Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Monday, October 23, 2017

Kualitas dari Penelitian Kualitatif


Sumber : https://konseling.bpkpenaburjakarta.or.id


Kualitas dari Penelitian Kualitatif

Review jurnal Clive Seale, 1999

Pendahuluan

Banyak usaha telah dilakukan untuk oleh para metodologis selama bertahun-tahun untuk memberikan beberapa pedoman kepada peneliti kualitatif untuk memperbaiki atau menilai kualitas dari penelitian kualitatif. Kualitas dari penelitian kualitatif mencuat bersamaan dengan umum dipergunakannya kata seperti validitas dan reliabilitas, yang berasal dari budaya penelitian saintifik, dalam hal kuantitatif. Kemudian, tekanan akan kualitas ini akhirnya dirasakan oleh komunitas peneliti kualitatif.

Kondisi ini membawa dampak lain. Biarkan ribuan bunga tumbuh, kata orang-orang. Namun saat ini peneliti berhadapan dengan banyak konflik kontroversial, dan dampaknya bisa jadi berupa penyematan nama buruk pada metodologi. Dalam bagian ini, penulis memandang perlu dilakukan kembali proses redefinisi mulai dari aspek filosofis untuk berbicara lebih banyak di era 90-an ini.

Filosofi sering digamparkan sebagai fondasi dasar dari dari karya penelitian sosial. Metode menguji benar atau salah datang dan pergi, namun peneliti hari ini terjebak pada paradok menjadikan aspek non-fundamental sebagai aspek fundamental. Peneliti harus melepaskan diri dari hal itu, untuk kemudian bisa mendefinisikan kembali inti dari penelitian kualitatif dan bersifat otonom daripada penelitian sosial secara umum. 

Penulis juga akan paparkan beberapa rangkuman dari kunci-kunci perubahan dalam hal kriteriologi. Tujuannya untuk meredam perdebatan lebih luas tentang penelitian sosial. Tentu hal ini juga mejadi cerita bagaimana penulis mencapai kesimpulan demikian. 

Kriteriologi

Kualitatif menciptakan mitologi, dalam era modern dari penyelidikan kualitatif, penekanan perbedaan dengan melebihkan gambaran kontras dengan “positifisme”  yang seharusnya ada pada penelitian kuantitaif. Dalam perdebatan, memasukan konteks baru seperti validitas dan reliabilitas yang dijadikan pertimbangan dalam melakukan interpretasi, dengan menafikkan bahwa semua peneliti sosial memiliki kesamaan tujuan dalam penelitian. 

Kriteriologis kualitatif, sejak LeCompte dan Goetz secara progresif berpindah dari komitmen moderenis, memimpin konsepsi bahwa validitas dan reliabilitas dipindahkan sangat jauh dari pemahaman positif atau perpektif realis, sebagaimana era konstruktifisme bergeser menuju era paska modern. Urgensi menentukan kriteria, tumbuh dari sini.

Perkembang-biakan konsep kriterilogi dari penelitian kualitatif merefleksikan para kesulitan para metodologis menentukan pengukuran kualitas dari penelitian kualitatif. Berbeda jauh dengan metodologis dari tradisi penelitian kuantitatif, dimana ditemukan banyak kesamaan dalam pembentukan gagasan mengenai kualitas sebuah penelitian. Kondisi penelitian kualitatif memang sedikit berbeda. Dengan adanya kontradiksi, ya dibutuhkan sebuah standar, namun standar tersebut bisa jadi menghambat kreatifitas, eksplorasi, fleksibilitas konseptual dan kebebasan berpikir. 

Lincoln dan Guba (1985) berargumen bahwa pembangunan laporan yang dapat dipercaya terdapat bentuk tradisional dari isu reliabilitas dan validitas. Nilai kebenaran, aplikabilitas, netralitas dan konsistensi menjadi apa yang disebut modernis sebagai alat untuk mengukur 2 hal tersebut. Lincoln dan Guba (1985) juga menawarkan gagasan mereka soal 4 poin natural dari report tersebut. yaitu nilai kebenaran, transferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas dengan auditing. Penelitian mereka (Lincoln dan Guba (1985,1994) mengajukan kembali proposal tentang keautentikan. 

Sayangnya, sebagaimana penulis diatas dan peneliti lain pada metode kualitatif menghadapi kritik yang sama dalam pandangan kriteria positif dan alternative interpretasi. Dalam keadaan frustasi, mencuatlah relatifisme sebagai salah satu pandangan dari konstruktifisme. Perdebadatan ini, tentu menjadi sumber pemecahan masalah, jika kita melihat konteks yang lebih filosofis. 

Momen Filosofis 

Dalam tataran filosofis, diskusi mengenai masalah dari fondasi pengetahuan tidak pernah mencapai sebuah kesimpulan. Akan tetapi, posisi filosofis seringkali waktu diklaim sebagai salah satu “fondasi” untuk praktik penilitian bagi para kategoriologis. 

Contoh yang diajukan penulis adalah “subtle realist” , sebuah simpulan dari Hammersley (1992). Realism halus melibatkan pengelolaan sudut pandang bahasa sebagai kedua aspek, baik untuk menciptakan dunia baru, atau merekonstruksi dunia lama. Pandangan dari realism halus ini melibatkan sebuah posisi berkebalikan dengan pandangan konstruktifis murni, dimana tidak mungkin kita mengetahui dunia diluar jangkauan bahasa kita. 

Sebagai inti dari advokasi realism halus terletak sebuah ide bahwa seluruh peneliti telah bersepakat akan gagasan standar penentuan hal masuk akal, kredibilitas dan relevansi dari laporan. Membedakan klaim dari bukti, menyediakan bukti lebih kuat untuk klaim lebih penting, dan mengekspos anggapan dari peneliti kepada khalayak dengan mencermati semua metode, untuk memunculkan kritik dari pihak lain. 

