Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Monday, March 27, 2017

Demokrasi Sepakbola



Demokrasi Sepakbola 

Fenomena ultras, demokrasi dan keislaman

2.6 Milyar penduduk dunia mengenal, memainkan, tahu dan mengikuti perkembangan sebuah olahraga kuno bernama Sepakbola. Ribuan klub, ratusan kompetisi, senantiasa digelar setiap tahun, dengan berbagai macam hadiah, peluang sponsor, dan gelar-gelar bergengsi dipajang sedemikian rupa. Pada hari-hari itu juga, ribuan orang berduyun-duyun menuju stadion, entah saat akhir pekan, entah saat kompetisi rutin bulanan, entah saat kompetisi rutin 4 (empat) tahunan atau entah kompetisi apapun. Tiket laris dibeli, ribuan orang mengekpresikan diri, mendukung 22 orang laki-laki/perempuan yang beradu tangkas mengolah kulit bundar.

Permainan sederhana yang fasih dilakukan oleh anak-anak TK sekalipun, menjadi nadi dan denyut tersendiri. Teriakan dan yel-yel supporter untuk mendukung klub kesayangannya, tabuhan genderang atau tepukan keras ribuan orang di dalam stadion, keringat dan kelincahan para pemain dan kegelisahan para eksekutif klub dalam menjaga hati sponsor menjadi penanda sebuah kehidupan. Orang-orang terpaku pada tempatnya selama 2 kali 45 menit, baik itu di kafe, depan televise, bersama orang-orang di dusun-dusun, dan di stadion. Berbeda tempat, berbeda zona waktu namun berbagi semangat yang sama. Dan lebih penting, berbagi keberpihakan dan perasaan yang sama dengan jutaan penikmat sepakbola lain di seluruh dunia. 

Dalam agama islam, secara khusus kita sebagai ummat muslim dilarang untuk membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Namun, dalam opini kami sangat menarik jika kita membahas lebih jauh tentang fenomena sepakbola dan kekuatan seperti apa yang dapat mereka bawa dan dapat mereka rubah, bahkan, bagaimana sepakbola bisa menjadi sebuah ancaman dalam kondisi tertentu. 

Meskipun ada orang yang tidak menyukai hal ini, kenyataan nya demokrasi dan politik praktis menjadi kekuatan global. Mayoritas Negara dunia memberikan pilihan kepada rakyatnya untuk menentukan pemimpin, mengelola Negara dan menyuarakan pendapat. Dengan system demikian, rakyat bisa melakukan berbagai fungsi baik fungsi kontrol, pemberian masukan, hingga membantu proses pengambilan keputusan dalam suatu Negara. Dan tentu, yang mengawali itu semua adalah kebebasan individu atau kelompok untuk menyuarakan pendapat.

Banyak metode untuk menyuarakan pendapat, mulai dari berbagi opini di media sosial, aksi-aksi advokasi, penyampaian aspirasi terbuka dijalanan, hingga aksi-aksi yang lain. Namun, perlu diingat, gagasan yang tidak disebarluaskan hanya akan berhenti menjadi sebuah wacana atau opini kosong, dan kita ketahui bersama, untuk menyampaikan gagasan kita perlu bantuan yang bernama media. Namun sayangnya, media sendiri tidak mungkin menyalurkan dan menyampaikan semua gagasan, dan terkadang gagasan kita tidak cukup menarik untuk disampaikan oleh media. Bahkan melihat kondisi dewasa ini, media cenderung memilih dan memilah gagasan mana yang akan disampaikan menuju khalayak.

Namun, pernahkan anda menyaksikan sebuah pertandingan sepakbola, dimana gerak-gerik dan aksi supporter maupun klub yang bertanding, tidak ditayangkan oleh media? Lebih hebatnya lagi, ribuan orang itu masuk seluruh nya bahkan hingga siaran televise nasional dan internasional. Ribuan orang yang berdiri selama 2x45 menit itu, mampu menyampaikan gagasan dan ide nya hingga ke berbagai penjuru dunia, padahal, mereka hanya berdiri di satu tempat dan di satu waktu yang sama.

