Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Tuesday, February 21, 2017

30 Hari



30 Hari
-Sedang Disuruh Diam
Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam

Membayangkan rapat sampai tengah malam, terjaga, membuat beragam konsep, melang-lang buana melntasi batas wilayah dan kota, berbicara dan membagikan inspirasi. Itulah mungkin gambaran ideal seorang aktivis, apalagi seorang mahasiswa. Diharapkan masyarakat banyak menjadi inisiator perubahan, pembeda dari sebuah zaman, dan nafas baru bagi perbaikan. Sehingga tidak jarang, tubuh yang diamanahkan Allah dipaksa berpacu, melebihi batas sebagaimana mestinya, dipaksa bergerak meski ingin terdiam, hingga akhirnya, ketika Allah mengizinkan diri ini untuk terpejam tidur, itulah hadiah terindah yang bisa seorang aktivis rasakan.

Namun, pernahkah seorang aktivis berpikir jika Allah menginginkan dirinya beristirahat sedikit lebih lama?. Pengalaman pribadi saya menjadi saksi, bahwa seringkali seorang yang terbiasa bergerak akan sangat menderita jika dia dipaksa beristirahat di dibatasi amal-nya. Kemudian, sangat perlu bagi seorang aktivis merencanakan kemungkinan tersebut dan mempersiapkan sebaik-baiknya.

Genap 30 hari sudah, saya menjadi beban tanggungan kedua orang tua dan keluarga. Benturan keras yang terjadi saat bermain dengan jeram menjadi awal, dan posisi salah yang terjadi saat berjongkok di kamar mandi menjadi pemicu tercepitnya syaraf di bagian pinggang dan tulang belakang. Alhasil, kaki kiri yang dulu tegap menyokong, diistirahatkan Allah, sehingga kehilangan beberapa fungsi pentingnya. Saya sendiri tidak pernah membayangkan akan mengalami sesuatu yang demikian.

 Terbiasa hidup dengan bergerak bebas, kembali menjadi seorang bayi yang memerlukan perhatian ibu-nya, bahkan hanya untuk urusan sepele seperti buang air dan mandi. Apakah saya merasa terpukul? Allahu Akbar, Allah sedang menyayangi saya dan ingin agar dosa-dosa saya diampuni.
Dalam 30 hari ini, banyak hal yang terjadi Dalam diamnya saya, itulah yang akan saya ceritakan, itulah yang akan saya bagi. Harapannya, rekan-rekan ku sesame aktivis mampu mempersiapkan sesuatu, ketika Allah meminta kita untuk beristirahat.


Jagalah keluargamu

Usia saya hampir menginjak 22 tahun, tepatnya 21 tahun 10 bulan. Dan saya sama sekali tidak menyangka saya dimandikan kembali oleh ibu saya. Sederhana, fungsi gerak di kaki kiri saya yang terganggu membuat saya kehilangan kemampuan untuk berdiri lama, sehingga dalam proses mandi saya harus dibantu terutama untuk proses membersihkan hadats. Allahu akbar, disaat seperti itulah ibu saya senantiasa membantu, ditengah usianya yang semakin senja. Membantu memakaikan pakaian, membantu membersihkan hadats, menyiapkan makan, bahkan mengambilkan air minum.
Bapak saya adalah orang yang tegar yang sangat jarang saya lihat beliau menangis. Namun saya tahu sendiri, di sela-sela sholatnya senantiasa air mata itu meleleh mendoakan anak-nya yang tengah disayang Allah ini. Bahkan nenek, paman dan bibi, serta adik saya melakukan yang terbaik untuk kesembuhan saya. Doa-doa mereka, perhatian dan bantuan mereka menjadi semangat tersendiri untuk saya tetap bertahan dan menjalani terapi rutin harian. 

Pertanyaan sederhana, seorang aktivis, ketika sedang sehat seberaakah perhatian yang dicurahkan kepada keluarga? Dengan alasan rapat dan agenda, apapun macamnya, jangankan menelpon, menanyakan kabar via whatsapp saja, yang gratis, seringkali terlupa. Jangan pernah lupakan, kasih sayang keluarga adalah sebagian dari kasih sayang yang Allah berikan kepada manusia di dunia. Apa kabar keluargamu hari ini kawan?

