Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Monday, December 14, 2020

Tentang Kehalalan Rezeki

 

Sumber Gambar : Karya Pribadi, Menggunakan Stronghold Crusader Scenario Editor


Tentang Kehalalan Rezeki

 

Tulisan yang sekali lagi bertentangan dengan apa yang saya pelajari

 

Tulisan ini berawal dari sebuah percakapan di sebuah grup WA. Cerita tentang seorang Ustadz di sebuah kota di Jawa Tengah, yang mana beliau telah memperoleh gelar Lc,MA (setara sarjana dan magister mungkin). Beliau jelas menjadi ustadz, mengisi kajian dan majelis ta’lim di berbagai tempat. Namun untuk memberi nafkah keluarganya beliau memilih berjualan bakso kerikil, atau  pentol bakso keliling, yang berarti bahwa pertama, beliau tidak memungut biaya dari dakwahnya dan kedua, dengan gelar akademis yang beliau miliki, pilihan profesi semacam ini jelas terbilang aneh.

 

Keanehan ini yang dapat disaksikan pada respon di grup WA tersebut dimana beberapa orang mempertanyakan, buat apa gelar sarjana kalau ujung-ujungnya hanya jualan pentol bakso, keliling pula. Sebagai praktisi di sektor bisnis dan mempelajari fokus studi manajemen sumber daya manusia baik di masa S1 atau saat ini di studi S2, pertanyaan “kenapa” jelas sebuah understatement.  Dalam kepala saya terngiang dan muncul pertanyaan “what the hell are you doing?!” dan menilik pada teori yang sudah saya pelajari pertanyaan yang saya lontarkan ini wajar karena pengorbanan yang ustadz tersebut tempuh dalam memperoleh gelar sarjana dan mungkin magisternya jelas tidak sedikit.

 

Dalam teori manajemen sumber daya manusia, setiap individu memiliki set of skill, kemampuan. Yang berasal dari proses pembelajaran maupun pengalaman, hal ini lah dasar dalam menentukan mereka cocok bekerja pada posisi dan grade apa. Seorang lulusan akuntansi, sarjana, jelas tidak bisa diposisikan di tempat yang sama dengan lulusan teknis mesin misalkan. Set of skill nya berbeda.

 

Maka melihat fenomena seorang Ustadz, pemuka agama dengan gelar sarjana dan bahkan mungkin master, set of skill yang beliau miliki jelas jauh diatas berjualan pentol bakso keliling dari kampung ke kampung. Modin di KUA, penasehat syariat di perbankan syariah, set of skill yang telah beliau miliki setidaknya sangat sangat capable untuk dapat mengisi pos-pos demikian di perusahaan ternama. Apalagi dengan semakin deras nya tren ekonomi syariah (diluar perbankan syariah) membuat kebutuhan akan orang-orang seperti beliau sangat tinggi. Kalau tidak percaya, perusahaan yang saya terlibat didalmnya saja memiliki plan untuk merekrut orang dengan kualifikasi demikian mungkin 1 atau 2 tahun lagi.

Ini adalah sudut pandang yang dilontarkan saat sebuah fenomena, berupa sarjana yang memilih sebuah pekerjaan yang bisa dilakukan siapa saja sebagai sumber penghidupan. Maka respon seperti, apa ya tidak sedih dosen-dosen kalau tahu anak didiknya hanya jualan pentol, menjadi mafhum dan dapat diterima. Karena memang untuk mendapatkan penghidupan yang layak menjadi syarat minimal kenapa orang mengambil jenjang pendidikan lebih tinggi. Tentu hal ini diluar tri dharma perguruan tinggi. Inilah kenapa tulisan ini, bertentangan dengan apa yang saya pelajari, it shouldn’t go that way!.

 

Tetapi jika kita melihat perspektif lain berupa kehalalan rezeki, meungkin diri kita sendiri yang tersengat oleh adanya fenome semacam ini.

 

Sebelum saya berbicara soal ini, saya akan meyampaikan bahwa walaupun pekerjaan si ustadz bersahaja kalau boleh dibilang, tetapi beliau tidak berhenti dalam menyampaikan ilmu yang sudah dipelajari. Berbagai kajian dan majelis ta’lim sudah beliau isi. Artinya proees transfer of knowledge tetap terjadi, dan mungkin ada orang yang akhirnya tercerahkan setelah mengikuti kajian yang dibuat oleh si ustadz. Lalu perlu saya ingatkan disini, ustadz tersebut tidak memungut biaya barang sepeserpun untuk ilmu pengetahuan yang telah beliau bagikan. Artinya apa? Gelar sarjana beliau tidak mangkrak begitu saja! Ada ratusan penerima manfaat dari ilmu beliau dan para penerima manfaat ini memperoleh ilmu secara gratis, dan perlu saya ingatkan, ilmu ini berasal dari individu yang qualified untuk menyampaikannya.