Perkembangan ketertarikan dari konsepsi riset pos-modern, political dan konstruktifis didasarkan pada beberapa ketidakpuasan dasar dari cara pandangan saintifik. Kualitas  penting dalam riset kualitatif, namun pandangan tentang reliabilitas dan validitas hanya terlihat sudah tidak sesuai untuk mencakup luasan isu dimana fokus pada kualitas harus ditingkatan. Masalah dari kualitas seringkali muncul karena beban filosofis dan metodologis yang dibawa peneliti. Namun, kualitas dari penelitian kualitatif yang baik muncul dari penerapan aspek filosofis da metodologis juga (Lather,1993). 

Gagasan dari pada komunitas peneliti kritis-diri (Self-critical research community) bekerja bersama untuk mewujudkan pengetahuan positif untuk sebuah manfaat untuk memelihara para peneliti, menarik perhatian para peneliti. Keinginan untuk terus terlibat dalam pembangun, diskusi dan berbagi anggapan untuk membuat standar penilaian kualitas penelitian masih terus terjadi. Untuk lebih detail mungkin bisa merujuk pada Selae, (1999). 

Triangulasi : Studi Kasus dari Kemampuan Berkarya

Untuk mengilustrasikan pendekatan untuk praktik riset yang memotong langsung perbedaan pendapat tidak berkesimpulan dalam hal metodologi, adalah dengan memelihara bahwa penelitian pada dasarnya hanyalah seni berkarya. Triangulasi mendeskripsikan beberapa teknik yang muncul secara bersama dengan paradigm realis kasar. Beberapa metodologis sudah menerima hal ini sebagai salah satu pandangan logis, dan paling penting adalah bagaimana mengklaim kemampuan berkarya yang berharga  ini yang relative otonom dari posisi paradigm manapun. 

Triangulasi ini muncul dari rangkaian diskusi dengan metodologis kuantitatif, dalam menemukan metode pengukuran validitas yang mereka bekerja pada realitas kasar dan asumsi empiric. Triangulasi yang digunakan dalam metode ini diasumsikan sebagai satu realitas tetap yang dapat diketahui secara objektif dengan menggunakan beragam metode dari riset sosial (Blaikie, 1991). Beberapa merasa teknik ini tidak akan bisa dijalankan dengan pandangan lain (seperti positifis) namun pardigma yang dibangun tidak lain adalah komitmen untuk membuat satu buah versi nyata,

Triangulasi mengalami perdebatan termasuk dalam paradigm manakah dia? Beberapa ahli seperti Bloor’s (1997) mengklaim bahwa triangulasi termasuk bagian dari paradigm realisme halus. Sedangkan Silverman (1993) menyatakan bahwa triangulasi dibangun atas dasar paradigm konstruktifis. Tetapi dalam Seale (1999), dijelaskan bahwa triangulasi bekerja sebagai material untuk mendiskursus studi analitis, dengan demikian memperbaiki koherensi dan keberbuahan, mensugesti bahwa triangulasi bisa digunakan dalam pekerjaan yang dekat dengan postculturalist, apabila tidak terlihat seperti paradigm paska modern. 

Tidak begitu sulit untuk meyakinkan kerja triangulasi data untuk  meningkatkan kualitas riset yang didasarkan pada aspek political. Dimana dampak pencerahan dan emansipatoris, diperkaya dengan pendatangan beragam perspektif, konstruksi, atau fenomena. 

Kesimpulan

Penulisan metodologis memiliki kegunaan bagi peneliti sosial yang mencari okupasi karya, dalam setiap bagian seringkali diperoleh dari pengalaman dalam bekerja, melalui percobaan, trial and error, atau pengalaman dibandingkan dengan mempelajari secara umum metodologi umumnya. Diskusi metodologis jika dipikirkan betul-betul bisa menjadi sarana peningkatan tingkat kepekaan atas kebutuhan tentang aspek metodologis. 

Dalam tulisan ini penulis coba menyajikan gambaran tentang kondisi serta klaim-klaim kurang tepat dari orang-orang tentang beragam pandangan. Namun dalam hal ini, penulis menekankan senantiasa ada harga yang harus dibayar disana. Penulis menekankan untuk setidaknya kita bisa menemukan dan memformulasi gagasan kita sendiri terkait metodologi dari pada sekadar menelan informasi yang tidak terkonfirmasi. Jika memang belum bisa, tiada masalah jika kita melakukan konfirmasi ulang sebagaimana yang penulis lakukan di dalam jurnal.

Terakhir, triangulasi menjadi salah satu metode yang dapat digunakan untuk menjadi penentu kualitas dari sebuah penelitian kualitatif. Meningkatkan aspek koheren dengan memasukan informasi beragam sumber dalam lingkup sama, menjadi salah satu metode, untuk menunjukkan dan memperkaya kualitas penelitian kualitatif. 


Muhammad Abdullah 'Azzam, Bachelor Students of Management Study, Faculty of Economy and Business, Sebelas Maret University, Surakarta.
For further information contact me in felloloffee@gmail.com or azzamabdullah@student.uns.ac.id
Penerima Manfaat Beasiswa Aktifis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 6


Untuk artikel menarik lainnya silahkan kunjungi pranala dibawah ini
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/10/dimensi-anteseden-dan-konsekuensi.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/10/kekuatan-pasar-permintaan-dan-penawaran.html

Thanks for your support!
Follow dan Komen untuk artikel-artikel menarik lainya  

No comments:

Post a Comment