Dul dan Santriwati
Disclaimer : cerita ini bukan
cerita romance! Saat ini Dul hanyalah seorang santri kelas 1 Mts!
Pernah nonton Gundam tak? Bukan
seed destiny tapi Gundam Zero, seri gundam (mungkin) paling keren meskipun
animasinya agak gimana. Ane suka banget seri itu karena ada Mobile Suit yang
ngebawa sabit kematian, ha ha ha. Nah, di Gundam Zero diceritakan konflik
berkepanjangan antara bumi dan koloni, hakikatnya mereka sama-sama manusia,
cuman karena beda lokasi, terjadilah perang berkepanjangan yang membuat
kehancuran besar baik di koloni maupun di bumi. Nah, endingnya keren banget,
tokoh utamanya dengan gundam bersayap malaikat membawa semacam meriam raksasa
dan menghancurkan semacam bungker yang memenjara putri bumi (kayaknya putri
bumi ini adik atau pacarnya tokoh utama) pokoknya epic banget deh!
Nah, cerita hari ini ngga ada
hubungannya sama gundam-gundam tadi, mending ente lihat aja animenya. Tetapi,
di PPNK memang ada 2 dunia yang jauh berbeda, meskipun penghuninya sama-sama
manusia. Dua dunia itu adalah dunia para santri laki-laki (santriwan) dan dunia
santri perempuan (santriwati). Dua dunia berbeda ini dipisahkan oleh batas
teritori mutlak, yang resiko jika melanggar teritori tadi sangat berbahaya,
mungkin ente bisa dikeluarkan dari PPNK. Satu-satunya penghubung antara dua
dunia ini adalah information center (cek disini : http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html), tetapi keberadaan
santriwati banyak mempengaruhi kehidupan di PPNK terutama para santrinya.
Pertama, batas teritori antra
santri dan santriwati tidak seperti DMZ nya Korea Utara, tidak ada ladang ranjau
diantara kita. Selain itu, perbatasan ini tidak berjarak ratusan meter, ya
hanya sekitar 50an meter lah. Ditambah lagi, dalam beberapa kesempatan sering
santri dan santriwati dipertemukan secara sengaja, upacara pembukaan PPNK
misalnya (baca lagi disini: http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/hikayat-santren-3.html ). Maka, meskipun secara kasat mata kehidupan
mereka berdua terpisah, tapi tetap ada tautan dan ikatan diantra santri dan
santriwati (huahahaha), dimana kami masih bisa saling pandang, meskipun dari
kejauhan (opo banget).
Nah, dampak dari adanya santriwati
ini cukup besar. Dampak pertama, jelas para santri masih kenal spesies manusia
bernama perempuan di dalam pondok. Beberapa pondok pesantren khusus pria,
misalkan dalam cerita Negeri 5 Menara, mereka harus bersepada keluar pondok
dulu biar bisa kenal dan tahu sosok perempuan (ngenes banget ya), tapi disini
kami cukup mandi, berpakaian yang rapih dan nongkrong di koperasi pondok, kita
bisa melihat santriwati, haha. Karena itu, semua candaan setengah mirip sama
homo di edisi sebelumnya, sebenarnya nggak lebih dari bromance aja, karena
fitrah kami santri PPNK masih pada trek yang tepat. Terimakasih kepada
santriwati.
Kedua, keberadaan santriwan dan
santriwati pada lokasi yang sama, memunculkan dampak kedua, reuni besar-besaran
kelurga di satu sekolah. Bayangkan, misal kamu memiliki 6 orang saudara,
selang-seling laki-laki dan perempuan. Maka di PPNK kamu bisa reuni akbar
dengan kakakmu yang kelas 3 MA, kakak perempuan mu yang jadi pengurus OSNK di
kelas 2 MA, kakak perempuan sekaligus junior di 1 MA. Sedangkan kamu mungkin di
kelas 3 Mts laki-laki harus menjaga kedua adikmu di kelas 2 Mts dan 1 Mts. Coba,
kalau dalam satu waktu si kakak tertua memanggil kalian semua, lupakanlah itu
kehidupan pondok, karena kamu bersama keluarga besarmu hidup bersama di pondok.
