Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

LightBlog
Responsive Ads Here

Monday, May 29, 2017

Ramadhan dan Kesejahteraan Sosial



Sumber : google.com
Ramadhan dan Kesejahteraan Sosial

Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam

Tulisan ini akan dimulai dengan sebuah cerita. Penulis memiliki seorang teman, dengan mobil mini-van yang setiap hari dia gunakan, jelas dia bukan berasal dari “kalangan biasa”. Kedua orang tua dengan bisnis lumayan, kepemilikan sebuah sekolah dan yayasan sosial, jelas menunjukkan dia dari kalangan berada. Ditambah dandanannya setiap hari, meskipun terkesan biasa, namun merek-merek seperti Rip Curl, Alisan, Le’vis, dan Calvin Klein jelas diatas rata-rata pakaian mahasiswa kebanyakan. Begitulah, sosok “pangeran” dalam artian sesungguhnya. Kalau mau gaet sana sini tinggal gaet saja sana sini, selesai. Keren kan?

Tetapi sesuatu berbeda terjadi saat ramadhan. Dengan latar belakang seperti itu, sangat mungkin dia setiap hari memakan Pizza Hut full course untuk sahur dan berbuka. Tetapi, entah berapa kali dia dengan penulis lebih sering menghabiskan waktu di masjid kampus. Mengikuti kajian dan memakan takjil yang disediakan panitia. Lebih lucu lagi ketika dia membawa beberapa kardus nasi ayam dan dibagikan ke orang-orang yang beruntung. “Memperbaiki amalan” begitu katanya. Penulis memang tidak mengetahui kehidupan pribadinya mendalam, tetapi saat ramadhan sang pangeran benar-benar berubah, berubah dari sebuah pandangan umum soal pangeran, menjadi sosok pangeran di negeri dongeng.

Cerita diatas menunjukkan sesuatu yang berhasil dibentuk dan mungkin hanya bisa ditemukan di bulan ramadhan. Dalam kalkulasi ekonomi, kenapa teman penulis bisa melakukan “seperti itu”, mungkin jatah makan per-harinya benar-benar tereduksi banyak karena Ramadhan. Dengan tidak adanya makan siang dan jajan-jajan siang-sore, tentu didukung kapasitas finansial dia, mungkin akumulasi dari “anggaran tidak terpakai” itu bisa dimanfaatkan untuk berbagi bahagia kepada lebih banyak orang. Penulis sendiri pernah berhitung kalau dalam satu hari berpuasa, penulis bisa menyisihkan satu bungkus nasi, tentu, melihat kemampuan finansial penulis. 

Maka, ibadah puasa benar-benar memberikan “suatu dampak sosial” dari ekonomi yang egois. Saat puasa manusia diminta Allah SWT (yang muslim) untuk lebih mengutamakan kebutuhan dibandingkan dengan keinginan. Dan aturan dalam ibadah puasa memungkinkan manusia untuk lebih fokus dalam memenuhi kebutuhan daripada sekadar memuaskan keinginan. Coba, tentu setiap dari kita berkeinginan memakan semua makanan saat buka puasa, namun ternyata dengan meminum segelas air putih saat berbuka, kita sudah cukup memiliki tenaga untuk sholat maghrib. Ditambah beberapa makanan seperti kurma atau roti, kadang kita sudah cukup “kenyang” untuk menghabiskan porsi nasi.

Pembagian dan pemenuhukan antara kebutuhan dan keinginan menjadi dasar jika berbicara masalah ekonomi. Ekonomi menjelaskan bahwa keinginan manusia, jelas tidak terbatas, sedangkan kenyataan kebutuhan manusia memang terus berkembang, tapi dia terbatas seperti keinginan. Bisa jadi manusia ingin memakan Pizza, Hamburger, Stik Kentang, Daging Panggang dan Ayam Krispi, tetapi kemampuan perutnya mungkin hanya cukup untuk Pizza saja. Begitulah kira-kira gambaran perbedaan kebutuhan dan keinginan.

Kondisi masing-masing manusia mamu mendefinisikan kebutuhannya, tetapi apapun kondisinya setiap manusia memiliki banyak keinginan yang hampir sama. Penulis yang tengah dirawat karena cedera di syaraf tulang belakang memerlukan bantuan kruk untuk berjalan. Tetapi, tentu penulis menginginkan rumah mewah, kendaraan baru, telepon seluler baru dan istri cantik seperti kebanyakan orang, yang mungkin mereka tidak membutuhkan kruk untuk berjalan.

