Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Tuesday, February 9, 2021

Avoidable Death

 

Sumber : https://www.instagram.com/p/CK_0hGKHTBW/

 

 Avoidable Death

 

Oleh : Muhammad Abdullah ‘Azzam

Sejatinya alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sudah memiliki system yang hampir sempurna, untuk memperbaiki kerusakan yang timbul atasnya. Lihat saja bagaimana hutan terbakar bisa kembali hijau, dalam waktu tertentu. Manusia disini memiliki pilihan, pilihannya adalah menganggu system perbaikan yang hampir sempurna itu, atau turut mendukung dengan cara “memudahkan” alam menjalankankan sistemnya – seorang netizen di YouTube, Pemegang Gelar Magoister dalam bidang Agrikultur.

 

Indonesia dirundung duka, baru saja tahun 2021 dimulai, berbagai bencana dengan beragam caliber menghantam pertiwi. Secara merata, dari Sabang sampai Merauke berceceran berbagai macam bencana, mulai dari tingkat local, hingga bencana massif yang memperoleh perhatian nasional. Baru rabu pekan kemarin salah satu kolega penulis, dihantam oleh angin putting beliung, merusak atap rumah, dan di RT tempat kolega penulis tinggal terdapat 3 rumah lainnya rusak berat. Belum lagi ditambah masih belum selesainya urusan pandemi. Gambaran awal tahun 2021 seolah seperti tahun 2020 namun ditambah dengan rentetan bencana alam dimana-mana.

 

Mulai muncul pertanyaan, inikah cara alam untuk mulai mengikis dan perlahan mengusir atau memusnahkan manusia dari muka bumi?

 

Jika kita menilik pada sejarah kehidupan di bumi ini, bumi ini sudah berumur sangat tua. Namun kehidupan manusia, belum sampai setua itu. Yang disebut peradaban manusia (civilization) yang beranjak dari era purbakala, baru dimulai sekitar 6.000 tahun yang lalu. Jika dibandingkan dengan lamanya dinosaurus atau reptil raksasa di era Permian berkuasa, masa hidup spesies bernama manusia sangatlah singkat. Dari sejarah kita juga menyaksikan, tidak peduli seberapa lama, seberapa kuat, dan seberapa banyak spesies mahluk hidup ada di dunia, alam selalu memiliki waktu bagi masing-masing mereka, dan tercatat alam sudah beberapa kali “memusnahkan” sebagian besar dari kehidupan itu,

 

Sebut saja episode kepunahan paling massif dimana 95% kehidupan di muka bumi musnah sepenuhnya setelah zaman Parem. Atau momen ketika es mulai mencair di akhir zaman es dan membawa akhir bagi spesies mamalia raksasa seperti Mammoth dan Macan Gigi Pedang. Tentu juga kita semua familiar dengan episode musnahnya dinosaurus, sebuah meteor menghantam bumi dan mengakhiri era kejayaan dinosaurus.

 

Alam sudah memiliki mekanisme, dan setiap mahluk hidup memiliki momen sendiri sendiri. Namun kesemuanya memiliki kesamaan, mahluk-mahluk hidup tadi memang musnah, tetapi mereka musnah setelah mengalami masa hidup spesies yang sangat panjang di muka bumi ini. Sayangnya bagi manusia, sepertinya spesies satu ini ingin cepat-cepat musnah, karena pada kenyataannya, tidak perlu menunggu denting jarum jam kemusnahan milik alam raya, secara sukarela kita menciptakan sebuah kondisi dimana dalam waktu yang jauh lebih cepat dari seharusnya, manusia bisa musnah.

 

Semua dimulai dari sebuah fakta bahwa manusia membutuhkan energy. Energy ini memiliki beragam bentuk. Dalam membuat tubuh manusia bisa terus bergerak, manusia membutuhkan asupan pangan dan air, demi memfasilitasi kehidupan yang layak manusia juga perlu sandang dan papan. Sekarang hal-hal tadi bisa manusia peroleh dengan mudah, bahkan hanya sekedar mampir ke minimarket di depan rumah manusia memerlukan energy untuk menyalakan kendaraan bermotor atau kendaraan listriknya.

 

Energi ini tidak hadir secara ajaib, perlu usaha untuk mendapatkan, menangkap, mengelola bahkan memakainya. Di zaman purba manusia dengan segala keterbatasannya mampu mengambil berbagai energy secara terbatas, dengan menggunakan usaha-usaha yang ramah lingkungan. Api dinyalakan dengan friksi, air digunakan scukupnya untuk hidup dan bercocok tanam. Namun memang di zaman purbakala, leluhur kita tidak bisa mengekstraksi energy dari alam semaksimal mungkin, sehingga mereka hidup dalam kondisi yang sangat terbatas dan mungkin primitive.

 

Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, dan dimulai dari era revolusi industry dengan tenaga uapnya, secara eksponensial manusia mampu memproduksi energy dengan jumlah melimpah. Hal ini berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi manusia, dimana saat ini, di tengah revolusi industry ke-empat (digitalisasi), manusia telah menembus angka 7 milyar populasi. Ratusan kali lebih banyak dari populasi harimau, dan karena saking banyaknya keberadaan manusia menghabiskan populasi Burung Dodo dan puluhan spesies lain yang punah akibat ulah manusia.