Studi kasus yang saya angkat adalah aksi heroic supporter Glasgow Celtic saat mengibarkan bendera palestina ketika menjamu sebuah tim asal negeri aggressor, Israel dalam sebuah laga di Liga Champion Eropa. Dibalik seluruh kritik dan cercaan bahkan sanksi yang diberikan UEFA kepada tim ini, para ultras tersebut sekali lagi mengingatkan dunia bahwa masih ada manusia-manusia yang belum merdeka di dunia modern ini. Sekali lagi, mereka mampu menyuarakan sesuatu yang puluhan tahun muslim Indonesia suarakan di jalan-jalan, dengan lebih lantang, dengan jangkauan yang lebih luas, dengan lebih berdampak, dan lebih keras “menampar” para penjajah Israel. Hanya dengan 2x45 menit, menyaksikan sebuah “hiburan”, membayar tiket yang tidak seberapa, mendapatkan tempat duduk, dan dilindungi sepenuhnya oleh polisi setempat, ultras Celtic memberikan sesuatu yang sederhana, namun berdampak besar bagi dunia.

Tidak hanya Glasgow Celtic, ultras-ultras di seluruh dunia beberapa kali menunjukkan aksi-kasi simpatik yang memihak kepada kepentingan kemanusiaan. Seperti koreografi Pasoepati Persis saat laga persahabatan melawan Malaysia yang menunjukkan bendera Palestine dan Indonesia yang beriringan. Aksi “Green Lamp” dalam menghormati sebuah tim yang mengalami kecelakaan tragis, hingga aksi-aksi mengheningkan cipta untuk memperingati berbagai tragedi secara global dilakukan terus menerus oleh ultras-ultras lapangan hijau. Menimbulkan simpati, bersama membangkitkan semangat, dan lain sebagainya. Lapangan hijau, sepakbola dan supporter nya, menjadi sebuh fragmen menyuarakan pendapat “terbaik” di dunia. Karena orang bisa menjadi dirinya sendiri selama 2x45 menit, tanpa khawatir akan penindasan oleh manusia apapun di dunia.

Pernahkah kita membayangkan jika seorang pimpinan kelompok penggemar sepakbola mencalonkan diri menjadi seorang anggota dewan? Setiap akhir pekan dia mengkomando ribuan orang di tribun. Apakah memperoleh 5000 suara untuk menjadi seorang anggota dewan kota sulit? Seperti calon-calon lain yang tidak pernah berdiri di tribun? Tentu, berbeda. Ini membuktikan, sepakbola dan budayanya, tidak hanya berdampak besar saat berada di lapangan, namun diluar lapangan.

Bukan rahasia lagi ketika kita mengatakan Barcelona sebagai antithesis dari real Madrid. Tidak hanya sebagai tim sepakbola, tapi mewakili Kerajaan Spanyol dan Wilayah Otonomi Catalan. Klub-klub sepakbola di Yunani pun sama, mereka hadir di stadion membawa ideology politik masing-masing, baik itu kiri, kanan maupun tengah. Bahkan di skotlandia, The Old Firm Derby mewakili rivalitas 2 (dua) agama, Katolik dan Protestan. Northwest Derby di Inggris antara Liverpool dan Manchester United mewakili perselisihan ekonomi kedua kota, Derby de La Capitale antara Lazio dan AS Roma mewakili konflik entitas di ibukota Italia, Roma, dan lain sebagai nya.

Sepakbola di Negara maju, menjelma tidak hanya sebatas hibura, nemun sudah menjadi sebuah kendaraan politik, ekonomi dan budaya  raksasa. Menghasilkan jutaan dollar setiap tahun, dan memiliki kemampuan untuk menggoyang stabilitas suatu Negara, bahkan dengan segala kemungkinan mendompleng kekuasaan yang bercokol di suatu Negara. Sebuah kekuatan luar biasa yang muncul dari pertempuran 22 orang memperebutkan sebuah bola kulit di tengah lapangan rumput berwarna hijau.