Kemampuan mendefinisikan kebutuhan dan keinginan banyak dijadikan landasan untuk mengukur kesuksesan seseorang. Mark Zuckenberg bisa jadi tidak memakai baju gemerlap, bahkan rumornya dia menggunakan Honda Jazz saja untuk kendaraan sehari-hari. Bayangkan dengan seorang Syahrini, saat pembukaan karoke saja dia membuat barisan Lamborghini. Tetapi, fakta membuktikan asset kekayaan Zuckenberg seorang mampu memenuhi sepertiga dari sepertiga PDB Indonesia, menarik bukan?

Beberapa fakta soal kebutuhan dan keinginan, dimana kedua hal ini adalah dasar dari perekonomian menunjukkan suatu fakta menarik. Jika kita berbicara soal keinginan, dunia dan seisinya tidak akan mampu memuaskan manusia, didukung dengan teori bahkan manusia memiliki nilai kepuasan tidak terbatas. Namun, jika kita berbicara konteks kebutuhan, seorang manusia mampu secara riil memberikan manfaat dan dampak kepada pribadi dan lingkungan disekitarnya. Masalahnya, tidak banyak orang berpikir demikian, apalagi masyarakat dunia ketiga. Hiburan dan tayangan televise ataupun media lain soal “kehidupan ideal” benar-benar memburamkan realitas bahwa kebutuhan tidak sama dengan keinginan.

Jika berbicara soal kesejahteraan sosial, tentu kita tidak bisa menudingkan jari telunjuk kepada pemerintah saja. Kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab bersama negara dan seisinya, bahkan dalam aturan perundang-undangan membiarkan seseorang kelaparan di satu wilayah bisa dikenakan hukuman denda. Tidak mungkin proyeksi anggaran pendapatan dan belanja yang hanya sekitar 2000 trilyun cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Itulah alasannya, kenapa negara tidak menyediakan segalanya untuk rakyat, rakyat diberikan hak untuk menyediakan dan saling memenuhi kebutuhan dan keinginannya tentu didalam koridor peraturan yang berlaku.

Artinya, sebenarnya kewajiban moral dan sosial sebagai manusia adalah bersama berusaha mewujudkan kesejahteraan sosial. Manusia disebut sejahtera, setidaknya jika kebutuhan dasarnya berupa sandang, pangan dan papan terpenuhi (berdasarkan definisi ekonomi). Menjadi masalah jika kita melibatkan dan merubah keinginan kita menjadi kebutuhan, maka masalah kesejahteraan sosial tidak mungkin diwujudkan. Dengan demikian, dibutuhkan sarana dan produk sosial untuk melatih masyarakat untuk dapat tegas membagi kebutuhan dan keinginannya.

Beberapa negara berusaha melakukan rekayasa sosial untuk mewujudkan hal diatas. Beberapa contohnya bisa kita lihat, misalkan kebijakan pengelolaan produk bekas di Amerika Serikat dan pengelolaan program-program sosial secara komunal di Inggris. Tetapi, sejak 14 abad lalu, Ummat Islam dengan bimbingan dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW telah berhasil menciptakan sebuah rekayasa sosial bersifat massif, berlevel global, dan terstruktur bahkan didetailkan untuk urusan reward dan punishment.

Ya, ramadhan dengan segala macam ibadah didalamnya menjadi sebuah rekayasa sosial untuk mengajarkan manusia khususnya ummat islam untuk lebih bijaksana dalam mengelola kebutuhan dan keinginan. Dibatasinya hal-hal berkaitan dengan keinginan (hawa nafsu) benar-benar memberikan ruang kepada manusia untuk fokus pada kebutuhannya (fitrahnya). Dengan fokus pada kebutuhan, akan lebih banyak anggaran-anggaran berkaitan dengan keinginan, atau boleh jika kita berbicara sumber daya, yang bisa kita sisakan untuk dibagi kepada orang lain. Setidaknya selama satu bulan penuh, kita bisa memilah betul mana kebutuhan dan mana keingnan, dan jika kita memiliki kesempatan kita bisa membantu memenuhi kebutuhan orang lain. Seperti teman penulis di awal cerita tadi.

Dengan adanya reward dan punishment di bulan ramadhan, semua orang memiliki alasan untuk berbuat baik terutama kepada lingkungannya. Budaya jaburan, budaya bersih-bersih kampung sebelum ramadhan, hingga sadranan menjadi bukti bahwa selama ramadhan, orang berlomba-lomba menyambut dan melaksanakannya dengan berusaha berbuat baik kepada orang lain. Bayangkan, pahala dilipatkan hingga 70 derajat, dan dengan memberikan buka kepada orang lain anda memperoleh pahala sama dengan orang yang anda bantu tanpa mengurangi pahalanya dan pahala anda barang sedikitpun.

