Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Wednesday, August 12, 2015

Tengah Malam






TENGAH MALAM
Based on My True Story

Dibilang manusia, jelas saya manusia. Dibilang hewan, mungkin iya karena fisik saya memang lebih besar dari manusia pada umumnya. Dibilang malaikat, ya mungkin, tapi saya tidak punya sayap, dibilang setan, bisa jadi. Soalnya saya gemar membisiki orang-orang. Ya bagaimanapun, di sudut Kota Semarang, di hutannya, lebih tepatnya di dekat hutan jati. Apa maksudnya, saya juga tidak tahu. Ya disitu saya lahir-lah. Lahir dengan sehat dan mantap. Tangisan saya cukup membuat tukang parkir puskesmas terkaget-kaget. Alhamdulillah saya terlahir di keluarga manusia. Jadi saya merasakan enaknya lahir di puskesmas, meskipun saya juga tidak tahu bedanya lahir di puskesmas sama di kebun. Tahulah, bayi-bayi yang dibuang itu kan biasanya dilahirkan di kebun.
Terlahir di keluarga biasa. Ketika saya lahir abi dan umi belum punya rumah. Ada sih, tempat bernaung, namanya gudang SMP 23 Semarang, kecamatan Mijen. Setidaknya tidak kebasahan disana. Tapi kalau mau jujur, sampai sekarang juga masih belum punya rumah. Betah ngontrak. Tau sendiri, Kota Semarang per-bata harga tanah sudah hampir 30.000 rupiah. Kalah sama Jakarta memang, tapi tetap sangat mahal. Bukan berasal dari keluarga kaya raya soalnya, alhamdulillah masih bisa makan sehari 2-3 kali pada waktu itu. Enak sekali, kalau boleh jujur. Karena meskipun rumah belum punya, tapi ada orang tua. Alhamdulillah.
Ketika masa pengabdian di SMP itu habis, tentunya harus pindah. Pindahnya di rumah nenek sepertinya, pokoknya sampai abi di wisuda alamat rumah masih di jalan tampomas, Kaligarang, Semarang. Disana saya mulai tahu abi dan umi bukan orang biasa. Masih ingat dulu abi jarang pulang, ngurusin DPD katanya. Entah DPD itu apa, tapi setau saya DPD itu ada di puncak bukit, di Ngesrep. Masa kecil dihabiskan sama umi. Itu juga tidak sering-sering amat. Umi dulu sering pergi siang baru kembali sore. Ngaji katanya. Tapi saya senang, waktu itu umi keceplosan. Katanya abi ikut pemilihan ketua DPD. Partai katanya. Partai, kalau saya lihat di televisi nenek, partai itu keren. Bisa membuat orang jadi presiden. Konon gitu katanya. Jadi saya marah dan menangis pas tahu abi kalah sama orang. Jadi sekretaris katanya. Katanya juga sekretaris keren, temenannya sama mesin ketik dan komputer. Saya nurut saja, dibilang begitu biar saya tidak marah lagi. Ya, masih ingat memori ini. Pas saya pertama kali kenal sama partai keadilan. Saya baru tahu pas tahun 1999, pas diajak ikut kampanye.
Dulu abi belum punya motor. Kemana-mana pakainya sepeda. Bahkan ke supermarket juga boncengan ber-empat. Saya, abi, umi sama qeis, adik saya. Ketika itu abi masih muda, kuat. Masih juga kuliah, wisudanya nanti sih. Masih gemar buat-buat patung, ada patung bikinan abi yang dipajang di lobi fakultas di UNNES. Entah sudah dicopot atau belum. Setelah abi wisuda, di suatu hari abi pulang bawa motor. Saya tanya, motor siapa bi? Abi bilang, motor orang. Nak , kamu pakai baju putih-putih ya, sama bawa bendera ini. Bendera itu lucu. Warna dasarnya putih, ada kotak hitam, bulan sabit emas sama garis emas juga. Nomornya 24 kalau tidak salah. Saya baru ingat, katanya ada pemilu. Kata umi, pemilu buat milih wakil rakyat. Dibonceng abi saya naik motor. Keliling semarang sambil membawa bendera putih itu, dikibar-kibarkan, abi mencet-mencet klakson. Kampanye katanya. Wah, hebat. Pas pulang sama amah-amah dan umi di mobil, di jembatan banjir kanal barat saya melihat pemancing dapat ikan. Subhanallah. Kata amah-amah itu. Saya juga bingung, tapi saya sadar, saya ini bagian dari mereka. Saya, manusia kecil yang masih polos. Tapi saya tahu, mereka orang baik.
