencar-pencar, jarang suara pukulan bel itu bisa terdengar sampai mana-mana. Akhirnya, pukulan rotan beradu dengan drum minyak bekas (berfungsi sebagai tong sampah) berganti menjadi alarm. Kakak-kakak tadi akan berkeliling ke asrama-asrama, berjaga disana, dan memukul tong sampah tadi untuk mengingatkan waktu sholat dan sekolah.

Hukuman jika terlambat, jelas, 2 kali “ciuman” manis dari “hati-hati”, “dzul fiqor”, dan “masmun”, tergantung hoki ente dimana. Seperti suatu ketika, ane terlambat dan keluar kamar pada hitungan sepuluh.

Dengan menunduk ane menghampiri pemilik “dzul fiqor”, beliau tengah berdiri sambil membaca al-qur’an.
“Kenapa terlambat?” katanya
“Ngantri mandi kak” ane jawab
“Ohh.”

Sambil berkata “oh” tadi, wuttt!!! Plak!!! Plak!!!! Betis ane dicium rotan 2 kali, untuk pertama kalinya di pondok. Rasanya? Luar biasa! Ujung “dzul fiqar” yang kecil tadi langsung membuat kedua betis ane matang sempurna. Betis ane terhitung subur sih, gembur begitu, tapi tetep aja, rasanya luar biasa. Ane ngga bisa mbayangin jika “dzul fiqar” mencium betis-betis padi milik temen-temen ane seperti Mail dan Azis.

“Lain kali jangan telat lagi ya” kata beliau sambil memberikan “ciuman rotan” untuk temen-temen dibelakang ane.

Sambil mengaduh-aduh dan mengusap rotan, ane berjalan ke masjid dan bertemu Bang Yasin. Sambil tersenyum simpul dia berkata kepada ane

“Gimana Dul? Enak?”

Sambil tersenyum kecut ane cuman bisa “he..he..he” dan berlari ke masjid. Di tempat wudhu ane meliat “monument pengesahan” status ane sebagai santri. Dua baret berwarna merah membujur di kedua betis ane, warnanya merah pucat dan tentu ketika kena air rada-rada gimanaa gitu. Cuman, dalam satu kesan ane langsung memahami, disiplin betul-betul menjadi ruh kami. Jika tidak disiplin, maka kenang-kenangan berupa baret merah itulah yang kami dapatkan.

Ketika pulang ke asrama, terjadi kegaduhan di kamar sebelah. Sebelah S.A.F ada kamar bernama J.B.A, dan disana ada kerumunan, Bang Asar ada didalam sana. Seorang santri berbadan kecil (betis padi) terlihat ketakutan dan ditenangkan oleh Bang Asar. Usut punya usut, betis padinya kena cium “dzul fiqar” juga, dan bekasnya bukan merah seperti ane, tapi biru. Wow! 

Ternyata, anak ini baru keluar kamar menjelang iqomah, dan jelas itu sangat terkesan meremehkan peraturan. Bidang kedisiplinan memang punya ukuran pukulan sendiri, ketika pelanggaran biasa, maka sabetan rotan tadi hanya menggunakan seperempat kekuatan. Jika sedikit kurang ajar, maka menggunakan setengah kekuatan. Dan ketika kurang ajar sekali akan menggunakan kekuatan penuh. Kekuatan tadi diukur dari seberapa tinggi ancang-ancang untuk melayangkan sabetan. Nah, ketika kamu berangkat ke masjid, dengan sengaja saat iqomah, siap-siap untuk menerima “kekuatan penuh”.
Setelah Bang Asar selesai dan keluar kamar, esok nya tidak ada sabetan lagi. Santri boleh memilih hukuman, push up 50 atau sabet 2 kali. Karena betis ane tebel, terang ane memilih sabet (dan entah kenapa ane ketagihan sama sensasinya) rotan karena cepat dan tidak berkeringat. Tetapi santri-santri betis padi memilih push up dan sejenisnya sih.

Saat itu ane berpikir, memang pendidikan tidak bisa dipandang sebagai urusan sederhana. Banyak metode harus dipikirkan konsekuensi dan tujuannya. Dan tentu, keterlibatan aktif kedua pihak, pendidik dan peserta didik diperlukan. Seperti rotan ini tadi. Tanpa rotan, mungkin santri PPNK akan abai dengan aturan (bahkan ada yang menyengaja kena rotan untuk merasakan sensasinya) apalagi tanpa rotan. Cuman, untuk beberapa peserta didik lain, rotan memiliki konsekuensi terlalu berat bagi mereka.

Akhirnya diambillah alternative, peserta didik bebas menggunakan pilihan mode pendidikannya. Pada akhirnya, pilihan tadi akan membantu proses adaptasi peserta didik. Kenapa? Setelah 1 bulan menjadi santri, pilihan tadi mendadak hilang. Tidak ada santri mau di push-up, mereka memilih sabetan rotan. Tentu, karena cepat dan mudahnya hukuman tadi. 2 atau 3 kali “plak..plak” sudah selesai urusan. 

Mungkin kementrian pendidikan akan marah karena ini, tetapi, pada saat itu dengan cara demikian santri-santri PPNK menentukan “pendidikannya”. Cepat dan efisien, itulah rotan. Kedepan akan banyak cerita soal rotan ini yang ane alami. Tapi untuk sekarang, ini aja cukup kali ya?


-Continued

*toh PPNK bukan sekolah beneran. Ada sih sekolah benerannya, cari aja yang namanya agak-agak mirip gitu. 


Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com

Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini :
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-penutupan-psnk.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-tempe-tepung.html

 Thank you for Support!
Share, Follow and Comment!!


No comments:

Post a Comment