Allah sedang Ingin Bermesraan Denganmu
 
Seringkali, ketika kita sakit kita meratap dan melupakan esensi dari munculnya rasa sakit. Bahkan tak jarang kita berpikiran Allah sedang memiliki rencana jahat kepada kita. Perlu kita ingat, rasa sakit muncul sebagai wujud kasih sayang Allah kepada hambanya. Imbalan dari mereka yang bersabar dari rasa sakit adalah terhapusnya dosa-dosa secara perlahan, hingga Allah berkenan mencabut penyakit tersebut. 

Hal-hal seperti itu memang filosofis dan banyak aktivis yang hapal diluar kepala, namun Allahu Akbar, pengamalannya luar biasa sulit. Alasannya sederhana, rasa sakit dan ketidak-bebasan diri untuk beraktifitas memang menjadi wujud siksaan tersendiri. Tidak nyaman bahkan tidak bisa tidur di malam hari menjadi bumbu, semakin membuat “sedap” apa yang kita rasakan. Tetapi satu hal yang saya peroleh, waktu demikian bisa jadi waktu paling tepat untuk bermunajat dan berdzikir.

Saya mengakui disaat saya sakit ini, semakin banyak waktu yang bisa saya manfaatkan untuk berdzikir, bermuhasabah dan berdoa. Bahkan ketika rasa sakit itu menyerang, yang bisa menenangkan ketika saya dibimbing berdzikir dengan keluarga , atau berdzikir dan berdoa secara mandiri. Sebuah siaran radio yang saya dengan pernah membagi nasihat dari para sholihin zaman dahulu. “sesungguhnya Allah sangat bisa mengabulkan keinginan hambanya yang sholih dalam waktu secepat-cepatnya, namun Allah masih menahannya karena ingin hambanya itu menyebut nama-Nya dan memanggil-Nya dalam doa-doa yang dia panjatkan”, maka, harapan kita semua, disaat kita sakit, kita termasuk hamba yang Allah cintai.

Terapi Avasin dan Kekuatan Ukhuwah

Dalam 30 hari waktu “istirahat” saya ini, saya mengalami 3 hari masa “tambahan” di rumah sakit. Bersebalahan dengan kakek dan para sesepuh yang mengalami berbagai macam penyakit yang tidak bisa saya bayangkan menjadi bumbu penyedap tersendiri. Selain itu, terapi Avasin yang saya jalani, menuntut saya untuk berbaur bersama bapak-bapak dan ibu-ibu dengan beragam penyakit yang luar biasa.

Namun, senyum mereka ketika saya diizinkan pulang dari rumah sakit atau selesai menjalani terapi, doa dan ucapan lekas sembuh yang mereka sampaikan kepada saya, menjadi keistimewaan tersendiri. Apakah mereka kenal saya? Tidak, sayapun tidak mengenal mereka. Namun sangat ringan doa tersebut mengalir, sangat mudah bantuan itu hadir diantara kami semua. Dan pada saat itulah ukhuwah itu muncul dan mengalir dengan nikmat.

Dari kekuatan ukhuwah itu juga menumbuhkan hal-hal lain yang saya bahkan sama sekali tidak menyangka. 10 tahun sudah saya tidak berdomisili di semarang, dan bisa dikatakan saya kurang begitu akrab dengan suasana dan kondisi di kota kelahiran saya. Namun, di waktu istirahat saya yang berharga ini, Allah berkesempatan menunjukkan kepada saya, betapa saya dicintai mereka, dan betapa saya harus mencintai mereka yang hidup di kota kelahiran saya ini.

Bantuan berupa doa, dan bantuan lain, kunjungan silaturrahim dari berbagai kalangan hingga doa yang khusus dipanjatkan bakda sholat shubuh membuat seorang Azzam berpikir. Siapa saya? Dan apa yang sudah saya lakukan selama ini? Bisakah saya membalas kebaikan yang mereka berikan kepada saya? Wallahu ‘Alam. Tapi kawan, waktu istirahat ini memang senantiasa menghadirkan kuasa Allah yang tidak main-main. Hikmah demi hikmah senantiasa Allah hadirkan untuk membuat diri kita kembali mengukur diri, sadar diri dengan posisi kita sebagai aktivis.

Yang terakhir, kepada siapapun anda yang membaca tulisan ini, penulis ingin menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya, karena bagaimanapun, permohonan maaf bisa menjadi wasilah penyembuhan. Kedua, penulis mohon doa, semoga Allah berkenan untuk mengambil penyakit yang tengah menjadi sarana “istirahat” bagi penulis. Dan terakhir, bagi teman-temanku sesame aktivis, apakah yang sudah kita siapkan di waktu “istirahat” kita?

Wallahu ‘Alam
Semarang, 02 February 2017

No comments:

Post a Comment