Sejak taman kanak-kanak, saya sudah sekolah di ujung timur kota semarang. Jaraknya sekitar 10-15 km dari rumah nenek. Sangat jauh. Dulu pas TK saya ditemani umi dan tante saya. Saya pernah tanya, kok sekolahnya jauh sekali. Umi bilang, tidak apa-apa, TK nya bagus kok. Nama TK itu TK-IT harapan bunda. Tulisa IT itu yang membuat saya bingung. Baru tahu pas masuk SMP, bahwa tulisan IT itu bermakna sangat banyak. Ketika TK saya cengeng. Nangisan. Tapi, saya dikenal pintar. Suka menggambar. Pernah menang lomba menggambar sekota semarang, juara 3 sih. Yang mengadakan partai yang saya ceritakan di awal. Namanya partai keadilan kalau tidak salah. Lalu saya beranjak ke sekolah dasar.
Sekolah dasar saya sama, di SDIT harapan bunda. Saya tidak tahu kenapa masih melanjutkan sekolah disana. Kata umi, sekolahnya bagus. Padahal saya angkatan 3, dan gedungnya masih jadi satu sama PGPQ. Mana mungkin bagus. Tapi saya senang sekolah disana. Di awal kelas satu saya harus opname karena keracunan makanan. Jadi gagal rangking satu, padahal nilai saya sama seperti anak perempuan yang rangking satu. Pas kelas satu juga saya mengalami patah gigi. Sederhana, karena mainan bola, bola nya digani sandal di depan kelas dan saya jatuh. Di SD saya tidak pernah jauh-jauh dari 7 besar. Rangking saya peling jelek ya rangking 7 itu. Pas SD saya juga pindah rumah, tidak di sampangan tapi pindah ke bulu lor, semarang utara. Daerah banjir katanya. Tapi saya kebagian di daerah yang bebas banjir. Makannya harga tanah disana sangat mahal.
Waktu SD kenangannya banyak. Apalagi kenangan soal namanya liqo. Abi sering keluar malem-malem, hampir 3 kali sepekan. Ngaji katanya. Tapi pas saya naik kelas 5 saya mulai kenal kata-kata yang namanya liqo. Liqo itu ya ngaji itu. Pernah beberapa kali saya nimbrung. Di ruang tamu, masih ingat. Ada ami-ami (paman) muda disana. Masih segar-segar dan jomblo. Kata abi begitu. Mereka hebat, kuat melek sampai malem. Waktu saya kecil paling cuman ikut sampai jam setengah sembilan. Ngantuk soalnya. Abi cerita mereka kumpul malem-malem buat dakwah. Buat mengislamkan indonesia. begitu katanya. Jadi setiap kali ngumpul pasti tilawah dulu, ngaji al-qur’an. Abi juga suka langganan majalah yang aneh-aneh. Judulnya saksi sama sabili, isinya orang-orang hebat kata abi. Mereka ada yang di jakarta, mesir, Chechnya, Palestina, Afghanistan. Abi sama umi cerita, nama saya juga diambil dari nama mereka. Doktor Abdullah Azzam katanya, mujahid Afghanistan. Orangnya pintar, syahid kena ledakan bom. Saya baca biografinya, wah, saya orang keren, pikir saya. Minimal namanya keren.