Konsep pahala memang tidak bisa jika dikaitkan pada kehidupan dunia, karena semua itu berkaitan dengan hal-hal ghaib. Tapi jika kita berbicara konteks kesejahteraan sosial, bukankah menyenangkan jika mengetahui tetangga disekitar anda mampu menikmati makan malam yang layak dari donasi anda. Selain itu, dengan adanya zakat-zakat dan sedekah sepanjang bulan ramadhan, semakin banyak dana-dana sosial tersebar di masyarakat. Dengan pengelolaan tertentu, cita-cita mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat bisa menjadi nyata. Silahkan tanya lembaga-lembaga zakat professional untuk penjelasan lebih detail.

Memang betul selama ramadhan terjadi inflasi, bahkan tidak jarang kelangkaan produk-produk tertentu. Ketika kita kesampingkan kebutuhan pengusaha atas inflasi dan permainan nakal tengkulak dan sejenisnya, kita bisa sedikit bersyukur. Mengapa? Inflasi saat bulan ramadhan penyebab utamanya adalah peningkatan permintaan, artinya, pada bulan ini masyarakat mengalami peningkatan daya beli signifikan secara perkapita. Kabar bagus untuk ekonomi? Jelas, karena mengikuti konsep kapitalisme yang (mungkin) sedang kita anut, inflasi itu bagus untuk ekonomi.

Sumber : google.com
Jadi, coba kita rangkai semuanya menjadi satu. Pada bulan ramadhan manusia diarahkan oleh Allah SWT untuk dapat membagi keinginan dan kebutuhannya. Kemudian, selama bulan ramadhan dengan adanya imbalan menggiurkan, manusia berlomba-lomba berbuat kebaikan. Dengan adanya kelebihan anggaran dengan tereduksinya anggaran keinginan, manusia bisa lebih mampu membantu orang. Ditambah sarana tambahan seperti zakat, sedekah dan sarana kultural seperti budaya jaburan, manusia memperoleh kemudahan untuk turut menyejahterakan orang lain. Menarik bukan? Ramadhan secara langsung memberikan dampak pada kesejahteraan sosial, ya meskipun hanya satu bulan.

Pemaparan diatas memberikan sebuah gambaran jelas. Ada sebuah sarana sosial yang mampu memperbaiki kesejahteraan sosial masyarakat secara lengkap. Lebih istimewa lagi sarana sosial itu adalah produk dari ajaran agama. Sarana ini selama satu bulan memberikan kesempatan kepada manusia untuk belajar sepuasnya dan memberikan kemanfaatan lebih luas kepada masyarakat. Sarana ini, telah memiliki aturan jelas tertulis bahkan hingga level reward dan punishment. 

Bagaimana? Menarik bukan? Dalam ritual keagamaan Islam mengajarkan banyak hal, bahkan mampu menyentuh semua aspek dalam masyarakat. Tentu Islam tidak hanya meminta ummatnya baik untuk bulan ramadhan saja. Ada aturan keras soal menjadi hamba ramadhan dalam islam, tentu dengan imbalan tidak menyenangkan. Jadi, jika kita ambil sebuah kesimpulan “kembali seutuhnya dan melaksanakan ketentuan agama mendekatkan kita pada kesejahteraan sosial” bukankah akan menjadi sesuatu yang menarik? Ya, Allah SWT pun juga sudah menjamin tidak akan ada ruginya jika kita berbisnis dengan-Nya.

Selamat menjalankan ibadah di Bulan Ramadhan, bisnis yang tidak ada ruginya. Dan selamat, dengan izin Allah SWT anda terlibat dalam mewujudkan impian bernama kesejahteraan sosial. Cuman satu bulan aja? Kayaknya jangan deh ya.

Wallahu ‘Alam


Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6





Tulisan ini juga sudah dimuat di selasar.com, untuk membaca bisa klik pranala dibawah ini
https://www.selasar.com/jurnal/35871/Ramadhan-dan-Kesejahteraan-Sosial

Untuk artikel menarik lain, bisa klik pranala dibawah ini

http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/menemukan-kembali-islam-indonesia.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/indonesia-1945-dwitunggal-dan-kehendak.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/perempuan-dan-peradaban.html


Thank you for support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya 

No comments:

Post a Comment