 

Namun tidak sepeserpun beliau mengambil dari proses ini dan jelas pertanyaan itu masih membekas bagi saya sendiri. Maksud saya, bahkan dalam lembaga pendidikan formal tetap ada “transaksi” finansial disana loh. Inilah saatnya kita melihat konteksi kehalalan rezeki.

 

Dalam pandangan ummat islam, rezeki halal nan thayib adalah yang terbaik. Rezeki semacam ini setidaknya membantu peningkatan kualitas ibadah, setidaknya menjamin kualitas bagi tumbuh kembang anak dan keluarga. Semakin barokah rezeki, semakin bagus dampaknya bagi kelangsungan hidup keluarga baik di dunia maupun di akhirat.

 

Lalu yang kedua, setiap usaha-usaha yang dilakukan untuk memperoleh rezeki yang halal dan thayyib ini akan bernilai ibadah dan sangat Allah sukai. Laki-laki itu Allah nilai dari usaha nya yang semacam ini, usaha menafkahi diri dan keluarganya dengan rezeki yang halal dan thayyib. Tantangan memperoleh rezeki semacam ini jelas tidak sederhana, karena jika kita masukkan konsep ini kedalam tatanan masyarakat, segala macam tantangan itu akan terlihat terang, seterang matahari di siang bolong.

Pertama, dalam struktur masyarakat indikator “rezeki” adalah di faktor kuantitas, dan material. Rumah bagus, mobil keren, pundi-pundi rupiah di bank angka “0” dibelakangnya banyak. Sangat berkaitan dengan posisi individu di masyarakat dan bagaimana masyarakat merespon keberadaan individu tersebut. Kedua, sebuah prinsip ekonomi sederhana bahwa ada sesuatu yang disebut “high risk high return”, sesuatu yang memiliki resiko besar biasanya memiliki imbal balik yang besar. Ambil contoh saja profesi tukang parkir, bedanya, yang satu tukang parkir di pinggir jalan yang satu operator menara pengendali udara. Tupoksi nya sama, sama-sama memastikan sesuatu bisa “parkir” dengan aman. Bedanya, yang satu adalah kendaraan roda 2, empat, dan mungkin bus, lainnya adalah pesawat terbang.

 

Tanpa perlu dijelaskan, dari analogi profesi tukang parkir tadi sudah jelas mana yang membawa take home pay secara kuantitatif lebih banyak. Dan jauh lebih jelas lagi, siapa yang mengorbankan sesuatu lebih banyak untuk profesinya. Seorang tukang parkir di Solo misalkan, hanya perlu mendaftarkan diri ke DLLAJ atau pengelola lahan parkir, mengikuti training selama 2 atau 3 bulan di DLLAJ atau KORLANTAS terdekat untuk memperoleh lisensi tukang parkir. Berangkat dari rumah jam 9 pagi sampai jam 4 sore, memastikan semua kendaraan terparkir rapi, lalu pulang atau nongkrong. Hanya tuhan yang tahu apa yang dikorbankan orang-orang di menara pengendali udara itu untuk bisa memperoleh pekerjaannya saat ini.

 

Jika ditarik konteks ini, maka bisa jadi pak ustadz ini memang memperlakukan dunia sebagai sesuatu yang sifatnya low risk. Resiko rendah. Banyak hal-hal di dunia yang mungkin sudah tidak menarik mata beliau, inilah kenapa akhirnya beliau menerapkan pendekatan high risk high return ini untuk persiapan akhiratnya. Ini adalah penjelasan yang belum tentu benar, tetapi sebagai ummat muslim, akhirat itu memang bisa diperoleh kalau kita banyak memberi, and this is true (inilah alasan kenapa para sahabat dan shahabiyah Nabi Muhammad SAW menjadi generasi terbaik dalam islam. Mereka memberi banyak sekali untuk islam) dalam kasus pak ustadz ini dengan membagi gratis ilmunya pada mereka yang membutuhkan, tanpa ambil sepeserpun. Plus sebuah usaha, agar diri dan keluarganya bisa memperoleh rezki halal dan tahyyib yang cukup, tanpa harus merusak investasi akhiratnya dengan cara berjualan bakso kerikil keliling.

 

Sampai detik ini dan saya menulis ini, saya masih geleng-geleng kepala. Kok bisa ada manusia semacam ini?

 

Karena pada umumnya kita selalu meminta sesuatu di dunia jerih payah dari usaha kita, atau lebih gila lagi, berusaha sedikit tapi di dunia imbal baliknya banyak. Inilah alasan kenapa bisnis model MLM dengan struktur Phonzi Game (Skema Piramid) masih laku karena inilah insting dasar manusia. Gimana caranya bisa punya banyak harta, sehingga bisa kemudian ongkang-ongkang kaki. Santai. Kalau kata para investor uangnya beranak sendiri, uangnya bekerja untuk kita.