Karena nama itu saya terobsesi. Saya harus pintar, saya pernah mau rangking satu tapi gagal. Saya harus bisa rangking satu. Waktu itu saya kelas lima, kata orang pola pikir saya sudah bukan pola pikir anak sd lagi. Ya gimana, saya baru kenal komik pas SD kelas 6. Sebelumnya bacaan saya ya majalah yang dibeli sama abi. Isinya Anis Mata, Syamil Basayev. Tidak kenal saya sama yang namanya donal bebek, apalagi naruto. Tapi saya sudah kenal Tsubasa dan Yugi Moutou. Saya kenal dari televisi, dan saya juga suka memainkan permainan duel monsternya. Saya paling kuat di RT. Nomer 5 dari 5 petarung. Saya juga belajar bahasa inggris dari game kartu itu, jadi saya disayang sama guru bahasa inggris saya kwtika SD. Beliau memuji, kamu anak SD tapi sudah seperti anak SMP katanya. Sebelum beliau pindah saya dikasih kenang-kenangan. Tentu saja saya rangking satu. 3 semester berturut-turut. Saya berprestasi, kata orang-orang. Umi bilang banyak orang tua yang berkata demikian. Umi bangga? Menurut saya tidak. Umi mengatakan kamu harus malu sama Allah, jangan sombong. Saya tidak tahu kenapa. Tapi, semenjak saya jadi orang pintar, teman-teman menjauhi saya. Tapi saya tidak peduli, saya pikir waktu itu, saya pintar juga karena usaha sendiri.
Beberapa kali saya berantem waktu SD. Saya memang punya sedikit teman, hanya 3 orang yang dekat dengan saya. Waktu itu saya benar-benar tidak peduli, masa bodo. Tapi itulah, saya hanya menjalani kehidupan saya waktu SD dengan penuh kebanggaan. Siapa menyangka, kalau saya tetap menjaga gaya hidup saya, mungkin saya tidak akan mengalami konflik sedemikian rumit yang membentuk saya yang sekarang. Mungkin ceritanya akan lain, entah makin baik atau buruk. Masa SD saya berakhir dengan gemilang, saya murid berprestasi ke tiga, satu-satunya laki-laki. Soalnya, yang lain perempuan semua. Inilah awal saya lepas dari dunia kebanggaan, dunia indivdualis, menuju dunia, yang mendidik saya dengan kelembutan yang memikat, juga membunuh.
Saya tidak pernah melihat sebuah sekolah, halaman belakangnya adalah gunung tinggi. Dingin, memang. Bahkan ada musim tertentu yang angin dinginnya membuat kulit bibir mengelupas, berdarah. Kulit tangan dan kaki bersisik. Sekolah saya yang baru. Saya sudah SMP. Saya dikeluarkan dari semarang, sejauh 325 kilometer dari kota kelahiran saya. Tidak apa-apa, sekolahnya bagus. Iya saya bilang. Bagus. Memiliki minimarket, dapur, kamar mandi yang banyak. Airnya juga dingin. Saya penghuni kamar pojok, tidak ada yang saya kenal. Isinya orang asing semua. Ada batak, ada jawa, ada sunda. Mereka itu sudah saling kenal. Saya menjadi orang aneh. Awalnya saya tidak peduli, tapi, saya belajar dari para batak, orang Medan yang punya harga diri tinggi.
