Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Saturday, June 3, 2017

Hikayat Santren : Dul dan Santriwati





Dul dan Santriwati

Disclaimer : cerita ini bukan cerita romance! Saat ini Dul hanyalah seorang santri kelas 1 Mts!

Pernah nonton Gundam tak? Bukan seed destiny tapi Gundam Zero, seri gundam (mungkin) paling keren meskipun animasinya agak gimana. Ane suka banget seri itu karena ada Mobile Suit yang ngebawa sabit kematian, ha ha ha. Nah, di Gundam Zero diceritakan konflik berkepanjangan antara bumi dan koloni, hakikatnya mereka sama-sama manusia, cuman karena beda lokasi, terjadilah perang berkepanjangan yang membuat kehancuran besar baik di koloni maupun di bumi. Nah, endingnya keren banget, tokoh utamanya dengan gundam bersayap malaikat membawa semacam meriam raksasa dan menghancurkan semacam bungker yang memenjara putri bumi (kayaknya putri bumi ini adik atau pacarnya tokoh utama) pokoknya epic banget deh!

Nah, cerita hari ini ngga ada hubungannya sama gundam-gundam tadi, mending ente lihat aja animenya. Tetapi, di PPNK memang ada 2 dunia yang jauh berbeda, meskipun penghuninya sama-sama manusia. Dua dunia itu adalah dunia para santri laki-laki (santriwan) dan dunia santri perempuan (santriwati). Dua dunia berbeda ini dipisahkan oleh batas teritori mutlak, yang resiko jika melanggar teritori tadi sangat berbahaya, mungkin ente bisa dikeluarkan dari PPNK. Satu-satunya penghubung antara dua dunia ini adalah information center (cek disini : http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html), tetapi keberadaan santriwati banyak mempengaruhi kehidupan di PPNK terutama para santrinya.

Pertama, batas teritori antra santri dan santriwati tidak seperti DMZ nya Korea Utara, tidak ada ladang ranjau diantara kita. Selain itu, perbatasan ini tidak berjarak ratusan meter, ya hanya sekitar 50an meter lah. Ditambah lagi, dalam beberapa kesempatan sering santri dan santriwati dipertemukan secara sengaja, upacara pembukaan PPNK misalnya (baca lagi disini: http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/hikayat-santren-3.html  ). Maka, meskipun secara kasat mata kehidupan mereka berdua terpisah, tapi tetap ada tautan dan ikatan diantra santri dan santriwati (huahahaha), dimana kami masih bisa saling pandang, meskipun dari kejauhan (opo banget).

Nah, dampak dari adanya santriwati ini cukup besar. Dampak pertama, jelas para santri masih kenal spesies manusia bernama perempuan di dalam pondok. Beberapa pondok pesantren khusus pria, misalkan dalam cerita Negeri 5 Menara, mereka harus bersepada keluar pondok dulu biar bisa kenal dan tahu sosok perempuan (ngenes banget ya), tapi disini kami cukup mandi, berpakaian yang rapih dan nongkrong di koperasi pondok, kita bisa melihat santriwati, haha. Karena itu, semua candaan setengah mirip sama homo di edisi sebelumnya, sebenarnya nggak lebih dari bromance aja, karena fitrah kami santri PPNK masih pada trek yang tepat. Terimakasih kepada santriwati. 

Kedua, keberadaan santriwan dan santriwati pada lokasi yang sama, memunculkan dampak kedua, reuni besar-besaran kelurga di satu sekolah. Bayangkan, misal kamu memiliki 6 orang saudara, selang-seling laki-laki dan perempuan. Maka di PPNK kamu bisa reuni akbar dengan kakakmu yang kelas 3 MA, kakak perempuan mu yang jadi pengurus OSNK di kelas 2 MA, kakak perempuan sekaligus junior di 1 MA. Sedangkan kamu mungkin di kelas 3 Mts laki-laki harus menjaga kedua adikmu di kelas 2 Mts dan 1 Mts. Coba, kalau dalam satu waktu si kakak tertua memanggil kalian semua, lupakanlah itu kehidupan pondok, karena kamu bersama keluarga besarmu hidup bersama di pondok.