Akan kami berikan dua contoh, yang mungkin kita semua cenderung tidak peduli. Supremasi ekonomi Turki pernah terancam pada tahun 2014 karena konflik antara pemerintah dengan masyarakat atas sebuah taman di tengah Kota Istanbul. Pertanyaan kedua, mengapa figure pemimpin sekuat Erdogan dan pemerintahan sekuat Turki mampu bergoyang sedikit hanya karena sebuah taman? Perlu dicatat, ribuan orang terlibat dan terjun dalam aksi tersebut, dan yang membuat aksi ini menarik teruatama bagi pecinta sepakbola, adalah bersatunya 3 kelompok supporter terbesar di Istanbul yang mewakili Galatasaray, Fenerbache dan Besiktas untuk bersatu dan turut serta dalam aksi tersebut. Kira-kira, berapa ribu manusia yang bergabung dan turut dalam aksi tersebut, hanya dari ketiga komunitas supporter itu?.

Contoh kedua sangat menyakitkan bagi kami selaku penulis. Revolusi emas yang dilakukan masyarakat Mesir di Tahrir Square selama berhari hari rontok seketika, dalam waktu yang sangat singkat. Sebabnya, mayoritas supporter besar di Mesir yang mewakili berbagai tim seperti Zamalek, Al Ahly dan tim-tim lain berhasi “disetir” untuk turut menggulingkan presiden resmi dan terpilih Mesir, Mohammad Mursi. Sebuah contoh yang pahit sesungguhnya, terutama bagi ummat islam yang mendambakan pemerintahan yang sesuai syari’at islam.

Kekuatan yang tidak bisa kita remehkan yang muncul dari “sekelompok orang tidak punya kerjaan” yang berkumpul tiap akhir pekan di sebuah stadion. Figure pemimpin kokoh seperti Erdogan, ataupun pemerintahan hasil perjuangan selama 32 tahun, bergoyang dan rontok “hanya” karena terlibatnya sekelompok penggemar sepakbola. Pada hal ini, kami ingin menyampaikan bahwa ummat islam tidak bisa hanya mengacuhkan fenomena ini. Sebagaimana kesenian dan music mampu merusak atau memperbaiki suatu generasi, olahraga terutama sepakbola memiliki kekuatan yang kurang lebih sama.

Namun disayangkan, sampai detik ini tidak banyak ummat islam yang peduli, bahkan cenderung memberikan stigma negative kepada kelompok manusia yang satu ini. Ummat islam cenderung tersibukkan dengan aktifitas structural, seperti politik, dan melupakan bahkan tidak peduli terhadap hal-hal kultural seperti sepakbola dan sebagainya. Perlu kita pahami bersama, islam adalah agama yang bisa mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dan perlu kita pahami bersama, dunia olahraga terutama sepakbola juga memiliki hak untuk dikenalkan dengan kemuliaan islam. 

Bukan proses yang mudah memang, untuk mampu mengambil peran dalam dunia-dunia kultural. Bukan sesuatu yang lazim ketika seorang kyai besar hadir dalam tribun penonton dan turut berteriak-teriak menyanyikan yel-yel dukungan. Tetapi, seorang kyai dapat mengarahkan yel-yel menuju sesuatu yang bermanfaat. Seorang pemain muda muslim dapat bertakbir saat berselebrasi merayakan goal-nya. Dan ribuan supporter yang hatinya tersentuh kemuliaan islam akan dengan ringan melangkahkan kakinya membela agama dan para ‘ulamanya, sebagaimana mereka berjalan setiap pekan untuk mendukung tim kesayangan nya menuju stadion.

Islam adalah agama yang syumul, mengarahkan dan memberikan pedoman terbaik kepada manusia sejak bangun hingga tidur kembali. Siapapun itu selama mereka manusia adalah objek dari dakwah islam itu sendiri. Lebih peduli, lebih pandai mengelola anak-anak dan keluarga kita atas kecintaan nya terhadap sepakbola. Lebih peduli dengan masyarakat yang kegirangan saat tim nya memenangkan sebuah pertandingan, minimal dengan menyapa dan menanyakan skor yang diperoleh tim tersebut. Seorang Soeharto memerlukan waktu 32 tahun untuk memperoleh gelar “bapak pembangunan”, tetapi, kami yakin, seorang presiden yang mampu membawa Indonesia mengikuti piala dunia, akan dikenang dan terus dikenang. 

Wallahu ‘Alam


Created by :
Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Baktinusa Angkatan 6


No comments:

Post a Comment