Btw ane mempuanyai teman yang
ceritanya sama, di masing-masing tingkat selalu ada kakaknya. Kehidupan dia di
pondok bener-bener nyaman. Pertama dilindungi abangnya dari segala tindak
pembulian, kedua bisa menikmati makanan mewah yang dijual khusus di kantin
milik santriwati hadiah dari kakak-kakak perempuannya. Sedangkan ane? Karena sendirian
di PPNK kehidupan ane persis jomblo ngenes menahun.
Maka, PPNK adalah tempat yang
sangat pas untuk membuat dinasti dan menyamankan hidup anak-anak anda. So,
tunggu apalagi? Daftarkan putra-putri anda menjadi santri baru PPNK 2017-2018! Eh
emang sekolahnya ada beneran? Haha, nggak lah ya.
Kedua, bagaimana kami para santri
laki-laki memanggil para santriwati. Jelas kami ngga bisa manggil mereka santriwati,
karena 2 alasan. Pertama, menyebut santriwati secara terang-terangan artinya 4
kali sabetan rotan di hari biasa dan 12 kali sabetan rotan di pekan bahasa. Karena
santriwati adalah bahasa Indonesia, dan di PPNK haram memakai bahasa Indonesia.
Kedua, posisi kita para santri laki-laki dengan para santriwati setara, jadi
nggak etis kalau santri manggil santri (loh). Maka, demi kemaslahatan bersama,
mereka (santriwati) memanggil kami “ikhwan” dan kami (santri) memanggil mereka “akhwat”.
Kata “ikhwan” dan “akhwat” berasal
dari Bahasa Arab yang artinya saudara laki-laki (ikhwan) dan saudara perempuan
(akhwat). Kenapa tidak memakai bahasa inggris? Karena bahasa inggris kurang
keren kalau dijadikan panggilan, serta kasihan orang-orang jawa, nanti lidahnya
bisa keselo (brother and sister, can you spell that right?) maka, setiap ada
kejadian di PPNK lebih umum jika menggunakan panggilan tadi. Misalkan kayak
begini
Di suatu malam, ane dan teman ane
baru aja keluar dari perpus. Kami ngga baca buku kok, cuman baca Koran. Seorang
ustadzah menghampiri kami, dan cerita kalau motornya mogok.
Saling pandang, ane dan teman ane
menatap ragu karena motor beliau terparkir tepat didalam teritori santriwati. Dengan
jaminan perlindungan dari ustadzah tadi, kami-pun melangkahkan kaki memasuki
teritori terlarang tadi.
“Ikhwan, ini tolong dicoba dulu,
saya tidak tahu kenapa kok motornya mogok”
Temen ane yang emang expert soal nyoba
ngotak-ngatik motor tadi. Dan, motornya entah kenapa malah jadi ngga bisa nyala
sama sekali.
Dengan cengiran ngeles, kami berdua
hanya bisa bilang “Maaf, ustadzah mungkin besok dipanggil orang bengkel aja”
Mungkin beliau juga tahu kalau kami
payah, dengan tersenyum paksa beliau meminta kami melakukan sesuatu diluar
dugaan.
“Yasudah, kalian berdua tolong dong
motornya masukin ke asrama akhwat”
HE! Kami berdiri di depan pusat
informasi akhwat saja sudah geli-geli-asik gimana, ini malah kita diminta masuk
ke tempat-seperti-surga-bagi-lelaki. Kami saling bertatapan dan memastikan
sekali lagi.
“Ustadzah, ini beneran kita boleh
masuk ke asrama akhwat?” dengan polosnya ane tanya begitu, karena seumur-umur
(nggak juga sih, ini baru bulan ke 2 ane di PPNK) ane diijinkan masuk ke dunia
terlarang.
“Kalian ini jangan mikir yang
nggak-nggak. Kalian cuman naruh motor terus pergi” ustadzah itu seperti
setengah nyengir jijik melihat kelakuan ane. Akhirnya ane dan temen ane saling
bantu, ane ndorong, dia narik, karena jalan masuk ke asrama akhwat sangat
sempit dan curam. Kemiringan jalannya sekitar 50 derajat.