Saya tidak punya teman ketika itu, saya sedikit terasing. Ditambah dengan pembawaan saya waktu SD, yang tidak peduli dengan lingkungan. Satu hari, dua hari, tiga hari, konflik. Berkelahi bahkan beberapa teman sering mencoret-coret lemari saya dengan kata-kata yang tidak pantas. Pukulan telak bagi saya. Puncaknya, salah satu dari para batak itu keluar dari pondok. Bia adalah orang yang pernah menampar saya ketika saya kelas 1 SMP. Jelas bahagia, bukannya sedih. Rasakan, kata saya. Tetapi, saya berpikir kembali waktu itu. Saya ini manusia macam apa? Teman kesusahan malah senang-senang. Teman? Apa itu teman? Saya biasa hidup dengan kesendirian dan kebanggaan saya. Tapi, ketika itu saya menyadari, saya membutuhkan teman. Dunia terlalu luas untuk kesendirian saya. Pergulatan saya yang pertama, dimenangkan dengan kalahnya ego pribadi saya. Tetapi, karena pergulatan ini juga, jalan hidup yang saya tempuh menjadi lain. Bahkan saya tidak menduga hal demikian.
Ketika kelas 3 saya berubah. Saya melupakan egoisme saya yang dulu. Saya mengutamakan, teman, teman dan teman. Karena dengan mereka saya kuat, dengan mereka saya bertahan dan hidup. Menjadi sumber jawaban ketika ujian, menjadi tempat curhat, berbagi cerita, melindungi ketika ada teman yang kabur dari pondok. Hingga puncaknya, teman-teman saya mulai memiliki pacar. Kelas 3 SMP, dan pacaran mereka seperti pria-wanita dewasa. Saya mendengan cerita mereka, saya ingin mencoba. Kata saya. Saya mencoba, dan berhasil. Saya memperoleh adik kelas saya waktu itu. Apa yang terjadi? Teman-teman angkatan mendengarkan saya, saya selalu dimintai pertimbangan untuk berbagai macam hal, pendapat saya senilai pendapat 25 orang, dan tentu saja, hubungan saya dengan si dia semakin rekat. Ah, indahnya hidup.
Puncak yang saya raih pada awal kelas 2 SMA, saya sudah cukup dewasa waktu itu. Ketika kelas satu saya menjadi salah satu jagoan angkatan, di bagian otak tentu saja. Ahli pada pelajaran ilmu hadits, sosial, bahasa inggris, dan fiqh. 4 mata pelajaran saya menjadi sumber rujukan. Menjadi tim lomba sekolah dalam berbagai mata kuliah. Mulai berkecimpung dalam dunia organisasi, dan tidak tanggung-tanggung, menjadi kepala bidang. Rangking akademik? Peringkat 2 dan 1 pada 2 semester. Baik mata kuliah umum maupun keagamaan. Pacar? Punya. Kenalan cewek? Melimpah ruah sampai bingung. Hingga tuhan memberikan saya kehendaknya. Kehendak disaat saya tenga berjaya. Saya makmur dan berpengaruh. Kehendak yang memutar kehidupan saya 180 derajat. Kehendak yang membuat saya menjadi seperti sekarang.
Berawal ketika mata pelajaran bahasa arab saya dipanggil pimpinan BK. Ternyata saya ketahuan berpacaran. Ah, sial, kata saya. Disidang selama 2 jam, hasilnya jari kelingking saya retak dan mental saya hancur. Prestasi yang saya sebutkan diatas, hilang tak berbekas. Saya berjanji tidak mengulangi lagi pak. Kata saya. Tidak, kamu tidak punya hak bersekolah lagi disini. Kamu tidak punya hak untuk bersekolah lagi disini. Sekolah di kaki gunung itu membuang saya. Lebih kejamnya lagi, hubungan pacaran yang saya lakukan, atas dasar suka sama suka semuanya dilimpahkan ke saya. Kesalahan itu saya yang menanggung, bahkan pacar saya “memiliki kesempatan untuk bersekolah lagi”. Padahal kontribusi saya untuk sekolah di kaki gunung itu jauh lebih besar dari pacar saya. Tapi apa dikata, saya hanya manusia biasa. Dia manusia hebat, ayahnya hebat dan besar. Sedangkan saya? Ayah saya hebat dan besar, tapi izzah beliau jauh lebih tinggi daripada harus mengemis pada sekolah di kaki gunung itu.