Btw ane mempuanyai teman yang ceritanya sama, di masing-masing tingkat selalu ada kakaknya. Kehidupan dia di pondok bener-bener nyaman. Pertama dilindungi abangnya dari segala tindak pembulian, kedua bisa menikmati makanan mewah yang dijual khusus di kantin milik santriwati hadiah dari kakak-kakak perempuannya. Sedangkan ane? Karena sendirian di PPNK kehidupan ane persis jomblo ngenes menahun. 

Maka, PPNK adalah tempat yang sangat pas untuk membuat dinasti dan menyamankan hidup anak-anak anda. So, tunggu apalagi? Daftarkan putra-putri anda menjadi santri baru PPNK 2017-2018! Eh emang sekolahnya ada beneran? Haha, nggak lah ya.

Kedua, bagaimana kami para santri laki-laki memanggil para santriwati. Jelas kami ngga bisa manggil mereka santriwati, karena 2 alasan. Pertama, menyebut santriwati secara terang-terangan artinya 4 kali sabetan rotan di hari biasa dan 12 kali sabetan rotan di pekan bahasa. Karena santriwati adalah bahasa Indonesia, dan di PPNK haram memakai bahasa Indonesia. Kedua, posisi kita para santri laki-laki dengan para santriwati setara, jadi nggak etis kalau santri manggil santri (loh). Maka, demi kemaslahatan bersama, mereka (santriwati) memanggil kami “ikhwan” dan kami (santri) memanggil mereka “akhwat”.

Kata “ikhwan” dan “akhwat” berasal dari Bahasa Arab yang artinya saudara laki-laki (ikhwan) dan saudara perempuan (akhwat). Kenapa tidak memakai bahasa inggris? Karena bahasa inggris kurang keren kalau dijadikan panggilan, serta kasihan orang-orang jawa, nanti lidahnya bisa keselo (brother and sister, can you spell that right?) maka, setiap ada kejadian di PPNK lebih umum jika menggunakan panggilan tadi. Misalkan kayak begini

Di suatu malam, ane dan teman ane baru aja keluar dari perpus. Kami ngga baca buku kok, cuman baca Koran. Seorang ustadzah menghampiri kami, dan cerita kalau motornya mogok.
Saling pandang, ane dan teman ane menatap ragu karena motor beliau terparkir tepat didalam teritori santriwati. Dengan jaminan perlindungan dari ustadzah tadi, kami-pun melangkahkan kaki memasuki teritori terlarang tadi.

“Ikhwan, ini tolong dicoba dulu, saya tidak tahu kenapa kok motornya mogok”
Temen ane yang emang expert soal nyoba ngotak-ngatik motor tadi. Dan, motornya entah kenapa malah jadi ngga bisa nyala sama sekali.
Dengan cengiran ngeles, kami berdua hanya bisa bilang “Maaf, ustadzah mungkin besok dipanggil orang bengkel aja”

Mungkin beliau juga tahu kalau kami payah, dengan tersenyum paksa beliau meminta kami melakukan sesuatu diluar dugaan.
“Yasudah, kalian berdua tolong dong motornya masukin ke asrama akhwat”

HE! Kami berdiri di depan pusat informasi akhwat saja sudah geli-geli-asik gimana, ini malah kita diminta masuk ke tempat-seperti-surga-bagi-lelaki. Kami saling bertatapan dan memastikan sekali lagi.

“Ustadzah, ini beneran kita boleh masuk ke asrama akhwat?” dengan polosnya ane tanya begitu, karena seumur-umur (nggak juga sih, ini baru bulan ke 2 ane di PPNK) ane diijinkan masuk ke dunia terlarang.
“Kalian ini jangan mikir yang nggak-nggak. Kalian cuman naruh motor terus pergi” ustadzah itu seperti setengah nyengir jijik melihat kelakuan ane. Akhirnya ane dan temen ane saling bantu, ane ndorong, dia narik, karena jalan masuk ke asrama akhwat sangat sempit dan curam. Kemiringan jalannya sekitar 50 derajat.

