Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Wednesday, April 12, 2017

Hikayat Santren : Dul, Ane - Ente





Dul, Ane – Ente 



  Beberapa jam disini, aku sudah mengalami banyak hal. Rasanya seperti jiwaku tercerabut dari akalnya. Aku harus tetap tenang, lagipula, semua disekitarku adalah anak-anak baru. Aku pun turun sambil membawa handuk dan alat mandi. Asrama tempatku tinggal adalah bangunan dua lantai, dengan toilet dan kamar mandi berjejer di belakang. Pertama kalinya aku mengantri hanya untuk urusan mandi, dan antrinya tidak main-main. Didepanku sudah ada 5 orang, mereka antri.


Iseng aku edarkan pandangan, sial, seharusnya aku diam saja. Seorang anak laki-laki dengan badan sedikit besar, mengantri hanya dengan memakai handuk yang ditutupkan di badanya. Harusnya aku menunduk saja, dalam waktu singkat mataku sudah tercemar banyak hal. Oya, aku sama sekali belum membuka percakapan dengan orang sekitarku, kecuali seorang anak laki-laki dan orangtuanya dari karawang, tetangga ranjangku. Jadi bisa dikatakan, aku belum memahami lingkungan sekitarku.

“eh, ente udah mulai mandi? Ngantri sejak kapan?”

“iya nih, ane belum dapet giliran juga nih..”

Tanpa sengaja telingaku mendengar kata-kata itu. Ane-ente, kata pengganti untuk mengidentifikasi aku-kamu/aku-koe (jawa). Aku pernah mendengarnya beberapa kali lewat stasiun televisi, tapi aku merasa ane-ente hanya sebuah lawakan basi, semacam symbol penghinaan untuk orang arab. Karena di film-film orang yang memakai ane ente kadang orang-orang aneh. Tapi bolehlah, setidaknya itulah bahasa umum di PPNK, aku akan coba menggunakannya.


“eh bro, giliran ente mandi nih..”

Seseorang menepuk dari belakang..

“oh iya, makasih udah ngingetin ane…”


Hemm, ane-ente, lumayan juga, terkesan akrab, tidak formal, mudah, dan tentu saja semi bahasa asing. Ane… ente.. ane.. ente… luar biasa, emang pondok kelas nasional, mempersatukan orang dengan bahasa asing, lumayan juga. Mulai sekarang aku akan menggunakan “ane” untuk mendefinisikan “aku”. Ane mulai sekarang.

Baju dibuka, celana dibuka, handuk diletakkan pada tempatnya. Mandi pertama bukan di rumah orang tua, sepertinya menarik. Memejamkan mata, menikmati sejuknya air pegunungan. Tetapi kenikmatan mandi itu segera terusik..


“eh lu gimana kabarnya? Lu masuk sini juga..?”

“anjir ketemu lagi sama elu, hahaha.. gimane? Sehat lu..?”

“eh tu dua orang, buset dah,, baik-baik aja lu? Masih idup..?”

“anjrit anduk gue ketinggalaaan….”


Belum ada 24 jam ane disini, kuping ane udah keracunan banyak hal. Lupakanlah keindahan ane-ente yang barusan, ya gimanapun namanya tempat umum. Suku-suku dari seluruh Indonesia juga kumpul disini, wajar lah banyak bahasa tercampur-campur dan terdengar dimana-mana. Baiklah, dengan kata-kata setengah kasar barusan, akan ane ikutin arus aliran luar biasa ini..

“kampret”

-Continued

Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah

(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com 

Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini

No comments:

Post a Comment