Saya mengakhiri catatan saya di sekolah itu dengan dendam. Saya merasa diperlakukan dengan tidak adil, bahkan, ketika saya diberitahu bahwa selama 2 semester kebelakang saya selalu eksis di peringkat 5 besar dari seluruh siswa-siswi seangkatan, jumlahnya 500 orang, saya menggumam, apa iya mereka melupakan prestasi itu?. Tetapi saya tidak peduli, dendam saya adalah dendam perbaikan. Dendam saya adalah dendam kualitas. Dendam saya adalah dendam pembuktian. Saya bersumpah begitu saya melangkah keluar dari sekolah itu, saya akan kembali sebagai raja, minimal, kamu akan saya kalahkan di pertemuan kita berikutnya. Itu janji saya, dan janji untuk membuktika siapa saya, siapa orang yang kamu buang.
Ayah saya berkata, kamu sudah cukup dengan perbuatan kamu? Kalau sudah, perbaiki diri kamu, bertanggung jawablah atas apa yang kamu lakukan. Menangis saya mendengar ayah berkata demikian. Bukan cacian, kemarahan, apalagi umpatan. Padahal perbuatan yang saya lakukan seperti mencoreng muka beliau dengan limbah. Bau dan berwarna pekat. Semangat itu yang saya bawa, ketika saya menginjakkan kaki di sudut kota budaya, kelahiran pak presiden kita. Di sekolah yang tidak jelas apa namanya, sekolah yang kecil, tidak ada apa-apanya dibanding sekolah di kaki gunung itu. Ini sekolah apa? Kata saya. Pasti saya mudah masuk, kata saya juga. Hasilnya? Nilai tes masuk saya hanya 5.0, dibawah standar minimal 7.5. karena perjuangan ayah saya, saya bisa melanjutkan sekolah, di sekolah terasing itu. Dengan status, murid yang tidak lulus tes masuk.
Di awal pembelajaran saya merenung, akan jadi apa saya di sekolah ini?. Belum lagi di awal, selama pekan pertama saya diminta untuk mengenalkan diri berkali-kali. Seperti dikerjai, bahkan kata seorang guru saya memang sedang dikerjai. Dengan dendam masih berkecamuk, kemerahan yang memuncak, saya terancam menjalani kehidupan remaja saya dengan kekacauan. Hingga akhirnya, sebuah motivasi sederhana muncul. Saya selalu mengatakan, dalam cerita saya ke orang-orang, seorang guru cantik membuat saya berubah. Betul memang guru cantik itu menjadi salah satu katalis perubahan saya. Tetapi bukan itu. Guru cantik itu memberikan saya “tantangan”. Tantangan bertarung dalam sebuah ujian. Dan saya berkata, cukup saya mengecewakan orang tua saya, akan saya buktikan, pasti. Hasilnya? Nilai 100 yang harusnya saya peroleh tidak bisa diterima oleh guru cantik itu hanya karena dia tidak terima anak pindahan bisa menaklukan pelajaran dia dengan nilai sempurna!. Menyusul mata pelajaran lain, akuntansi, matematika, bahasa inggris, geografi. Semuanya nilai sempurna. Bahkan, tanpa ditunjang nilai UTS, nilai semester saya mencapai 8.1, rendah memang. Tapi cukup menandai siapa saya. Saya messias kata teman-teman saya. Saya tidak peduli saya messias atau siapa. Saya hanya ingin membuktikan, inilah saya.