Dengan usaha keras, akhirnya itu motor berhasil masuk ke asrama akhwat. Kami sudah tenang karena kami cuman masuk di gerbangnya saja, setelah men-yetandar-kan motor tadi kami bersiap pergi.
“Eh tunggu, Ikhwan, jangan ditaruh disitu, masukin ke dalem sini” ustadzah tadi memanggil kami dengan suara agak kencang, well, karena kencang akhirnya akhwat-akhwat kalong mulai bangun dan melihat apa yang terjadi. Gile.

Akhirnya kami kembali saling dorong, masuk kedalam asrama akhwat yang dari luar terlihat “bersih” (btw ilustrasi yang akhwat ane ambil dari pandangan pertama asrama akhwat). Segera kami men-yetandar-kan motor, berbalik, dan ngibrit. Sayup-sayup kami dengan ustadzah tadi teriak “Syukrrooon ikhwan” (artinya terima kasih) dan akhwat-akhwat kalong tadi bisik-bisik sambil cengar-cengir “eh itu ada ikhwan, hi..hi..hi ikhwan” atau semacam itulah.

Nah, semacam itulah penggunaan kata-kata ikhwan dalam kehidupan sehari-hari di PPNK, dan cerita singkat ane berinteraksi pertama kalinya dengan dunia santriwati, eh salah, akhwat.  Intinya cukup luar biasa kan, jadi santri baru dan langsung masuk ke asrama akhwat tanpa kena poin. Oya, endingnya ane dan temen ane jadi temen sedikit akrab habis itu.

Ketiga, meskipun sangat jarang ikhwan sama akhwat ketemu langsung, tapi entah kenapa setiap kali ikhwan mau lewat wilayah akhwat atau sebaliknya, mereka selalu memakai pakaian terbaik. Maka, insiden ane pas ditelpon orang tua ane (baca disini: http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html ) sangat haram dan langka. Bahkan beberapa orang teman ane bela-bela in pinjem baju atau kaos temennya yang keren, tentu, buat tampil kece pas lewat teritori akhwat. Begitu juga akhwat, kalau mereka emang agak ribet.

Sebenarnya, di PPNK seragam akhwat dan ikhwan itu sangat membosankan, dan seharusnya seragam tadi jadi pakaian saat ingin lewat teritori masing-masing. Seragam tadi adalah seragam hijau, hitam putih, dan pramuka. Kalau ikhwan celana hitam kemeja putih, akhwat jubah hitam jilbab putih. Ikhwan kemeja hijau, celana hijau, akhwat jubah hijau jilbab putih. Ikhwan baju pramuka celana coklat, akhwat, eh seragam pramukanya kayak gimana ya?

Nah, jenis seragam hitam dan hijau tadi membuat masing-masing ikhwan dan akhwat kena sial. Seragam hijau membuat ikhwan digelari es cendol atau lumut (hijau-hijau) sedangkan seragam hitam membat akhwat digelari tai cecak (iya kan? Hitam dengan sedikit aksen putih). Intinya, seragam PPNK sangat-tidak-bisa-dipakai-bergaya. Akhirnya peraturan seragam tadi hanya angin lalu. 

Ikhwan dalam sehari-hari ketika lewat wilayah akhwat starter-pack nya adalah sarung keren atau celana panjang rapih, dipadu dengan kaos distro. Sedangkan akhwat jubah rob*ani segala model (dari yang kayak lampu lalu lintas hingga permen karet) dan jilbab rob*ani, tentu, se imut-imutnya model. Ya ane waktu itu juga ngga tau manfaatnya apa, tapi ya gitu. Intinya menjaga diri agar tidak digosipkan lawan jenis sebenarnya gagasan yang bagus.