Dengan usaha keras, akhirnya itu
motor berhasil masuk ke asrama akhwat. Kami sudah tenang karena kami cuman
masuk di gerbangnya saja, setelah men-yetandar-kan motor tadi kami bersiap
pergi.
“Eh tunggu, Ikhwan, jangan ditaruh
disitu, masukin ke dalem sini” ustadzah tadi memanggil kami dengan suara agak
kencang, well, karena kencang akhirnya akhwat-akhwat kalong mulai bangun dan
melihat apa yang terjadi. Gile.
Akhirnya kami kembali saling
dorong, masuk kedalam asrama akhwat yang dari luar terlihat “bersih” (btw
ilustrasi yang akhwat ane ambil dari pandangan pertama asrama akhwat). Segera kami
men-yetandar-kan motor, berbalik, dan ngibrit. Sayup-sayup kami dengan ustadzah
tadi teriak “Syukrrooon ikhwan” (artinya terima kasih) dan akhwat-akhwat kalong
tadi bisik-bisik sambil cengar-cengir “eh itu ada ikhwan, hi..hi..hi ikhwan”
atau semacam itulah.
Nah, semacam itulah penggunaan
kata-kata ikhwan dalam kehidupan sehari-hari di PPNK, dan cerita singkat ane berinteraksi
pertama kalinya dengan dunia santriwati, eh salah, akhwat. Intinya cukup luar biasa kan, jadi santri baru
dan langsung masuk ke asrama akhwat tanpa kena poin. Oya, endingnya ane dan
temen ane jadi temen sedikit akrab habis itu.
Ketiga, meskipun sangat jarang
ikhwan sama akhwat ketemu langsung, tapi entah kenapa setiap kali ikhwan mau
lewat wilayah akhwat atau sebaliknya, mereka selalu memakai pakaian terbaik. Maka,
insiden ane pas ditelpon orang tua ane (baca disini: http://fellofello.blogspot.co.id/2017/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html ) sangat haram dan langka.
Bahkan beberapa orang teman ane bela-bela in pinjem baju atau kaos temennya
yang keren, tentu, buat tampil kece pas lewat teritori akhwat. Begitu juga
akhwat, kalau mereka emang agak ribet.
Sebenarnya, di PPNK seragam akhwat
dan ikhwan itu sangat membosankan, dan seharusnya seragam tadi jadi pakaian
saat ingin lewat teritori masing-masing. Seragam tadi adalah seragam hijau,
hitam putih, dan pramuka. Kalau ikhwan celana hitam kemeja putih, akhwat jubah
hitam jilbab putih. Ikhwan kemeja hijau, celana hijau, akhwat jubah hijau
jilbab putih. Ikhwan baju pramuka celana coklat, akhwat, eh seragam pramukanya
kayak gimana ya?
Nah, jenis seragam hitam dan hijau
tadi membuat masing-masing ikhwan dan akhwat kena sial. Seragam hijau membuat
ikhwan digelari es cendol atau lumut (hijau-hijau) sedangkan seragam hitam
membat akhwat digelari tai cecak (iya kan? Hitam dengan sedikit aksen putih). Intinya,
seragam PPNK sangat-tidak-bisa-dipakai-bergaya. Akhirnya peraturan seragam tadi
hanya angin lalu.
Ikhwan dalam sehari-hari ketika lewat
wilayah akhwat starter-pack nya adalah sarung keren atau celana panjang rapih,
dipadu dengan kaos distro. Sedangkan akhwat jubah rob*ani segala model (dari
yang kayak lampu lalu lintas hingga permen karet) dan jilbab rob*ani, tentu, se
imut-imutnya model. Ya ane waktu itu juga ngga tau manfaatnya apa, tapi ya
gitu. Intinya menjaga diri agar tidak digosipkan lawan jenis sebenarnya gagasan
yang bagus.