 

Pandangan ini sangat wajar dan mungkin juga penulis termasuk yang mengamini, karena bagaimanapun kalau kita bicara struktur sosial di masyarakat, mereka yang memiliki kuasa atas harta, tahta, dan manusia merekalah yang disembah. Merekalah yang ditinggikan oleh para manusia. Dalam kasus beberapa motivator bernafaskan agama, diselipkan kata-kata “semoga dengan harta kita yang banyak, kita bisa banyak infaq dan Allah meridhai kita. Setiap muslim harus kaya!” atau sesuatu semacam ini dan ya secara logika inilah yang seharusnya, atau inilah yang sering kita kira “seharusnya” terjadi.

 

Tetapi jika kita melihat, individu-individu yang memiliki sifat wara’, sangat berhati-hati dalam bersikap terhadap dunia, mungkin tidak ada salahnya juga kita menumbuhkan sudut pandang kedua.

 

Bagaimana kalau ada seorang individu yang memang sudah berada di luar sistem yang dibangun manusia? Mereka bisa memberi tanpa harus merampas, menjarah dan bahkan hanya memiliki. Mereka bisa hadir membawa surga di hadapan manusia, dengan nilai-nilai ketaatan, dengan nilai-nilai kemuliaan tanpa harus membuat orang lain gemuk dan takjub dengan megahnya sajian, pesta-pesta, pernak-pernik dunia. Bagaimana jika ada orang-orang yang sudah jauh dari sistem manusia, sehingga aspek kehidupannya baik kesehatan, pendidikan, dan rezeki semua langsung ikut sistem dari Allah, sistem yang Allah SWT berikan kepada mereka-mereka yang sudah Allah SWT ridhai karena taqwanya, karena keshalihannya.

 

Mereka yang sudah jauh, jauh diatas pandangan kemewahan dunia karena mereka bisa menemukan kenikmatan dalam sujud. Mereka yang tetap bisa gagah berdiri di hadapan Allah karena tetap keluar mencari rezeki, dan diridhai karena rezeki yang diperoleh jauh dari yang syubhat apalagi yang haram. Mereka yang mencintai keluarga, mereka yang membangun keluarga yang cintanya diserahkan sepenuhnya kepada Allah, dunia hanya sarana, dan hanya sarana. Sesuatu, yang kekuatan pikir penulis tidak bisa terjangkau, sesuatu yang jauh dari logika dan angka, tetapi memiliki keuntungan yang pasti belipat ganda, bahkan sampai 700 kali lipat.

 

Sesuatu yang mungkin wallahu ‘alam, apakah penulis sudah miliki barang sebersit cita. Karena bagaimanapun sampai saat ini penulis masih memiliki keinginan kuat, menjadi akademisi, memiliki buku yang terbit di penerbit ternama, diakui masyarakat dari prestasi dan pencapaian. Yang Wallahu ‘alam ada berapa banyak “mencari ridho Allah” yang menjadi niatan utama. Bukan sorak sorai atau tepuk tangan khalayak, apalagi jumlah likes dan follow di Instagram.

 

Maka untuk menutup tulisan ini, pada masa-masa akhir kehidupan Nabi Muhammad SAW, terdapat sebuah gawe akbar, Perang Tabuk dimana pasukan islam merengsek pertama kali kedalam teritori Byzantium. Seorang Usman bin Affan, dengan kekayaan hartanya memicu decak kagum para sahabat bahkan pujian dari Rasulullah karena sumbangan nya yang besar, 1000 bahkan lebih dari 1000 hewan tunggangan beserta perlengkapan milter untuk pasukan muslimin. Tetapi tetap tidak lupa, bahwa di tengah hingar blngar itu terdapat seorang Hudzaifah, pergi menuju tempat penduduk Madinah membuang biji-biji kurma, mengumpulkannya, dan dengannya dia berkata “dengan ini aku akan berangkat ke Tabuk!”.

 

Jika kita belum mampu menjadi seorang Usman, semoga Allah memberi kita kekuatan menjadi seorang Hudzaifah, tetap semangat menjawab seruan dari Allah dengan segala yang kita miliki. Kalau kita sudah menjadi seorang Usman, perlu diingat bahwa harta Usman tidak ditimbun menjadi mansion, mobil mewah, dan sejenisnya. Ada porsi luar biasa besar beliau keluarkan untuk dakwah islam. Dan paling penting, baik Usman ataupun Hudzaifah, sama sama berangkat menuju medan laga, sama sama menjawab seruan Allah, dengan penuh takzim ketaatan, dan bersama memberikan yang terbaik untuk Allah dan agama-Nya.

 

Wallahu ‘alam


Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.



For further information contact me in felloloffee@gmail.com or skripsiazzam@gmail.com
Alumni Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6

Untuk tulisan lain berkaitan dengan manajemen, silahkan kunjungi pranala dibawah ini

kunjungi juga profil selasar saya di : https://www.selasar.com/author/abdullah/
Atau kalau mampir di Kompasiana : https://www.kompasiana.com/azzamabdullah
Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya 

No comments:

Post a Comment