 

Saat ini manusia sudah menjadi raja dunia. Binatang dan spesies lain berada dalam posisi mengharap belas kasihan manusia, termasuk spesies manusia itu sendiri.

Saat ini bagaimana dunia ini berputar, sangat tergantung kepada maunya manusia. Saat ini juga bisa kita saksikan, bahwa perkembangan teknologi memberikan sebuah kondisi bahwa bagaimana sangat tidak ramah lingkungan cara-cara kita mengekstrak energy dari alam. Akhirnya saat ini, manusia memiliki sebuah pilihan. Mereka bisa memilih untuk mengambil energy dari alam, dengan cara ramah lingkungan, atau sebaliknya.

 

Kembalinya Amerika Serikat kepada perjanjian Paris membawa sebuah gambaran yang nyata, perbedaan antara negara maju dan berkembang. Mayoritas negara maju telah berada pada kesadaran mereka harus memiliki sumber-sumber energy ramah lingkungan. Namun dengan perilaku hipokrit dari petinggi pemerintahan di negara maju, mereka masih lebih dari ingin untuk mengambil sumber daya seperti minyak, batubara, dan gas alam dari negara-negara berkembang, tentu dengan “caranya”. Tentu saja, penduduk di negara berkembang “mau turut membantu” asalkan harganya cocok.

 

Fakta ini menjadi tamparan keras bahwa wajar jika orang kebanyakan sangat skeptic memandang kampanye sumber energy terbarukan dan sejenisnya. Karena pada akhirnya terdapat jejak-jejak kotor negara-negara maju pada masalah di negara berkembang, dan negara berkembang sendiri jelas ingin agar negaranya maju dengan sumber daya alamnya. Akhirnya energy berkelanjutan hanya menjadi dongeng, karena semua ini hanya menjadi mainan mereka yang berkuasa.

 

Bagaimana mungkin penggunaan limbah plastic bisa berkurang, jika solusinya adalah membuat tas belanja daro bahan polyester dengan harga yang orang berpenghasilan tinggi dapat membelinya berulang kali? Sampah plastic hanya menjadi salah satu dari sekian ironi, dimana manusia benar-benar ingin sekali bergegas menghabisi umur spesiesnya sendiri.

 

maka sejatinya, kematian yang timbul karena bencana alam yang ada kaitannya dengan bagaimana manusia bisa mengekstrak energy dari alam sebenarnya masuk kedalam kategori avoidable death, kematian yang dapat dihindarkan. Korban bencana alam ini berada dalam bracket yang sama dengan para perokok, orang yang kebut-kebutan tanpa menggunakan helm, dan orang tua gila yang menceburkan anak balita ke kolam renang sedalam 3 meter.

 

Ironi ini menjadi lebih pahit karena mereka yang terdampak paling pertama, adalah mereka yang bahkan tidak bisa menikmati ekses energy yang dikeruk oleh orang berkuasa. Sangat tidak mungkin orang kaya lagi berkuasa, membangun perumahan di dekat pusat industry, atau di pinggir pelabuhan, atau di bantaran sungai. Mereka memiliki uang berlebih untuk dapat membangun suite dan villa, jauh diatas pegunungan.

 

Tidak berlebihan jika banyak LSM-LSM lingkungan yang menyamakan perilaku merusak alam dengan tindakan pembunuhan. Karena dampak dari perilaku ini bisa dirasakan secara berkepanjangan, dan sangat sulit untuk kembali memperbaikinya. Akhirnya setelah bencana benar-benar terjadi, para pembunuh ini etok-etok memberikan simpati lewat rumah-rumah mewahnya, menyiarkan himbauan apapun bentuknya lewat stasiun televise mereka, dan lebih parahnya lagi, seolah menyalahkan orang kebanyakan atas bencana yang menimpa mereka.

 

Inilah wujud nyata dari kemunafikan, dan gambaran semacam ini gamblang terlihat di Indonesia.

 

Tetapi mungkin, bisa jadi memang cara semacam inilah yang dipilih manusia untuk mengakhiri kehidupan dan peradabannya. Sangat bisa manusia benar-benar sudah lelah dengan segala bentuk kemunafikan, dan mereka ingin agar pengadilan Tuhan yang Maha Esa segera digelar. Karena mereka yang dzalim betul-betuil sakti di dunia ini, mereka memiliki kuasa yang bahkan bisa menginjak-injak harkat dan martabat manusia lainnya. Bisa jadi juga, berbagai bencana ini memang sebuah unavoidable death, kematian yang pasti. Karena alam sudah betul-betul marah, berkas tuntutan mereka lengkap, dan akan mereka bawa guna menghajar para pemegang kuasa, yang hanya memikirkan diri mereka sendiri.

 

Wallahu ‘Alam. 

 

 

Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.



For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6

Untuk tulisan lain berkaitan dengan manajemen, silahkan kunjungi pranala dibawah ini

follow me on insta @Azzam_Abdul4 
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya

 

No comments:

Post a Comment