Keempat, meskipun kita tahu sosok
akhwat seperti apa, tapi sangat-sangat jarang masing-masing tahu nama. Kecuali mereka
yang punya dinasti sih, kalau yang punya dinasti itu namanya curang. Akhirnya,
beberapa ikhwan sedikit sinting (dalam hal ini teman ane) memiliki ide gila
dengan mencuri lembar absensi akhwat di kantor TU. Percaya atau nggak, mereka
betul-betul melakukannya. Ane sebenarnya ngga tau manfaatnya apa, tapi mereka
bener-bener ngambilin begituan, beberapa ada yang ditempel di lemari, beberapa
ada yang disimpan di tengah buku pelajaran.
Tetapi, dengan mengkombinasikan
modal informasi dari absensi tadi, ditambah informasi riil dari pemilik
dinasti, nama-nama tadi entah kenapa betul-betul terwujud jadi wajah dan
karakteristik! Gila kan? Misal seorang akhwat bernama A, dengan mudahnya
ikhwan-ikhwan somplak ini menggambarkan muka dan kelakuannya seperti apa,
padahal ketemu aja nggak pernah! Boro-boro ketemu, lihat orangnya ada mustahil.
Oya, perlu diingat juga, di 2007 internet belum populer dan akses kita kesana
belum ada sama sekali.
Selain informasi dari pemilik
dinasti, ikhwan bisa tahu akhwat dari sebuah buku legendaris bernama buku
kenangan sekolah dasar atau sekolah menengah pertama (buat anak-anak kelas
persiapan SMA). Keren kan? Sejak masih bayi kita belajar bagaimana caranya
menembus iron curtain, ya, dunia akhwat
alias santriwati memang mustahil kami tembus, persis seperti iron curtain nya Uni Soviet. Kecuali bagi
pemilik dinasti atau ikhwan beruntung macam ane dan temen ane.
Tapi bagaimanapun, dunia itu turut
membentuk karakter dan mewarnai kehidupan kami. Ya cukup menyenangkan rasanya
bisa meraba-raba dan belajar untuk tumbuh, tentu dengan gaya dan cara
masing-masing. Karena ane rasa itulah pentingnya dan alasan kenapa ane
diletakkan orang tua ane di PPNK ini. Nggak tau deh, ane tutup novel Ketika
C*nta Bertasbih ane, dan bersiap untuk tidur. Ya mungkin begini lebih baik kali
ya? Meraba-raba dan belajar. Tanpa sadar ane sudah terbang ke alam mimpi nun
jauh disana.
……………………………………………
“Wah bentar lagi kamu bakal jadi
santri di PPNK Nad. Siap-siap sana, abang dan kakak-kakak mu juga disana sih,
jadi ibu yakin kamu bakal cepat terbiasa”
Seorang ibu bercakap dengan anak
perempuan-nya di sebuah kota di Indonesia. Si anak terlihat setengah tidak
peduli, sambil tetap membaca novel di tangannya. Na-Di-Ra, begitu identitas
yang tertulis di novel tadi. Menanggapi percakapan sang ibu, Nadira hanya
tersenyum dan kembali melanjutkan kalimat-kalimat di novelnya.
Selepas sang ibu keluar dari kamar,
dia menutup novel-nya dan melemparkan pandangan-nya jauh keluar jendela. Cahaya
bulan terlihat menerangi horizon sejauh dia memandang. Berjalan perlahan Nadira
menuju jendela, meletakkan jemarinya di kaca jendela. “dingin” gumamnya,
mungkin akan lebih dingin lagi nanti di PPNK. Nadira hanya tersenyum kembali,
meletakkan bukunya di rak dan berjalan ke kasur.
“Aku tidak tahu” mungkin begitu
gumamnya. Tapi sebentar lagi menjadi santri PPNK sepertinya gagasan yang menarik.
Iya kan?
-Continued
Azzam Abdullah Artwork/Azzam Abdullah
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com
Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini :
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-dan-kamar-mandi.html
(masih) kuliah di UNS. Mencoba Menulis dan Menggambar.
follow @azzam_abdul4 on Instagram. or sent me email on : felloloffee@gmail.com
Untuk seri sebelumnya bisa tengok disini :
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-dan-kamar-mandi.html
http://fellofello.blogspot.co.id/2017/05/hikayat-santren-dul-rotan-dan-kehidupan.html
Thank you for Support!
Share, Follow and Comment!!
Thank you for Support!
Share, Follow and Comment!!
No comments:
Post a Comment