Tantangan dan katalis kedua muncul dari seorang guru. Guru sejarah dengan segudang cerita. Mantan peman dan pengamen katanya. Mengajak saya, ayo halaqah sama saya. Dibawa saya dengan sepeda motor bersama teman-teman, ke rumah beliau. Sederhana rumahnya, suguhannya pun sederhana. Indomie tanpa micin. Micin tidak bagus, kata beliau. Mengalirlah apa itu ukhuwah, apa itu dakwah, apa itu pengorbanan, kepercayaan. Saya terkejut ketika guru itu berkata, semua yang beliau sampaikan sudah saya peroleh sejak saya sekolah dulu, sebelum saya pindah. Apa iya? Setau saya dulu tidak seperti ini. Dulu hanya ada game online, tidak ada ukhuwah. Hanya ada chatting dan senioritas tanpa adanya pengorbanan. Saya merasa mati rasa, apa iya hal seperti ini dulu sudah saya peroleh?. Saya merenung, iya, sudah pernah ada yang menyampaikan hal seperti itu, tetapi, saya memiliki dunia saya, dan saya tidak peduli terhadap semua itu. Setelah itu saya menyadari, saya telah berada dalam komunitas yang sebaik-baiknya komunitas. Saya berjanji, saya akan bertahan dan berjuang disini.
Berikutnya saya berpindah murobi yang lain. Murobi yang luar biasa, mantan orang kaya. Beliau bercerita sebenarnya beliau memiliki profesi lain yang memberi lebih banyak benefit dibandingkan dengan guru. Tetapi, beliau memilih surga dengan menjadi guru. Mengalirlah apa itu pengorbanan, perjuangan, motivasi dan penanaman tujuan hakiki, tujuan Allah SWT. Saya, manusia biasa semakin merasa kerdil. Manusia macam apa saya dulu? Membuang segapa yang diberikan Allah bahkan menganggap hal tersebut, prestasi saya, karena jerih payah saya sendiri. Bagaimana rendahnya tujuan saya, tujuan membahagiakan seseorang yang menurut saya saya cintai. Saya terhenyak, ah, saya salah, saya perlu bergerak. Saya masih tidak bisa melupakan 2 murobi saya. Orang biasa mereka, tanpa gelar LC atau apapun yang ada kaitannya dengan timur tengah. Dengan bahasa arab yang jauh dari baik. Pemahaman fiqh yang belum komprehensif. Tapi, semua yang mereka berikan cukup untuk membuat saya memyadari, saya salah.
Kesalahan coba saya perbaiki. Meminimalkan ego, tanpa menjual semua yang saya yakini. Tujuan tunggal, Allah, dengan segala jalan yang ada. Bekerja dengan cerdas, tanpa menafikan permohonan orang lain. Akhirnya, masa-masa SMA saya berubah, dan menuju pada akhirnya. Memperoleh 5 dari 6 penghargaan saat wisuda SMA menjadi bukti akademik, dan bukti lain yang coba saya hadirkan, bahwa manusia biasa ini masih ada, masih eksis. Membina 4 orang murid junior, menghasilkan seorang ketua OSIS, ketua rohis, PHT OSIS dan penggiat musik rock satu jari menjadi bukti yang lain. Manusia biasa ini bisa masih bisa melahirkan orang lain yang mungkin bermanfaat. Ah, Allah memang luar biasa.
Saat ini, manusia biasa ini menatap harapan baru yang ditimpakan kepadanya. Manusia biasa ini memasuki tahapan perguruan tinggi, di kota yang sama dengan dia memulai lompatan jauhnya. Dihadapkan pada masalah kompleks, dengan teman yang berbeda, mereka yang memiliki egoisme lebih ganas dibanding teman SMA. Ah, saya tidak peduli. Saya meyakini Allah selalu memberi apa yang dibutuhkan hambanya. Maka, saya, manusia biasa ini akan memulai langkahnya. Melakukan lompatan yang lebih jauh, dengan masa lalu yang telah membentuk saya, saya meyakini, ada rencana indah dari Allah untuk saya. Ketika malam semakin pekat, pertanda fajar segera menyingsing. Saya adalah tengah malam, bukan fajar. Tapi, saya meyakini dan berusaha, saya akan membawa fajar itu, apapun caranya.
Hanya Allah yang Maha Tahu.
Fin.

Abudora Azzamu

Muhammad Abdullah 'Azzam
Mahasiswa S1 Manajemen FEB Universitas Sebelas Maret Surakarta

No comments:

Post a Comment