Keempat, meskipun kita tahu sosok akhwat seperti apa, tapi sangat-sangat jarang masing-masing tahu nama. Kecuali mereka yang punya dinasti sih, kalau yang punya dinasti itu namanya curang. Akhirnya, beberapa ikhwan sedikit sinting (dalam hal ini teman ane) memiliki ide gila dengan mencuri lembar absensi akhwat di kantor TU. Percaya atau nggak, mereka betul-betul melakukannya. Ane sebenarnya ngga tau manfaatnya apa, tapi mereka bener-bener ngambilin begituan, beberapa ada yang ditempel di lemari, beberapa ada yang disimpan di tengah buku pelajaran. 

Tetapi, dengan mengkombinasikan modal informasi dari absensi tadi, ditambah informasi riil dari pemilik dinasti, nama-nama tadi entah kenapa betul-betul terwujud jadi wajah dan karakteristik! Gila kan? Misal seorang akhwat bernama A, dengan mudahnya ikhwan-ikhwan somplak ini menggambarkan muka dan kelakuannya seperti apa, padahal ketemu aja nggak pernah! Boro-boro ketemu, lihat orangnya ada mustahil. Oya, perlu diingat juga, di 2007 internet belum populer dan akses kita kesana belum ada sama sekali.

Selain informasi dari pemilik dinasti, ikhwan bisa tahu akhwat dari sebuah buku legendaris bernama buku kenangan sekolah dasar atau sekolah menengah pertama (buat anak-anak kelas persiapan SMA). Keren kan? Sejak masih bayi kita belajar bagaimana caranya menembus iron curtain, ya, dunia akhwat alias santriwati memang mustahil kami tembus, persis seperti iron curtain nya Uni Soviet. Kecuali bagi pemilik dinasti atau ikhwan beruntung macam ane dan temen ane.

Tapi bagaimanapun, dunia itu turut membentuk karakter dan mewarnai kehidupan kami. Ya cukup menyenangkan rasanya bisa meraba-raba dan belajar untuk tumbuh, tentu dengan gaya dan cara masing-masing. Karena ane rasa itulah pentingnya dan alasan kenapa ane diletakkan orang tua ane di PPNK ini. Nggak tau deh, ane tutup novel Ketika C*nta Bertasbih ane, dan bersiap untuk tidur. Ya mungkin begini lebih baik kali ya? Meraba-raba dan belajar. Tanpa sadar ane sudah terbang ke alam mimpi nun jauh disana.

……………………………………………

“Wah bentar lagi kamu bakal jadi santri di PPNK Nad. Siap-siap sana, abang dan kakak-kakak mu juga disana sih, jadi ibu yakin kamu bakal cepat terbiasa”

Seorang ibu bercakap dengan anak perempuan-nya di sebuah kota di Indonesia. Si anak terlihat setengah tidak peduli, sambil tetap membaca novel di tangannya. Na-Di-Ra, begitu identitas yang tertulis di novel tadi. Menanggapi percakapan sang ibu, Nadira hanya tersenyum dan kembali melanjutkan kalimat-kalimat di novelnya.

Selepas sang ibu keluar dari kamar, dia menutup novel-nya dan melemparkan pandangan-nya jauh keluar jendela. Cahaya bulan terlihat menerangi horizon sejauh dia memandang. Berjalan perlahan Nadira menuju jendela, meletakkan jemarinya di kaca jendela. “dingin” gumamnya, mungkin akan lebih dingin lagi nanti di PPNK. Nadira hanya tersenyum kembali, meletakkan bukunya di rak dan berjalan ke kasur.

“Aku tidak tahu” mungkin begitu gumamnya. Tapi sebentar lagi menjadi santri PPNK sepertinya gagasan yang menarik. Iya kan?

-Continued


Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com

Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini :
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-dan-kamar-mandi.html

No comments:

Post a Comment