Gerai Inspirasi

ekonomika politika romantika

Thursday, July 17, 2014

Rakyat itu Bukan Komoditas Bro

jelas kalau membicarakan demokrasi bersama gerombolan kaum sekuleris, liberalis, dan sosialis, ya jawaban mereka sama, karena mereka yang sudah mengerti embel-embel "is" di belakang kata kata itu, biasanya merupakan mereka yang berpendidikan, tau bedanya huruf "a" dengan huruf "h". kalau kita bawa pertanyaan apa itu demorasi kepada kaum agamis, islamis, yang disebut konservatis oleh yang di awal tadi, mungkin kita akan menemukan jawaban yang berbeda dengan pemahaman umum. jawaban yang mungkin, terkesan seperti ajaran moral dan etika, tidak hanya megemukakan masalah logika akal yang lemah, dan terkadang jawaban moral seperti itu, sangat alergi, jika dicerna oleh publik. seolah jawaban penuh etika moral mencederai nilai nilai demokrasi itu sendiri, menjajah kebebasan demokrasi, merongrong fodasi nasional, kata kaum-kaum "terpelajar" itu, bahkan yang mungkin otaknya sudah seperti jambu mete meneriakkan kata-kata nyinyir dan mengerikan seperti fundamentalis, teroris, separatis, terong iris, bahkan ketika mereka telah sampai pada tingkat tokoh publik yang dianggap bijaksana, betul bukan?

menimbang tayangan yang kita nikmati setiap waktu di depan layar kaca, forum maya, dan berita cetak, mungkin kita dapat mlihat bagaimana kaum yang katanya terpelajar itu, bergerak membabi buta, menggunakan segala macam muslihat akal, membutakan mata rakyat dari realitas, menyebar rumor-rumor pemantik kerusuhan, menyederai nama baik orang lain hanya karena mereka yang lain itu mengedepankan etika dan moral, bukan cuman logika, bahkan mengatai niat tulus seseorang membantau saudaranya yang tertindas sebagai cerita lama pelaku korupsi, padahal dia tokoh agama terpandang. betul bukan? lantas seperti apakah kita yang bukan tokoh terpandang di hadapan mereka?

betul jumlah kita 241 sekian juta jiwa, beserta anak-anak kita yang polos dan tidak tahu apa-apa, atau bersama nenek-kakek kita yang tidak lagi fasih membaca huruf alfabet. betul jumlah kita membentang panjang dari ujung pulau gas di sebelah barat, hingga ke rimba penuh emas di sebelah timur. betul pesebaran kita bervarasi, ada suku yang sangat keras di depan, ada suku yang halus penyantun, ya walaupun yang halus penyantun selalu memiliki intrik keji di belakang yaa. betul kita terdiri dari beragam posisi. mereka yang menyimpan rupiah dari kayuhan pedal hingga menyimpan rupiah dari kayuhan fluktuasi pasar di bursa-bursa elektronik yang memperjual belikan kertas bertanda tangan. betul kita menyembah tuhan yang berbeda-beda, ada yang menyembah tuhan yang maha tunggal, maha besar, maha kuasa, ada juga yang menyembah sattu keluarga orang suci, ada juga yang menyembah sepasukan elemen guna menyempurnakan ibadah. betul kita kuat, betul suara kita bersifat mutlak bagi negara, betul, betul, betul, kawan, semua kekuatan kita, rakyat, yang kalian sebutkan merpakan kebenaran yang tidak terbantahkan.

"seorang raja tidak akan ada tanpa rakyatnya" celoteh orang-orang china di zaman tiga kerajaan, ketika tsao tsao memperdebatkan makna kepemimpinan dengan guan yu.

lantas kawan, apakah hanya dengan sebungkus mie instan bergambar stiker kita memasrahkan nasib kita sepanjang 5 tahun kedepan kepada para orang "terpelajar" namun menabrak seluruh fenoma dan landasan moral suatu struktur sosial, bahkan main sesumbar, main ancam bantai di media sosial? lantas apakah karena disodori seorang figur nyemplung selokan kita menggadaikan harga beras kita pada dia-yang-bilang-itu-bukan-urusan-saya? lantas apakah karena disodori figur pria berkumis, paruh baya, bijak berkata-kata, kita memasrahkan agama kita kepada kaum yang tidak bisa membedakan mana tuhan mana sampah? mendewakan uang dan keduniawian, bahkan menistakan agama? lantas apakah karena seorang akademisi, guru besar sebuah universitas yang terdepan dalam pengetahuan (katanya) yang bijak mengolah dan membahasakan ilmu pengetahuan, kita memasrahkan anak dan cucu kita digelontor dengan revolusi keberadaban menjadi premanisme yang biadab? lantas apakah karena seorang yang katanya syaikh indonesia, meneriakkan katanya syariat, tetapi malah meneriaki sahabat muulia rasulullah kafir, kita tunduk pada sholat-tanpa-sedekap-dengan-batu-diatas-jidat?

apakah kita memang sebegitu murahnya di negara yang katana berdemokrasi ini, negara yang mengatakan bahwa seluruh bumi dan lautnya adalah milik rakyat? negara yang menghargai rakyatnya di setiap ayat undang-undang dasar miliknya? apakah betul kita rela menggadaikan kebenaran demi janji manis beracun yang terhembus seperti sianida di tengah serbuk bunga?

kalau rakyat telah menjadi komoditas, siapakah pemimpinnya kalau bukan seorang pedagang yang pastinya ingin memperoleh laba sebesar-besarnya dari komoditas yang di jual?

salam kebangkitan indonesia, kebangkitan manusia melayu di negara terbesar asia tenggara, salam kebahagiaan untuk saudara sesama muslim, dan salam bagi mereka yang merasa memiliki moral.
assalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh

Insya Allah, Allah akan selalu membersamai kita

Wallahu 'Alam
Wassalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh

Muhammad Abdullah 'Azzam Mahasiswa S1 Manajemen FEB Universitas Sebelas Maret Surakarta

No comments:

Post a Comment